Kasus George Floyd membuat seluruh dunia diam, dan melakukan refleksi. Melihat ke dalam dan bertanya, "apakah bangsaku juga berhadapan dengan masalah diskriminasi, rasisme dan prasangka seperti di Amerika Serikat?".
Dunia dipaksa belajar dari yang terburuk. Ketika diskriminasi ditutup-tutupi tapi nyatanya hidup subur di kepala-kepala orang yang memiliki kekuasaan dan di masyarakat, maka ketidak-adilan terus terjadi.
Lebih lanjut, menumpuknya persoalan ketidak-adilan pun bisa menjadi bom waktu yang tiba-tiba meledak dan menghancurkan kesatuan dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia menyatakan bangga menjadi contoh bangsa yang kuat kerukunan dan kemajemukannya. Benar memang, Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk, baik suku bangsa, etnis, bahasa, budaya, agama, dan berbagai hal lainnya. Hidup dalam keberagaman seharusnya menjadi lebih terbiasa dengan perbedaan. Sungguh kekayaan bangsa Indonesia adalah keberagaman kita.
Tapi, apakah benar bangsa kita sungguh-sungguh menghargai keberagaman yang seharusnya menjadi identitas bangsa Indonesia? Ataukah belum semua dari bangsa ini bisa menghadapi perbedaan? Ataukah kita masih menumpuk masalah diskriminasi, rasisme dan prasangka; yang sudah menjadi bom waktu di masyarakat kita?
Tulisan ini ditujukan untuk kita melakukan refleksi pribadi. Harapannya, paling tidak kita sadar apa yang tengah kita lakukan, dan berupaya untuk tidak menjadi pribadi yang diskriminatif, rasis dan melanggengkan prasangka; karena artinya, kita menyangkal identitas kita sebagai bangsa Indonesia.
Prasangka dan Diskriminasi
Dimulai dengan pemikiran, muncul perasaan dan perilaku. Prasangka (prejudice) adalah ide atau sikap negatif terhadap orang dari kelompok tertentu.
Orang yang berprasangka tidak lagi berusaha memahami dan menghargai individu, karena sudah terlalu yakin dengan ide di kepalanya. Pemikirian negatif ini biasanya diikuti perasan negatif, seperti benci, tidak suka, marah, jijik, takut dan lainnya. Pada titik tertentu bisa memunculkan perilaku terang-terangan memusuhi, mengabaikan, melukai, bahkan membunuh.
Perlu digarisbawahi bahwa prasangka adalah cara berpikir yang bias maka adalah salah. Secara khas prasangka adalah cara pikir pendek (tanpa pertimbangan matang) yang akan berdampak munculnya kesalahan berikutnya.
Ada banyak jenis prasangka berdasarkan faktor pembentuknya: jenis kelamin, ras, etnik, orientasi seksual, kewarganegaraan, status sosio-ekonomi, dan agama. Dari prasangka muncul perbedaan perlakuan atau diskriminasi.
Dalam prasangka, orang dibedakan atas dasar atribut atau kesan yang ditampilkannya (stereotype), misalkan: orang dari suku X pasti beragama Y; jika tidak beragama Y maka tidak boleh menyebut bersuku X. Kesalahan berpikir ini disebut penyimpulan yang salah karena terlalu menggeneralisir serta kurang mempertimbangkan banyak fakta lainnya.
Prasangka yang bisa saja berkembang dari pengalaman langsung, atau mendengar cerita dari orang lain. Contohnya: percaya bahwa orang dari kelompok tertentu adalah bodoh dan terbelakang dari mendengar cerita orang lain; atau karena sekali pengalaman tertipu oleh pedagang dari suku tertentu, maka membuat prasangka bahwa semua dari suku itu jahat dan tidak jujur. Keduanya salah. Satu pengalaman atau cerita orang lain tidaklah cukup untuk mendapatkan pemahaman secara utuh. Seiring dunia bergerak dan berubah, maka manusia harus terus menambah wawasan untuk memahami. Sebelum sungguh memahami, tunda penilaian; hal ini bisa mencegah dari prasangka.
Dengan dasar ini, perlu digarisbawahi bahwa prasangka dan diskriminasi tidak akan melahirkan hal baik. Melanggengkan prasangka dan diskriminasi akan melahirkan krisis sosial.
Refleksi: Ketika prasangka dan diskriminasi menciptakan krisis masal di Indonesia
Kenyataannya, Indonesia telah mengalami berbagai krisis sosial yang disebabkan prasangka. Berikut beberapa krisis besar yang pernah terjadi.
- Kerusuhan Sambas dan Sampit, Kalimantan Barat antara kelompok etnis Dayak dengan kelompok etnis Madura pendatang sekitar tahun 1998. Dampak dari konflik ini menyebabkan terjadinya pengungsian dalam jumlah mencapai 68.000 orang.
- Kerusuhan Mei 1998, di ujung periode Orde Baru 13-15 Mei 1998. Terjadi sebuah kerusuhan massal di berbagai kota besar di Indonesia, seperti: Jakarta, Medan, Surabaya, Palembang, Solo, dan Lampung. Dalam kerusuhan massal tersebut terjadi tindak kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, mulai dari penjarahan harta benda, kekerasan fisik, hingga pemerkosaan. Sentimen rasial juga muncul, yang membedakan antara pribumi dan non-pribumi.
- Kerusuhan Ambon tahun 2011 adalah serangkaian kerusuhan yang dipicu bentrok antar warga di Kota Ambon. Kerusuhan menyebabkan kerugian jatuhnya korban meninggal dan luka, ratusan rumah rusak dan hancurnya harmoni dan toleransi pada saat itu. Tidak mudah upaya yang telah dilakukan untuk memulihkan kembali harmoni di Ambon pasca kerusuhan ini.
- Kerusuhan Tanjung Balai tahun 2016. Dari konflik antar pribadi berkembang menjadi provokasi di sosial media, hingga akhirnya terjadi pengrusakan 2 vihara, 8 klenteng dan 1 yayasan sosial di Tanjung Balai. Bukan hanya kerusakan materil, namun hancurnya kerukunan dan toleransi adalah sangat mahal yang harus dibayar warga Tanjung Balai.
- Kerusuhan di Papua tahun 2019. Kerusuhan berakar dari pemrotesan perlakuan rasisme pada orang Papua di Surabaya. Konflik dimulai dari perlakuan diskriminatif yang dialami 43 mahasiswa Papua yang sedang menempuh studi di Surabaya, yang mengakibatkan protes atas rasisme di berbagai tempat di Papua. Sayangnya, kerusuhan juga digunakan menjadi kendaraan bagi sebagian masyarakat Papua untuk menyuarakan keinginannya merdeka. Kerusakan bukan hanya materil, jatuhnya korban jiwa dan luka, tapi juga terkoyaknya perasaan kesatuan pada beberapa bagian masyarakat Papua sebagai bagian bangsa Indonesia.
Selain krisis sosial, Komnas Hak Asasi Manusia juga mencatat beberapa persoalan diskriminasi yang masih terjadi di Indonesia.
- Diskriminasi etnis Papua (Melanesia). Diskriminasi yang dialami etnis melanesia adalah gabungan dari diskriminasi rasial, diskriminasi pendidikan, diskriminasi dalam bidang perkerjaan, diskriminasi adat (Basherina, 2008). Isu diskriminasi sering dicampuradukkan dengan isu separatism, sehingga kurang mendapatkan perhatian yang solutif (Briantika, 2020). Masyarakat Papua sering distereotipekan kurang terpelajar, berpenampilan kurang menarik, dan malas sehingga menyulitkan untuk mendapatkan akses pendidikan atau perkerjaan di bidang-bidang tertentu. Perlakuan diskriminasi dan rasis telah membuat penderitaan dan luka pada masyarakat etnis Papua (Henschke, & Amindoni, 2019).
- Diskriminasi pada etnis Tionghoa. Di daerah tertentu, warga negara Indonesia keturunan etnis Tionghoa dipersulit memiliki hak kepemilikan tanah. Mereka juga masih sering dikenai perbedaan perlakuan hukum baik berasal dari kebijakan negara, atau kelompok masyarakat. Sentimen rasis juga sering muncul saat ini dengan penyebutan “aseng”. Diskriminasi ini masih terus terjadi dan dipermaklumkan di masyarakat Indonesia (Bhaskara, 2018a).
Lalu, apa yang bisa kita lakukan setelah menyadari bahwa Indonesia masih punya persoalan rasisme dan diskriminasi? Seharusnya, payung hukum dibuat untuk melindungi masyarakat dari ketidakadilan diskriminatif.
Payung hukum di Indonesia
Tahukah kita, bahwa di Indonesia ada 2 aturan yang seharusnya digunakan untuk mencegah dan menghentikan diskriminasi? Kedua payung ini diharapkan melindungi masyarakat Indonesia dari ketidakadilan diskriminasi ras dan etnis (Basherina, 2008).
1. UU RI no. 30 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Pasal 1 (ayat 1). Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pasal 1 (ayat 5). Tindakan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah perbuatan yang berkenaan dengan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Pasal 4. Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:
(1) memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau
(2) menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
- membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
- berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata- kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
- mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
- melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tindakan yang bersifat menebar kebencian (haatzaai artikelen) atau perlakuan yang diskriminatif.
Pasal 156 KUHP. Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Pasal 157 KUHP:
(1) Barang siapa menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan Rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima (5) tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Dengan kedua pelindung hukum ini, harusnya segala pertimbangan perilaku individu maupun kelompok, masyarakat awam maupun pemerintah, didasarkan tujuan pencegahan diskriminasi berdasarkan ras dan etnis. Dengan hukum ini, masyarakat kita juga dituntut dewasa dalam berhadapan dengan yang berbeda dari mereka, belajar akal sehat, toleransi dan empati.
Namun pada kenyataannya, payung hukum ini pun belum efektif diterapkan ketika ketidakadilan diskriminatif terjadi di Indonesia. Hal ini terjadi karena sikap dan perilaku diskriminatif ternyata masih dipermaklumkan dan luas dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Ketika diskriminasi dipermaklumkan di masyarakat Indonesia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat 101 kasus diskriminasi ras dan etnis di Indonesia pada tahun 2011-2018 (Bhaskara, 2018). Kita tahu diskriminasi salah. Tapi mengapa tetap ada yang melakukannya?
Walaupun telah terbiasa hidup dalam masyarakat yang majemuk sejak ribuan tahun lalu, namun ternyata akhir-akhir ini masyarakat Indonesia canggung menerima perbedaan. Survei yang dilakukan Komnas HAM dan Kompas pada 1.207 orang berusia 17-65 tahun dari 34 propinsi di Indonesia tahun 2018 menemukan, saat ini masyarakat Indonesia menyatakan lebih nyaman hidup dalam kelompok masyarakat keturunan keluarga yang sama (81,9%), lebih memilih hidup dengan kelompok etnis yang sama (83%%), dan lebih memilih hidup dengan kelompok ras (warna kulit) yang sama (82,7%).
Kecanggungan ini bisa mengakibatkan terjadinya pengelompokan sosial berdasarkan etnis dan ras. Masyarakat yang tidak mau berbaur dan cenderung memilih hanya berkelompok dengan orang yang sejenis etnis dan rasnya akan menjadi lebih rentan bersikap rasis dan melakukan diskriminasi.
Lebih lanjut, walaupun mayoritas (>90%) melaporkan belum pernah mengalami diskriminasi, namun hampir separuh menyatakan pernah melihat diskriminasi terjadi. Artinya, orang Indonesia sebenarnya tahu dan paham bahwa ketidakadilan berdasarkan rasisme terjadi di masyarakatnya.
Pertanyaan yang muncul, apa yang dilakukan oleh masyarakat kita melihat ketidakadilan? Jika kelompok masyarakat telah tersegregasi, kemungkinannya, adalah munculnya sikap ekstrem dan sikap tidak peduli.
Orang yang terpisah-pisah berdasarkan kelompok etnis/ras akan menjadi tidak peka dan tidak peduli jika ketidakadilan terjadi pada kelompok lain di luar kelompoknya. Kata-kata “Biar saya, asalkan bukan saya atau kami yang mengalaminya” atau “Mereka layak mengalaminya karena etnis itu perilakunya jelek” dapat muncul di dalam pikiran atau bahkan dilontarkan di interaksi sosial.
Perilaku ekstrem negatif pun bisa muncul ketika merasa ketidakadilan terjadi pada kelompoknya. Bahkan demi “keadilan”yang diinginkan tidak peduli pada perasaan dan hidup orang dari kelompok lain. Misalkan “Demi martabat kelompok kami, maka siapapun yang merendahkan akan kami binasakan”atau “Jika tidak sama warnanya dengan nilai kami, silakan angkat kaki dari tanah ini”.
Sikap lain yang bisa muncul, yang justru terburuk, adalah tidak mengakui adanya masalah. Jika masyarakat Indonesia terus menganggap sudah hebat mengelola keberagaman, maka semua masalah diskriminasi akan “disapu”agar tidak kelihatan. Penyangkalan seperti ini membuat kita tidak bisa fokus melihat, memahami dan mencari solusi atas persoalan yang sebenarnya ada di depan mata.
Sayangnya, hal-hal ini yang terlihat ada di mana-mana sekarang. Diawali dengan pemakluman segregasi berdasarkan agama dan etnis, menyangkal adanya masalah, tapi secara sporadis muncul rasisme yang dipermaklumkan. Celakanya inilah yang bisa menghancurkan nilai keberagaman Indonesia, yang seharusnya menjadi jati diri masyarakat di Nusantara.
Belajar dari George Floyd: Menghancurkan rasisme yang terlembagakan
George Floyd meninggal di tangan polisi yang seharusnya menjadi pamong pelindung warganya. Paradoks yang menyakitkan. Ini penyakit.
Penyakit sosial macam ini terjadi karena diskriminasi telah terlembagakan (systemic racism) (Worland, 2020). Bentuk rasisme yang terjadi sepanjang sejarah, ada dan dilanggengkan dalam institusi politik dan sosial dalam masyarakat.
Orang berdasarkan etnis atau ras akan diperlakukan berbeda dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, hak politik, hak sebagai warga negara, pemilikan kapital/modal/tanah, mencari pekerjaan, dan berbagai hal lainnya. Di Amerika Serkat, George Fl0yd dan etnis minoritas mungkin mengalami beberapa hal ini. Kekerasan yang dilakukan polisi dalam kasus George Floyd bukan persoalan tunggal, tapi sangat terkait dengan sikap diskriminatif yang ternyata masih dimiliki sebagian masyarakat di Amerika Serikat. Akibatnya, melahirkan ketidakadilan bagi kelompok minoritas untuk mendapatkan hak-haknya.
Siapa yang melembagakan ketidakadilan ini? Berkaca dari berbagai kasus rasisme di dunia, pelembagaan rasisme adalah proses yang sangat kompleks dan dipengaruhi banyak faktor. Pengaruh sistem budaya, sejarah, pemerintah dan orang yang menyalahgunakan kekuasaan sosial-politik, faktor ekonomi hingga peran masyarakat dapat melanggengkan rasisme.
Dari refleksi, kita masih melihat ketidakadilan diskriminatif di masyarakat kita. Jika kita masih belum melihatnya, mungkin karena kita masih melihat dari perspektif kelompok etnis kita, atau bias pengelompokan lainnya. Cobalah, belajar melihat dari perspektif orang yang berada di luar kelompok kita. Terutama dari perspektif kelompok minoritas, atau kelompok yang terpinggirkan.
Mungkin kita di Indonesia, perlu lebih jujur. Selain secara sadar dan bangga menyatakan identitas majemuk, tapi juga secara tidak sadar telah terkait, baik secara langsung atau pun tidak langsung, melembagakan diskriminasi ras dan etnis pada beberapa konteks kehidupan bermasyarakat. Ini yang harus kita pahami dan segera tuntaskan.
Perubahan sistem masyarakat yang besar dimulai dari diri sendiri. Jika kita sungguh mau menghentikan penyakit soal tersistem ini, maka setiap individu secara sadar berhenti terlibat, menolak melakukan, tidak lagi abai atau menyangkal, jangan acuh, apalagi jangan mendukung diskriminasi.
Tidak cukup hanya tidak melakukan diskriminasi, tapi perlu anti diskriminasi!
Cara menghancurkan diskriminasi, rasisme dan prasangka
Dalam menghadapi persoalan, pertama-tama harus dikenali dulu masalahnya. Pengakuan masalah adalah tahapan pertama. Penyangkalan justru membuat kita sulit menyelesaikan masalah diskriminasi, rasisme dan prasangka. Ini bukan provokasi, tapi tentang menjadi sadar bahwa kita punya masalah yang harus diselesaikan.
Salah satu kunci perubahan adalah melalui pendidikan. Bukan secara sempit tentang pendidikan formal di sekolah, tapi tentang mendampingi manusia belajar menjadi lebih paham dan bisa melakukan hal yang lebih baik di berbagai konteks kehidupan. Masyarakat Indonesia perlu sadar merubah cara belajar dan berperilaku kembali memeluk identitas kemajemukan kita. Dengan demikian, kita bisa menghentikan penyakit sosial diskriminasi-rasisme ini agar tidak terus terjadi di generasi masa depan.
Orang tua, Guru sekolah, dan warga masyarakat adalah pendidik dalam sistem pendidikan luas ini. Setiap dari kita bisa menjadi sumber belajar bagi orang lain, tentang bagaimana menjadi anti-diskriminasi dengan cara mengembangkan toleransi, empati, dan manusiawi.
Ajari anak-anak kita, tentang bagaimana mendengarkan pengalaman orang lain dari perspektif yang berbeda dari kelompok etnis/ras kita. Terutama berinteraksi dan mendengarkan orang-orang dari etnis/ras minoritas atau kelompok yang beresiko terpinggirkan dan mengalami diskriminasi di masyarakat kita. Kecenderungan berpikir hanya tentang diri atau kelompok kita saja harus secara sadar dikontrol agar tidak membuat kita terjebak resiko melakukan diskriminasi.
Melakukan toleransi artinya siap berhadapan dengan perasaan tidak enak karena menemui hal-hal yang berbeda dari cara pandang kita, kebiasaan kita, bahkan nilai yang kita anut. Tapi inilah kunci menjadi manusia di masyarakat majemuk.
Justru ketika kita diam di hadapan diskriminasi, kita jadi model belajar yang salah tentang menjadi manusia. Sadari, jangan sampai kita yang mengajarkan prasangka, rasisme, dan diskriminasi pada anak-anak kita, karena artinya kita turut terlibat membunuh identitas bangsa besar ini.
Pastikan, anak-anak kita tidak belajar bertindak sewenang-wenang pada orang-orang dari kelompok minoritas, tetapi biarlah mereka belajar menjadi manusia yang mengabdi dan mengayomi masyarakat luas. Menghancurkan prasangka dan sentimen negatif bisa dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan adalah hakekat manusia, dan diikuti dengan kemauan belajar untuk menerima dan mengelola perbedaaan.
“Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.” (Soekarno)
Referensi:
Basherina, A. (2008). Kebijakan formulasi tindak pidana diskriminasi ras dan etnis dalam perspektif pembaharuan hukum pidana. Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
Bhaskara, I.L.A. (2018a). Survei Komnas HAM: Diskriminasi etnis dan ras masih terus ditolerir. Diakses Juni 2020 di https://tirto.id/survei-komnas-ham-diskriminasi-etnis-ras-masih-terus-ditolerir-dahP
Bhaskara, I.L.A. (2018b). Komnas HAM: Masyarakat masih permisif pada diskriminasi ras dan etnis. Diakses Juni 2020 dari: https://tirto.id/komnas-ham-masyarakat-masih-permisif-pada-diskriminasi-ras-etnis-dacm
Briantika, A. (2020). Timpangnya putusan hukum pelaku dan pemrotes rasisme ke orang Papua. Diakses Juni 2020 dari: https://tirto.id/timpangnya-putusan-hukum-pelaku-dan-pemrotes-rasisme-ke-orang-papua-fF6j
Henschke, R. & Amindoni, A. (2019). Papua protest: Racist taunts open wounds. Diakses Juni 2020 dari https://www.bbc.com/news/world-asia-49434277.
Undang-Undang Republik Indonesia no. 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis. Diakses Juni 2020 dari http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU40-2008PenghapusanDiskriminasi.pdf
Worland, J. (2020). America’s long overdue awakening to systemic racism. Diakses Juni 2020 dari https://time.com/5851855/systemic-racism-america/
Oleh: Margaretha
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
We stand in support of racial equality, and all those who search for it.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI