Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Psychological First Aid - Pertolongan Psikologis Pertama: Upaya Bantuan Awal dalam Bencana/Krisis

29 Mei 2020   22:32 Diperbarui: 26 Juli 2021   21:19 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Principe PFA WHO: Look, Listen, Link - Lihat, Dengarkan, Hubungkan

Buku Panduan Pertolongan Psikologis Pertama atau Psychological First Aid (PFA) versi World Health Organization (WHO) dalam Bahasa Indonesia telah diterbitkan oleh Universitas Airlangga. Akses terhadap buku panduan ini juga dibuka gratis di repository WHO (link lihat di referensi). 

Modul PFA WHO adalah salah satu yang paling banyak digunakan oleh relawan bencana/krisis dalam memberikan pertolongan pada manusia terdampak bencana/krisis di dunia. Tulisan ini menguraikan mengapa relawan perlu memiliki keahlian PFA sebelum masuk ke dalam konteks bencana/krisis.

Psikologis manusia setelah bencana/krisis 

Indonesia adalah salah satu daerah rawan bencana, baik bencana alam (banjir, gempa, erupsi gunung, dan sebagainya), maupun bencana yang dibuat manusia (kecelakaan, perang). Setiap tahunnya banyak bencana dan krisis terjadi dan mengakibatkan banyaknya orang terdampak bencana. Selain itu, setiap manusia bisa berhadapan dengan situasi krisis, misalkan: kehilangan/kematian orang yang dikasihi, persoalan personal atau keluarga, pandemi, dan krisis ekonomi serta krisis komunitas lain sebagainya.

Setelah bencana/krisis, manusia dapat menghadapi berbagai kerusakan fisik, psikologis dan sosial. Hal ini berdampak besar karena dapat memunculkan persoalan psikis dalam jangka pendek dan jangka panjang. Oleh karena itu, masyarakat di Indonesia harus memiliki kesiapan penanganan bencana dan krisis. 

Perlu dipahami bahwa tidak semua orang yang mengalami bencana/krisis akan menunjukkan gejala trauma. Adalah alamiah jika manusia terdampak bencana/krisis akan mengalami fase krisis, dan akan menunjukkan reaksi sedih dan emosional setelah mengalami bencana. Stress adalah reaksi normal dalam situasi abnormal seperti dalam bencana dan krisis.

Sebagian besar orang, biasanya akan melampaui kesulitannya tersebut dan kembali dapat berfungsi secara adaptif. Artinya, tidak semua orang membutuhkan penanganan trauma (trauma healing). Yang lebih penting adalah bantuan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi krisis yang dialaminya. 

Namun, akan ada sebagian orang yang menunjukkan gejala problem psikologis, seperti: kesedihan sangat mendalam yang tidak bisa dikendalikan, kesulitan mengelola persoalan pribadinya, dan kesulitan menyesuaikan diri dalam bencana/krisis yang dihadapinya. Gejalanya, misalkan: emosi yang meluap-luap, sedih luar biasa hingga mereka kesulitan mengelola dirinya, kesulitan makan atau tidur, dan problem perilaku lainnya yang mulai menggangu mereka dalam melakukan hidup sehari-hari. Merekalah yang akan membutuhkan bantuan dari professional dalam bidang kesehatan mental.

Secara alamiah, reaksi emosional pada saat menghadapi musibah seperti ini akan menurun dengan berjalannya waktu. Namun, bila gejala reaksi emosional tersebut menetap dan dengan intensitas yang tinggi untuk waktu yang lama, atau lebih dari 3 bulan, maka akan diperlukan Terapi Trauma yang bisa diberikan oleh Psikolog Klinis atau Psikiater dengan spesialisi trauma therapy.

Apa yang dibutuhkan?

Bantuan psikososial dalam masa bencana/krisis diberikan untuk mendukung orang terdampak bencana untuk dapat kembali melakukan fungsi hidupnya sehari-hari, seperti: menyiapkan makan dan minum, bekerja, sekolah, perawatan diri dan melakukan interaksi sosial di komunitasnya. 

Kembali ke rutin dan pola hidup yang teratur membuat pengungsi dapat mengantisipasi apa yang akan dihadapinya, dan hal ini dapat lebih memberikan perasaan aman dan tenang.

Namun, masih banyak salah kaprah yang terjadi di konteks bencana. Berpikir bahwa membantu orang dalam krisis adalah segera memberikannya trauma healing. Ada juga, upaya bantuan psikologis yang berusaha membuat orang terdampak bencana/krisis bisa melupakan kesedihannya. Akibatnya, di tengah tenda pengungsi banjir dibuat panggung musik atau memanggil badut; semuanya dilakukan agar segera menggantikan sedih dengan senyum bahagia (instant). 

Hal-hal ini kurang tepat, karena tidak semua akan membutuhkan penanganan trauma, dan masalah belum bisa diselesaikan tuntas jika solusinya hanya sementara seperti hiburan. Yang dibutuhkan orang yang berhadapan dengan bencana/krisis adalah pertolongan untuk segera mencapai perasaan dan kondisi aman (safety), kestabilan agar dapat beraktivitas (function), dan fasilitasi agar dapat memulihkan kembali hidupnya (action).

Tujuan PFA
Tujuan PFA

Orang terdampak bencana/krisis membutuhkan perlindungan dan keamanan, makanan-minuman, informasi, bantuan praktis dan hal-hal yang mendukung mereka untuk melanjutkan hidup dalam situasi krisis. Ada juga yang akan membutuhkan dukungan sosial karena rentan terhadap discriminas dalam situasi krisis.

Ada fenomena 'wisata bencana', dimana orang akan datang sebentar untuk memberikan sedikit bantuan, difoto dan direkam di sosial media, dan pulang dengan perasaan senang karena merasa telah membantu. Kenyataannya, belum tentu perilaku seperti ini membantu orang terdampak bencana. Malah yang bisa terjadi adalah terhambatnya pembentukan sikap resilien pada orang terdampak bencana, atau bahkan muncul antipati pada orang-orang yang kelak datang menolong karena dianggap hanya memanfaatkan situasi demi gengsi dan citra sosial. 

Saya pernah melihat contohnya. Di suatu tenda pengungsian, setelah setiap hari dalam beberapa minggu bertemu dengan orang asing yang membawa makanan/mainan, berfoto-foto lalu pulang, maka anak-anak di sana akan mendatangi setiap orang baru yang ditemuinya untuk meminta-minta makanan/mainan. Allah-alih membantu, yang terbentuk adalah mental yang melemahkan ketangguhan pribadi anak kelak. 

Psychological First Aid

Pertolongan Psikologis Pertama atau Psychological First Aid (PFA) adalah suatu pendekatan bantuan psikososial manusia pasca bencana yang humanis, praktis, dan mendukung pada orang-orang yang mengalami bencana/krisis. Sifatnya pertolongan universal untuk semua orang terdampak bencana.

PFA bertujuan untuk memberikan pertolongan agar korban bencana merasa aman; terhubung dengan lingkungan dan sumber bantuan fisik, psikologis, dan sosial yang ia butuhkan; serta mengembalikan perasaan berdaya dan mampu mengendalikan hidupnya sendiri. 

Biasanya, PFA akan dilakukan hingga 4-6 minggu awal segera setelah kejadian bencana. Setelah itu, akan dilanjutkan dengan bantuan psikososial lainnya yang lebih bisa mendukung fase melanjutkan dan menyesuaikan hidup pasca bencana (rehabilitation phase). 

PFA akan membuat orang-orang menjadi lebih tangguh atau resilien dalam menghadapi bencana/krisisnya. PFA dapat digunakan setelah peristiwa krisis atau traumatis, seperti: bencana alam/akibat manusia, situasi kedaruratan, atau krisis hidup pribadi.

PFA bertujuan membantu pemenuhan kebutuhan dasar dan mengurangi stress serta tekanan psikologis yang dialami manusia dalam situasi bencana dengan cara melayani secara penuh kepedulian dan tulus.

PFA juga memberikan psikoedukasi tentang bagaimana mengelola reaksi stress dalam situasi bencana. Hal-hal ini akan mengembangkan perasaan berdaya pada pengungsi, dan pada kelanjutannya dapat mendukung berkembangnya kemampuan pengelolaan krisis pada orang terdampak bencana.

Principe PFA WHO: Look, Listen, Link - Lihat, Dengarkan, Hubungkan
Principe PFA WHO: Look, Listen, Link - Lihat, Dengarkan, Hubungkan

PFA versi WHO adalah serangkaian respon manusiawi dan supportif pada manusia yang sedang menderita atau memerlukan bantuan dan pertolongan. Beberapa diantaranya adalah:

  1. Memberikan perawatan dan dukungan yang praktis, namun tidak menginterupsi
  2. Mencanangkan kebutuhan dan hal-hal yang harus diperhatikan 
  3. Membantu orang-orang untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar (contohnya, makanan dan minuman, informasi)
  4. Menjadi pendengar, namun tidak memaksa mereka untuk berbicara 
  5. Menghibur orang-orang dan membantu mereka merasa tenang
  6. Membantu orang-orang untuk terhubung pada penyedia informasi, layanan-layanan lain, dan sosial
  7. Melindungi orang-orang dari bahaya yang lebih lanjut

Berdasarkan berbagai penelitian, PFA terbukti membantu pemulihan manusia pasca bencana/krisis/trauma dan efeknya bisa dirasakan hingga jangka panjang. Hal ini dapat terjadi karena, manusia terdampak bencana akan dibantu untuk mencapai:

  1. Perasaan aman, terhubung dengan yang lainnya, tenang, dan penuh harapan.
  2. Memiliki akses untuk bantuan sosial, fisik, dan emosional.
  3. Perasaan mampu untuk membantu dirinya sendiri, sebagai individu maupun sebagai komunitas.

Dengan tercapainya ketiga hal tersebut, diharapkan agar manusia dapat membangun diri dan hidupnya kembali pasca bencana/krisis/trauma yang dialaminya secara alamiah.

Penting juga dipahami bahwa PFA bukanlah usaha untuk pemulihan gangguan psikologis/mental, oleh karena itu PFA tidak menanyakan kepada orang terdampak bencana/krisis tentang penyebab luka psikologisnya. PFA tidak menganalisa apa masalah yang telah terjadi atau meminta detail kejadian yang menyebabkan kondisi yang tidak mengenakkan (PFA is not psychological debriefing). 

Relawan PFA akan menjadi pendengar untuk orang-orang, dan tidak akan melakukan pemaksaan agar orang-orang mau menceritakan perasaan dan reaksi mereka terhadap suatu kejadian.

Siapa yang melakukan PFA? 

PFA perlu diberikan oleh relawan yang telah terlatih untuk memberikan bantuan psikososial secara tepat. Relawan perlu dibekali keterampilan PFA melalui pelatihan dan pengembangan keterampilan memberikan bantuan psikososial. 

PFA bukanlah konseling profesional, sehingga relawan yang akan mempelajari PFA tidak harus memiliki latar belakang psikologi atau ilmu kesehatan. Relawan dari berbagai latar belakang pendidikan dapat mengikuti pelatihan PFA. Semua relawan yang terlibat dalam pertolongan di masa bencana/krisis bisa mempelajari PFA. Tidak hanya relawan yang membantu pengungsi/orang secara langsung, bahkan petugas logistik atau keamanan pun perlu memahami prinsip PFA.

Training PFA WHO dapat dilakukan dalam waktu 1 hari (sekitar 7 jam) dengan standar pelatihan WHO. Dengan keahlian yang didapat dari training ini, relawan dapat menerapkan PFA dalam kegiatan atau aktivitas mereka di konteks bencana.

PFA diberikan secara integratif dalam pertolongan di masa krisis, artinya tidak diberikan secara fragmental atau terpisah-pisah dengan bantuan lainnya. PFA seharusnya diberikan di bawah koordinasi institusi yang berwenang dalam konteks bencana agar layanan dalam konteks bencana menjadi terintegrasi.

Training PFA WHO di Surabaya tahun 2016
Training PFA WHO di Surabaya tahun 2016

Perlindungan diri relawan juga harus diupayakan. Terkadang, relawan mengalami kelelahan dan sulit merawat diri sendiri karena menghadapi berbagai tantangan kerja dalam konteks bencana. PFA akan membekali relawan dengan cara-cara meningkatkan resiliensi dan kesiapan melaksanakan tugas relawan dalam konteks bencana. 

Simpulan

PFA merupakan pendekatan intervensi dalam mendampingi manusia terdampak bencana/krisis, dalam rangka mengurangi stress awal dan membangun kemampuan fungsi adaptif jangka panjang. Harapannya dengan penerapan PFA, maka persoalan berkelanjutan terkait dengan bencana/krisis dapat diturunkan atau dicegah. 

PFA WHO dapat digunakan sebagai panduan umum mengenai pelaksanaan pemberian pertolongan psikologis pertama di situasi bencana/krisis. PFA WHO juga berusaha untuk memperhatikan faktor sosial-budaya-spiritual yang dapat mempengaruhi sikap, perilaku dan emosi korban/pengungsi dalam situasi bencana.

Perlu dipahami bahwa ada banyak jenis bencana dan reaksi orang terdampak bencana juga bisa berbagai bentuknya. Oleh karena itu bentuk intevensi yang diberikan juga perlu mempertimbangkan banyak faktor dan harus diberikan secara fleksibel. Termasuk mempertimbangkan kebutuhan individual-masyarakat, perilaku sosial dan budaya, nilai serta kepercayaan orang terdampak bencana. Maka relawan bencana sebelum masuk ke konteks bencana perlu mempelajari konteks bencana yang terjadi/yang akan dihadapinya.

Referensi: 

World Health Organization (2011). Psychological first aid: A Guide for field workers. WHO: Geneva. 

World Health Organization (2020). Pertolongan Psikologis Pertama: Panduan bagi Relawan Bencana. Airlangga University Press: Surabaya. 

Buku dapat diakses terbuka dari repository WHO di https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/44615/9789241548205-ind.pdf 

Pertolongan Psikologis Pertama (Psychological First Aid): Upaya Bantuan Awal Pada Korban Bencana/Krisis 

Oleh: Margaretha 

Penerjemah modul Psychological First Aid World Health Organization ke Bahasa Indonesia (WHO, 2011) atas dukungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Direktorat Penanganan Pengungsi pada tahun 2016.

Dosen Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Universitas Airlangga, Surabaya.

Editor Buku Pertolongan Psikologis Pertama: Panduan bagi Relawan Bencana (AUP, 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun