Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Otopsi Psikologis: Penyelidikan Bunuh Diri

26 Juli 2020   22:18 Diperbarui: 24 Januari 2022   16:19 2252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via rollingstone.com

Psikologi forensik dapat membantu untuk menyelidiki penyebab kematian yang diduga bunuh diri, yaitu dengan melakukan Otopsi Psikologis (psychological autopsy). 

Apa otopsi psikologis?
Otopsi psikologis adalah metode ilmiah yang dilakukan untuk memahami penyebab kematian yang diduga "bunuh diri". Otopsi psikologis dilakukan oleh ahli perilaku/psikologi/psikiatri forensik dengan mengumpulkan data riwayat (retrospective information) tentang korban yang diduga meninggal bunuh diri.

Data riwayat diambil dari keluarga, kerabat atau orang terdekatnya, juga dari klinisi/ahli medis yang memberikan perawatan di masa terakhir hidup seseorang. Tujuan otopsi psikologis adalah untuk mendapatkan gambaran situasi hidup, kepribadian, kondisi kesehatan mental dan layanan kesehatan yang pernah diakses korban sebelum akhir hidupnya.

Otopsi psikologis telah dijadikan standar pemeriksaan dalam kasus kematian tiba-tiba yang diduga disebabkan bunuh diri di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, New Zealand, Israel, Taiwan, India dan negara-negara di Eropa.

Harapannya, dengan pemeriksaan otopsi psikologis, dapat diketahui apa dan bagaimana sehingga seseorang memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri.

Ilustrasi via rollingstone.com
Ilustrasi via rollingstone.com
Dalam proses hukum, otopsi psikologis masuk dalam proses penyelidikan. Proses penyelidikan dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi suatu tindak pidana (adakah pelanggaran norma hukum).

Sejarahnya, upaya memahami bunuh diri sudah dilakukan di Paris tahun 1920-an dan di New York tahun 1930-an, dimana penelitian dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang korban bunuh diri dari berbagai sumber (Isometsa, 2001). Otopsi psikologis mulai masuk dalam proses penyelidikan secara sistematis pertama kali tahun 1956-1957, dalam rangka memahami penyebab 134 kasus bunuh diri di St. Louis, Amerika Serikat.

Sejak saat itu, prosedur otopsi psikologis mulai digunakan untuk menentukan apakah korban meninggal karena bunuh diri atau karena sebab lainnya (misalkan: pembunuhan yang terkesan bunuh diri, atau kecelakaan).

Secara umum, hasil otopsi psikologis dinilai dapat membantu untuk memahami mengapa seseorang melakukan bunuh diri.
Prosedur otopsi psikologis
Secara umum otopsi psikologis memiliki dua prosedur utama:
1. Interview mendalam pada keluarga/kerabat/orang terdekat dari korban.
2. Mengumpulkan informasi/riwayat medis, psikologis, psikiatrik dan semua informasi yang dianggap penting untuk menjelaskan riwayat hidup korban.

Interview dengan keluarga dan orang terdekat biasanya akan dilakukan setelah mendapatkan persetujuan keluarga.

Proses interview akan dipandu dengan standar wawancara klinis yang bertujuan untuk: 1) memahami pola perilaku dan keseharian korban; 2) faktor situasi relasi korban dengan keluarga/orang terdekatnya; 3) apakah terjadi penggunaan zat adiktif/alkohol; 4) apakah pernah ada upaya bunuh diri dan mencari bantuan sebelumnya, atau pernah mengkomunikasikan ide mengakhiri hidup; dan 5) apakah ada kejadian penting atau stress sebelum kematiannya.

Penting dipahami bahwa wawancara ini harus dilakukan dengan orang yang sungguh memahami korban, misalkan pacar/pasangan atau teman dekat. Tidak selalu keluarga inti akan memahami korban secara mendalam.

Misalkan: terkadang, korban tidak bisa terbuka pada orang tuanya, namun lebih bisa terbuka pada pacarnya. Maka penyelidik perlu memahami benar, pada siapa ia harus melakukan wawancara otopsi psikologis.

Interview dilakukan dengan memperhatikan etika, yaitu tidak mengganggu masa berduka keluarga (wawancara bisa dimulai sekitar 3-4 bulan setelah kematian). Mengapa perlu menghargai masa duka? Hal ini dilakukan dengan asumsi keluarga yang melalui proses berduka akan lebih siap masuk dalam proses wawancara. Maka, dampaknya mereka akan lebih terbuka dan kooperatif dalam memberikan informasi mengenai mendiang korban.

Jika kurang menghargai masa berduka, ada kemungkinan, orang terdekat menjadi lebih membatasi informasi karena belum sanggup bercerita tentang korban. Terlebih, jika menyangkut informasi yang terkesan negatif mengenai mendiang korban.

Di beberapa budaya, bahkan kerabat akan menolak berbicara buruk mengenai mendiang korban. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kualitas informasi yang akan dikumpulkan.

Interview dengan tenaga kesehatan (misalkan: dokter pribadi) juga perlu dilakukan untuk memahami apakah ada persoalan atau kebutuhan kesehatan dan perawatan yang diakses korban di masa akhir hidupnya.

Dari wawancara dengan dokter, psikiater, psikolog atau tenaga profesional kesehatan lainnya; akan juga didapatkan gambaran apa tekanan/stress yang tengah dihadapinya, dan bagaimana dampak stress tersebut dalam fungsi hidupnya sehari-hari di masa akhir hidup korban.

Otopsi psikologis dilakukan oleh seorang profesional di bidang forensik dengan tata cara penggalian perilaku secara ilmiah. Protokol wawancara psikiatri/psikologi klinis akan terdiri dari pertanyaan obyektif yang komprehensif dan penggalian informasi kualitatif secara mendalam.

Jumlah informan seharusnya jamak agar bisa mendapatkan keutuhan informasi mengenai riwayat korban hingga masa akhir hidupnya. Selain itu, penyelidikan otopsi psikologis juga harus dilakukan  oleh beberapa ahli (idealnya lebih dari 2 orang), agar dapat dilakukan analisa penilaian antar-penyelidik (inter-rater reliability).

Hal ini dilakukan untuk meminimalisir bias penilaian subyektif. Otopsi psikologis dianggap ajeg atau konsisten ketika antar penyelidik mencapai simpulan dengan tingkat kesepakatan yang cukup tinggi.

Artinya, proses otopsi psikologis dalam rangka memahami apa dan bagaimana kematian terjadi akan membutuhkan waktu. Namun, dalam rangka mencapai pemahaman dan titik terang kejadian, hal ini tepat dan penting dilakukan.

Mengapa orang memutuskan bunuh diri
Dari berbagai review penelitian mengenai penyebab bunuh diri, diketahui bahwa ada 2 faktor penyebab utama.
1.Gangguan mood (mood disorders)
2.Gangguan terkait penyalahgunaan zat (substance use disorders)
Keduanya adalah sindrom gangguan psikologis yang berdampak menurunnya kemampuan manusia untuk mencoba menyelesaikan persoalan yang dihadapinya secara solutif; sehingga akhirnya bisa menyerah dan memutuskan mengakhiri hidupnya.

Penyebab utama terjadinya bunuh diri ditemukan karena adanya gejala depresi. Sekitar 90% kasus bunuh diri diketahui bahwa korban telah menunjukkan gejala-gejala depresi di masa akhir hidupnya (Isometsa, 2001; Kelly & Mann, 1996; Milner, Sveticic, & De Leo, 2012; Yoshimasu dkk, 2008).

Selain depresi, Isometsa (2001) menemukan bahwa sejumlah korban bunuh diri juga dapat menunjukkan gejala gangguan psikologis lainnya, seperti: gangguan Bipolar (0-23%); Schizophrenia (2-12%); penyalahgunaan alkohol atau zat adiktif (12-56%); dan gangguan kepribadian (0-57%).

Riset psikologi juga menemukan, jika seseorang ditemukan mengalami kondisi depresi yang disertai (comorbid) dengan gangguan penyalahgunaan zat, atau gangguan mood dengan gangguan kepribadian (terutama gangguan kepribadian Ambang -- Borderline personality disorder) maka resiko bunuh dirinya akan meningkat lebih tinggi.

Pesan bunuh diri dan depresi
Salah satu informasi yang akan digali dalam otopsi psikologis adalah adakah pesan yang mengindikasikan niat mengakhiri hidupnya, yang pernah disampaikan korban pada orang-orang terdekatnya. Hal ini disebut sebagai pesan bunuh diri. Pesan bunuh diri bisa dalam bentuk tulisan, kata-kata yang diucapkan, atau rekaman serta simbol lainnya.

Pada beberapa kasus, ditemukan korban akan menyiapkan kepergiannya. Ada yang menulis pesan, dan ada juga yang menyiapkan serangkaian proses melepaskan dirinya (berpakaian baik, pergi ke tempat tertentu, dan menyiapkan peralatan).

Namun, ada pula yang tidak tampak menyiapkan kepergiannya. Bahkan ada kasus dimana keluarga tidak menemukan adanya gejala depresi, atau kesan akan melakukan tindakan bunuh diri. Hal ini bisa terjadi karena korban masih bimbang (ambivalen) atas niatannya untuk mengakhiri hidup hingga akhirnya memutuskan bunuh diri.

Milner dan rekannya (2012) menemukan bahwa walaupun kebanyakan kasus bunuh diri ditemukan terkait dengan depresi, namun ada juga kasus bunuh diri yang tidak jelas apakah korban pernah mengalami depresi atau gejala gangguan mental (tidak ditemukan kondisi psikiatrik). Perlu dipahami, dalam proses otopsi psikologis, akan dilakukan upaya diagnosa gangguan mental secara post-mortem melalui laporan orang terdekat korban.

Kasus bunuh diri tanpa gejala psikiatrik lebih banyak ditemukan di komunitas non-budaya Barat, misalkan di Cina atau India. Penjelasan Milner, hal ini terjadi karena konsepsi kondisi depresi atau gejala psikiatrik bisa berbeda-beda antar budaya.

Cara masyarakat non-Barat memberi nama dan istilah depresi berbeda, maka melaporkan gejala "depresi" akan menjadi berbeda, bahkan cara mereka mencari bantuan jika mengalami "depresi" juga akan berbeda.

Sebagai akibatnya, pamahaman dan pelaporan gejala psikiatrik depresi di komunitas non-Barat tidak akan sama dengan komunitas Barat. Artinya, penyelidik otopsi psikologis perlu peka, dalam penggalian informasi gejala depresi atau gejala psikiatrik lainnya, sebaiknya menggunakan idiom atau istilah yang konteksual dengan budaya dan Bahasa setempat. Misalkan: mencari jejak depresi tidak dengan konsep klinis "depresi", tapi dengan dengan menggunakan bahasa lokal/istilah daerah yang mengungkapkan nuansa emosi sedih atau keputusasaan yang menonjol.

Cara ini dapat membantu keluarga untuk bisa mengungkapkan fenomena yang mereka lihat dengan bahasa dan pemahamannya. Bukan sekedar menggunakan istilah diagnosa klinis.

Pencegahan bunuh diri
Pemahaman mengenai faktor penyebab bunuh diri sebenarnya bisa digunakan untuk melakukan pencegahan.

Jika seseorang pernah berbicara tentang ide bunuh diri dan, atau pernah berusaha bunuh diri namun gagal; maka perlu diantisipasi jika ia akan melakukan upaya bunuh diri lagi dalam waktu dekat. Pada tahap ini, mereka akan dilihat sebagai orang beresiko tinggi bunuh diri.

Sebagai akibatnya, orang yang pernah melakukan upaya bunuh diri, memiliki resiko akan berhasil bunuh diri menjadi 370 kali lipat (Yoshimasu dkk., 2008). Oleh karena itu, pengawasan dan dukungan bagi orang yang pernah melakukan usaha bunuh diri sangatlah penting.

Perempuan ditemukan lebih sering melakukan upaya bunuh diri yang gagal (suicide attempts); sedangkan laki-laki ditemukan lebih berhasil melakukan bunuh diri (completed suicide). Upaya bunuh diri yang dilakukan perempuan sebenarnya adalah caranya meminta bantuan dan perhatian, maka perempuan sering memilih cara-cara yang tidak terlalu mematikan (non-lethal, seperti mengiris nadi di tangan).

Namun ketika laki-laki berpikir bunuh diri, maka ia akan memilih cara-cara yang lebih mematikan, sehingga lebih tinggi keberhasilannya (lethal, misalkan tusukan ke jantung atau merusak organ vital lainnya).

Penyebab bunuh diri sepanjang masa perkembangan juga kontekstual. Pada populasi remaja, bunuh diri sering dikaitkan dengan adanya pola kepribadian beresiko (sikap tertutup dan sulit menyelesaikan persoalan) dan perilaku penyalahgunaan zat-alkohol (Hjelmeland dkk., 2012).

Pada orang dewasa, ditemukan stressor pemicu bunuh diri terkait dengan persoalan yang menyebabkan depresi berat, kehilangan/tidak punya pekerjaan, persoalan pernikahan/relasi intim atau perceraian, ketergantungan alkohol, serta ketidakmampuan menyelesaikan persoalan hidup. 

Pada beberapa kasus bunuh diri laki-laki dewasa ditemukan bahwa kemampuan melakukan bunuh diri diinduksi dari perilaku kekerasan yang dapat memunculkan kapasitas toleransi rasa sakit dan tidak lagi takut akan kematian (Wolfort-Clevenger dkk., 2015).

Pada orang lanjut usia, persoalan kesehatan, pensiun dan perasaan tidak berdaya, serta depresi berat akan meningkatkan resiko kematian yang disebabkan bunuh diri (Yoshimasu dkk., 2008).

Oleh karena itu, jika kita mengetahui bahwa adanya resiko bunuh diri pada seseorang, maka kita perlu melakukan pendampingan intensif dan suportif bagi orang tersebut. Pencegahan dilakukan sejak munculnya gejala depresi, sebelum upaya atau tindakan bunuh diri dilakukan.

Peningkatan resiko bunuh diri karena interaksi penggunaan obat dan gangguan psikologis
Berbagai penelitian menemukan bahwa resiko kematian bunuh diri akan meningkat pada orang-orang yang mengalami gangguan psikologis depresi yang disertai dengan penyalahgunaan zat.

Penggunaan alkohol telah lama diketahui sangat terkait dengan bunuh diri. Sifat alkohol adalah depresan, atau menurunkan aktivitas otak, menurunkan kesadaran dan kemampuan penilaian; sebagai akibatnya orang yang terpengaruh alkohol dapat mengambil keputusan-keputusan yang salah. Dampak jangka panjang penggunaan alkohol adalah depresi, yang juga bisa berujung pada peningkatan resiko bunuh diri.

Penyalahgunaan obat stimulan juga dapat terkait dengan bunuh diri. Zat stimulan (contohnya: amphetamine, kokain) akan mempengaruhi meningkatnya aktivitas di otak, dan akibatnya orang akan menjadi lebih bersemangat, mudah terangsang, dan gembira yang meluap (euphoria). 

Namun, dampak negatif penggunaan stimulan akan sangat terasa ketika efek obat mulai hilang. Mood yang tadinya naik karena penggunaan zat, akan turun secara ekstrem yang dapat menyebabkan efek perubahan mood yang menonjol (mood swings) dan bahkan individu bisa merasa kehilangan kontrol diri (lost of control) dan tidak berdaya (helplessness).

Dan jika obat stimulan digunakan secara salah atau tidak dalam pengawasan psikiater (drug abuse) dan dilakukan oleh orang yang sedang mengalami depresi klinis, maka dampaknya bisa sangat buruk karena akan memperparah kondisi depresinya. Hal ini bisa berujung pada kematian bunuh diri.

Simpulan
Dari berbagai riset yang dilakukan di dunia, telah diketahui bahwa resiko utama kematian bunuh diri adalah depresi sebagai salah satu gangguan mood. Maka, dalam otopsi psikologis akan digali riwayat apakah korban bunuh diri pernah atau tengah mengalami depresi di masa akhir hidupnya.

Selain dari itu, berbagai faktor psikologis dan faktor sosial akan digali untuk bisa menjelaskan mengapa pada titik hidupnya tersebut, seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Namun, jika tidak ditemukan penjelasan yang meyakinkan telah terjadi kematian disebabkan bunuh diri, maka perlu dicari penjelasan penyebab kematian lainnya.

Penjelasan kematian menjadi suatu hal yang penting dipahami. Bukan hanya untuk memenuhi proses hukum, namun juga karena menjadi kebutuhan pemahaman dan penerimaan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Referensi

  • Hjelmeland, H., Dieserud, G., Dyregrov, K., Knizek, B.L., & Leenaars, A.A. (2012). Psychological Autopsy Studies as Diagnostic Tools: Are They Methodologically Flawed? Death Studies, 36, 605-626.
  • Isometsa, E.T. (2001). Psychological autopsy studies -- A review. European Psychiatry, 16, 379-385.
  • Kelly, T.M., & Mann, J.J. (1996). Validity of DSM-III-R diagnosis by psychological autopsy: a comparison with clinician ante-mortem diagnosis. Acta Psychiatrica Scandinavia, 94, 337-343.
  • Milner, A., Sveticic, J., & De Leo, D. (2012). Suicide in the absence of mental disorder? A review of psychological autopsy studies across countries. International Journal of Social Psychiatry, 59, 545-554.
  • Wolford-Clevenger, C., Febres, J., Zapor, H., ELmquist, J., Bliton, C., & Stuart, G.L. (2015). Interpersonal Violence, Alcohol Use, and Acquired Capability for Suicide. Death Studies, 39, 234-241.
  • Yoshimasu, K., Kiyohara, C., & Miyashita, K. (2008). Suicidal risk factors and completed suicide: meta-analyses based on psychological autopsy studies. Environmental Health Preventive Medicine, 13, 243-256.

Oleh: Margaretha
Pengajar Psikologi Forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Artikel serupa dipublikasi di website psikologiforensik.com yang dikelola pribadi oleh penulis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun