Proses pertimbangan ini lebih dipandu oleh intuisi atau apa yang "dirasa" benar atau baik oleh seseorang bukan berdasarkan kontrol penalaran. Misalkan: ketika akan membeli jam tangan mewah, orang perlu bertanya moralitas tindakannya. Apakah uang yang digunakan untuk membeli jam lebih memberikan kebaikan pada orang banyak? Ataukah harusnya ia memberikan uang tersebut untuk donasi ke orang miskin. Seorang moralis konsekuensi akan memilih memberikan uangnya untuk donasi karena akan memberikan kebaikan pada orang yang lebih banyak.Â
Pemikiran moralis konsekuensi ini bisa jadi unggul untuk memberikan dampak positif pada masyarakat luas, namun juga bisa muncul permasalahan ketika prinsip moral hilang karena selalu mempertimbangkan dampak pada orang kebanyakan.Â
Misalkan: pemerkosaan adalah salah, baik bagi korban karena dirugikan dan juga pelaku karena telah melanggar peraturan. Namun, prinsip moral bisa bengkok jika kebanyakan masyarakat berpikir bahwa pemerkosaan bukanlah masalah. Cara pandang yang menyalahkan korban yang dimiliki sebagian besar masyarakat akan berbenturan dengan kebenaran sebenarnya, dimana korban pemerkosaan justru dianggap berperilaku mengundang pemerkosaan (dianggap salah karena pakai baju yang tidak menutup semua tubuh dan keluar malam tanpa pendampingan laki-laki) dan aksi pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku hanyalah perilaku seks khas laki-laki untuk mendapatkan kepuasan.
Pendekatan etika normatif kedua adalah deontologi, yang menyatakan semua tindakan memiliki batasan moral. Deontologi berseberangan dengan konsekuensialis, perilaku moral diletakkan dalam keharusan melakukan kewajiban untuk menegakkan kebenaran demi kewajiban itu sendiri; bukan demi untung-rugi, diterima atau ditolak oleh masyarakat, dan juga bukan untuk mendapatkan kesenangan atau kesusahan.
Tindakan moral dibatasi oleh serangkaian peraturan yang lahir dari proses berpikir rasional dan intelek manusia, yaitu: rasionalitas (akal sehat digunakan untuk membuat argumen moral), dan mempromosikan nilai-nilai kebenaran universal (misalkan: kemanusiaan, hormat pada manusia).Â
Salah satu tokoh moralis deontology adalah Imanuel Kant. Dalam pendekatan ini, perilaku moral perlu lahir dari proses berpikir mengenai apa motif serta dampak universal suatu perilaku. Misalkan: apakah saya perlu berbohong?Â
Jika moralis konsekuensi akan mempertimbangkan dampak berbohong (akan berbohong jika akan menyelamatkan orang lain atau membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk), sedangkan moralis deontologi akan berpikir secara intelek apakah berbohong memiliki keterbatasan moral. Deontologis akan bertanya bagaimana jika semua orang di dunia berbohong? maka akan terjadi kekacauan dan masalah. Oleh karena itu semua orang seharusnya jangan berbohong walaupun akibat bercerita yang sebenarnya bisa menyakitkan atau merugikan.Â
Moralis deontologi akan berargumen bahwa pertimbangan moralitas seharusnya bukan diletakkan pada konsekuensi tindakan, tapi pada motif tindakan itu sendiri. Perilaku moral harus berdasarkan rasional yang benar.Â
Namun, deontologi bisa memiliki kelemahan, kadang peraturan yang dipilih untuk membatasi perilaku manusia tidak melulu hasil kreasi rasionalitas, tapi bisa juga produk emosi subyektif seseorang yang telah dirasionalisasi. Dalam hal ini bisa terjadi adu argumen dan rasionalisasi.
Kedua pendekatan moral normatif dalam kapasitas kognitif ini cukup sering kita gunakan. Keduanya masuk akal.Â
Namun perlu disadari proses penalaran moral apa yang tengah kita lakukan. Ada kemungkinan perbedaan cara penalaran moral antara satu orang dengan yang lainnya, sehingga menghasilkan perbedaan konsepsi benar dan salah, dan pada akhirnya berbeda perilaku moral. Hal ini wajar dan alamiah.Â