Berita tentang masalah dan hal mencekam, memang akan lebih laku dan populer. Namun, akan jauh lebih benar dan bertanggungjawab, jika media komunikasi dan sosial, tidak hanya menyediakan berita sedih, takut dan mencekam; namun juga berimbang memberikan informasi mengenai kemanusiaan di tengah krisis ini. Cerita tentang harapan dan upaya orang untuk sembuh dan melanjutkan hidup.
Mengapa menggunakan stigma?Â
Orang menggunakan stigma adalah indikasi ketidakpahaman tentang apa COVID-19. Cara melawan stigma, yang lahir dari ketidaktahuan adalah pendidikan-pengetahuan.Â
Dari pengetahuan bisa muncul solidaritas, empati dan sikap mau membantu. Bukan mengucilkan orang terdampak COVID-19, tapi akan membantu sesuai prosedur kesehatan yang telah dipahami. Kita bisa tetap membantu orang terdampak COVID-19 sesuai prosedur kesehatan, asal paham dan tahu caranya.Â
Stigma dan malas berpikirÂ
Namun perlu dipahami, stigma juga bisa lahir dari kebebalan (ignorance). Bukan karena ketidaktahuan, orang bebal menggunakan stigma karena terlalu yakin dengan apa yang ada di pikirannya, atau nilai yang dianutnya, atau yang dia percaya sebagai benar sehingga tidak mau belajar lagi, serta tidak mau menerima masukan.Â
Untuk orang seperti ini, tidak bisa diharapkan untuk belajar. Biasanya mereka sulit menerima informasi baru, malas belajar dan berpikir dengan wawasan baru, karena sudah terlalu sombong dan yakin akan pikirannya sendiri.
Untuk orang-orang yang bebal yang terus melanggar aturan kesehatan masa krisis pandemi ini perlu digunakan pendekatan aturan dan hukum. Pelanggaran peraturan harus diberikan sanksi segera.Â
Di dalam Psikologi, hukuman akan bermakna menjadi ‘hukuman’ jika diberikan segera setelah perilaku salah terjadi. Jika hukuman baru diberikan lama setelah pelanggaran atau perilaku salah tidak dihukum, maka aturan akan tumpul dan hukuman tidak akan membuat orang jera. Jika penegakan hukum lemah, maka aturan pun akan sia-sia.Â
Penegak hukum pun akan dilindas serta hukum tidak akan diindahkan. Memberikan sanksi pada pelanggar adalah proses koreksi primer, agar tidak melakukan lagi. Namun hal ini juga bisa bermakna koreksi sekunder; menjadi pembelajaran bagi yang lainnya agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti pelaku.Â
Bagaimana merubah perilaku di tengah pandemi?Â