Penyebab utama terjadinya bunuh diri ditemukan karena adanya gejala depresi. Sekitar 90% kasus bunuh diri diketahui bahwa korban telah menunjukkan gejala-gejala depresi di masa akhir hidupnya (Isometsa, 2001; Kelly & Mann, 1996; Milner, Sveticic, & De Leo, 2012; Yoshimasu dkk, 2008).
Selain depresi, Isometsa (2001) menemukan bahwa sejumlah korban bunuh diri juga dapat menunjukkan gejala gangguan psikologis lainnya, seperti: gangguan Bipolar (0-23%); Schizophrenia (2-12%); penyalahgunaan alkohol atau zat adiktif (12-56%); dan gangguan kepribadian (0-57%).
Riset psikologi juga menemukan, jika seseorang ditemukan mengalami kondisi depresi yang disertai (comorbid) dengan gangguan penyalahgunaan zat, atau gangguan mood dengan gangguan kepribadian (terutama gangguan kepribadian Ambang -- Borderline personality disorder) maka resiko bunuh dirinya akan meningkat lebih tinggi.
Pesan bunuh diri dan depresi
Salah satu informasi yang akan digali dalam otopsi psikologis adalah adakah pesan yang mengindikasikan niat mengakhiri hidupnya, yang pernah disampaikan korban pada orang-orang terdekatnya. Hal ini disebut sebagai pesan bunuh diri. Pesan bunuh diri bisa dalam bentuk tulisan, kata-kata yang diucapkan, atau rekaman serta simbol lainnya.
Pada beberapa kasus, ditemukan korban akan menyiapkan kepergiannya. Ada yang menulis pesan, dan ada juga yang menyiapkan serangkaian proses melepaskan dirinya (berpakaian baik, pergi ke tempat tertentu, dan menyiapkan peralatan).
Namun, ada pula yang tidak tampak menyiapkan kepergiannya. Bahkan ada kasus dimana keluarga tidak menemukan adanya gejala depresi, atau kesan akan melakukan tindakan bunuh diri. Hal ini bisa terjadi karena korban masih bimbang (ambivalen) atas niatannya untuk mengakhiri hidup hingga akhirnya memutuskan bunuh diri.
Milner dan rekannya (2012) menemukan bahwa walaupun kebanyakan kasus bunuh diri ditemukan terkait dengan depresi, namun ada juga kasus bunuh diri yang tidak jelas apakah korban pernah mengalami depresi atau gejala gangguan mental (tidak ditemukan kondisi psikiatrik). Perlu dipahami, dalam proses otopsi psikologis, akan dilakukan upaya diagnosa gangguan mental secara post-mortem melalui laporan orang terdekat korban.
Kasus bunuh diri tanpa gejala psikiatrik lebih banyak ditemukan di komunitas non-budaya Barat, misalkan di Cina atau India. Penjelasan Milner, hal ini terjadi karena konsepsi kondisi depresi atau gejala psikiatrik bisa berbeda-beda antar budaya.
Cara masyarakat non-Barat memberi nama dan istilah depresi berbeda, maka melaporkan gejala "depresi" akan menjadi berbeda, bahkan cara mereka mencari bantuan jika mengalami "depresi" juga akan berbeda.
Sebagai akibatnya, pamahaman dan pelaporan gejala psikiatrik depresi di komunitas non-Barat tidak akan sama dengan komunitas Barat. Artinya, penyelidik otopsi psikologis perlu peka, dalam penggalian informasi gejala depresi atau gejala psikiatrik lainnya, sebaiknya menggunakan idiom atau istilah yang konteksual dengan budaya dan Bahasa setempat. Misalkan: mencari jejak depresi tidak dengan konsep klinis "depresi", tapi dengan dengan menggunakan bahasa lokal/istilah daerah yang mengungkapkan nuansa emosi sedih atau keputusasaan yang menonjol.
Cara ini dapat membantu keluarga untuk bisa mengungkapkan fenomena yang mereka lihat dengan bahasa dan pemahamannya. Bukan sekedar menggunakan istilah diagnosa klinis.