Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sejahtera di Sekolah: Mengupayakan Kesehatan Mental di Dunia Pendidikan

2 Mei 2020   20:33 Diperbarui: 2 Mei 2020   20:44 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun kenyataannya, tidak semua siswa memiliki emosi dan penghayatan positif terhadap sekolah. Hal ini bisa terjadi karena mengalami berbagai masalah mental dalam kehidupan mereka, atau pun persoalan dengan relasi sosialnya di sekolah, misalkan relasi sosial dengan Guru, atau dengan teman sebaya. Maka, dalam rangka mencapai kesejahteraan di sekolah, perlu untuk dikembangkan upaya-upaya meningkatkan kesehatan mental di sekolah. 

Upaya kesehatan mental: menciptakan perasaan sejahtera di sekolah 

Kesehatan mental didefinisikan oleh World Health Organization (WHO, 2001) sebagai keadaan dimana individu dapat mengaktualisasi potensi dirinya, mampu menyelesaikan persoalan hidupnya sehari-hari, bekerja produktif, dan melakukan kontribusi di masyarakat. Dari definisi umum ini dapat dipahami bahwa kesehatan mental adalah kondisi yang perlu diupayakan bagi semua siswa di sekolah. 

Penting dipahami, kesehatan mental tidak sama dengan penyakit mental. Kesalahan berpikir yang sering muncul juga adalah alergi bicara tentang kesehatan mental karena menganggap kesehatan mental hanya untuk orang-orang sakit mental. Upaya kesehatan mental bisa mencakup: 

  1. cara-cara pencegahan persoalan psikologis (preventif), 
  2. upaya penanganan persoalan psikologis yang tengah dialami (kuratif), 
  3. strategi meningkatkan kekuatan psikologis untuk mencapai ketangguhan psikologis atau resiliensi (promotif). 

Ketiganya dapat dilakukan di konteks pendidikan. Namun, sekolah perlu lebih memfasilitasi kegiatan preventif dan promotif dalam rangka peningkatan kesehatan mental siswa.

Di Australia, organisasi Beyond Blue telah mengembangkan program kesehatan mental universal di sekolah, yang menyasar mengembangkan 6 aspek diri yang telah banyak diteliti dan ditemukan memiliki kemampuan protektif mencegah gangguan psikologis. 

  1. Harga diri. Kemampuan diri untuk menghargai dirinya sendiri adalah sangat mendasar untuk mencapai kesehatan mental. Orang dengan harga diri yang rendah ditemukan lebih sering mengalami kekerasan, menjadi pelaku dan korban penindasan/bullying, serta lebih rendahnya kinerja belajar karena kurang yakin akan kemampuannya sendiri. Harga diri yang positif ditemukan tumbuh di tengah iklim belajar yang mampu mengapresiasi usaha belajar bukan hanya terpaku pada prestasi belajar. 
  2. Kemampuan kendali diri. Kapasitas kelola diri ditemukan sebagai kunci keberhasilan manusia di masa depan. Anak yang menunjukkan kemampuan kontrol emosi dan perilaku, ditemukan lebih mampu mencapai prestasi akademik, mencapai tingkat pendidikan hingga ke jenjang pendidikan tinggi, lebih rendah tingkat stress belajar, lebih rendah resiko terlibat kriminalitas, dan lebih mampu mencapai sukses di masa dewasanya. 
  3. Kapasitas terlibat secara sosial. Jordan Peterson, seorang Psikolog Klinis, mengatakan bahwa tanda keberhasilan pengasuhan pada anak di bawah 5 tahun adalah anak menjadi anak yang sering diajak bermain oleh teman-temannya. Anak yang mampu melibatkan diri dengan lingkungan sosialnya adalah anak yang adaptif dan kelak lebih mampu menghadapi kehidupannya. Kemampuan ini akan digunakan sebagai sumber (resources) pengelolaan masalah kelak. Siswa yang mampu menjalin relasi sosial secara positif dengan teman sebayanya, guru-gurunya, lingkungan sekolahnya akan memiliki motivasi belajar yang lebih kuat. Lalu, ketika mengalami persoalan, siswa dengan relasi sosial yang baik akan mendapatkan dukungan dan bantuan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga ia lebih mampu menyelesaikan persoalannya. Lebih lanjut, siswa juga bisa terlibat sebagai sumber dukungan sosial bagi teman-temannya. Hal ini akan membuahkan kontribusi ke orang di sekitarnya. 
  4. Kemampuan memberikan makna atas pengalaman diri. Kemampuan memaknai pengalaman hidup adalah suatu kemampuan kompleks yang hanya bisa dicapai jika anak memiliki keterampilan refleksi diri. Anak perlu dilatih untuk berhenti dan melihat dirinya sendiri, untuk melakukan evaluasi apa yang tengah dipikirkan dan dirasakannya, serta melihat apakah yang telah dilakukannya memberikan makna untuk mencapai apa yang ingin dicapainya. Anak yang mampu memaknai pengalamannya ditemukan tingkat kesejahteraan psikologisnya lebih tinggi dan resiko mengalami problem mentalnya rendah. Anak yang abai melakukan refleksi diri menjadi tidak mampu memahami perasaan dan persoalan yang dihadapinya, dan sebagai akibatnya lebih rentan stress dan sulit menyelesaikan persoalannya secara mandiri. 
  5. Kemampuan merencanakan. Perencanaan dibangun dengan kapasitas melihat dan menyusun tujuan di masa depan (berpikir visioner). Kemampuan perencanaan akan bekerja dengan kemampuan kelola diri, keduanya membantu anak untuk mengawasi dirinya sendiri. Anak akan mengevaluasi tindakannya untuk mencapai tujuannya dan mengantisipasi persoalan di depan. Siswa dengan kemampuan perencanaan ditemukan lebih mandiri dalam belajar, juga lebih mampu mengantisipasi dan menyelesaikan persoalannya. 
  6. Kapasitas humor. Tertawa ditemukan memiliki dampak fisiologis relaksasi, dengan tertawa otot tubuh jadi rileks, hormon rileks pun diproduksi dan imunitas meningkat. Anak dengan kemampuan humor ditemukan lebih mampu mengelola emosinya dan lebih bisa menghadapi persoalan hidupnya. Siswa yang memahami humor juga ditemukan lebih bisa memunculkan cara berpikir positif dan optimis.

Pengembangan keenam aspek diri ini difasilitasi untuk semua siswa di sekolah, dan dilakukan oleh Guru di sekolah, dimana guru-guru telah dilatih sebelumnya dan didampingi oleh ahli psikologi dan perkembangan anak-remaja. Proses ini penting dilakukan oleh guru, sehingga guru bisa menjadi pendamping belajar siswa yang utuh. Guru bukan hanya fasilitator belajar berpikir, tapi juga menjadi teman seperjalanan siswa dalam menuju pemahaman yang lebih utuh tentang dirinya sendiri dan caranya menghadapi dunia hidupnya. 

Juga perlu dipahami, bahwa akan ada beberapa anak di sekolah yang membutuhkan layanan psikologis intensif, bukan hanya pengembangan keenam kapasitas diri ini. Biasanya mereka adalah anak yang memiliki persoalan psikologis sebelumnya (misalkan anak dengan depresi, kecemasan, trauma), atau anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah (misalkan anak dengan Autisme, ADHD). Selain upaya universal tadi, mereka memang akan membutuhkan bantuan tambahan dari tenaga profesional lainnya, seperti: mengakses konselor sekolah pada waktu-waktu tertentu, mendapatkan layanan tambahan di sekolah, atau dirujuk ke tenaga kesehatan mental (psikolog sekolah, psikolog klinis, atau dokter anak). 

kbr.id
kbr.id
Proses belajar yang mendukung kesehatan mental menjadi pendidikan yang utuh 

Sekolah adalah dunia yang penting bagi anak usia sekolah. Anak usia sekolah menghabiskan sebagian besar waktunya dalam dunia pendidikan. Maka, selayaknya, dunia pendidikan menjadi sumber kesehatan mental anak usia sekolah. Dengan demikian, sekolah melakukan tanggungjawabnya untuk menyelenggarakan pendidikan secara utuh demi membantu anak mengaktualkan potensi dirinya. 

Kesalahan-berpikir yang terlalu berorientasi pada aspek kognitif sudah tidak layak dipertahankan. Guru bukan hanya sumber ilmu berpikir. Guru-guru juga perlu terlibat dalam upaya pengembangan aspek-aspek diri anak, seperti: harga diri, kemampuan kelola diri, kemampuan berelasi sosial, kemampuan memaknai pengalaman hidup, kemampuan merencanakan dan kapasitas humor. Kuncinya, guru berperan bukan sebagai sumber teori tentang hidup, namun sebagai teman perjalanan anak dalam upayanya mengembangkan diri. Sebagai mentor, bukan sebagai "bank". Dengan pendekatan kesehatan mental universal di sekolah, diharapkan persoalan psikologis berat bisa dicegah atau bisa dikelola agar tidak menjadi masalah yang lebih berat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun