Apakah sebenarnya yang ingin kita capai dengan pendidikan? Apakah tepat jika pencapaian akademik direduksi hanya sebagai prestasi intelektual? Kecenderungan kita berharap pada pendidikan untuk mengasah utamanya kemampuan berpikir siswa agar pintar menyelesaikan persoalan serta menciptakan produk, layanan dan teknologi di masa depan. Penyederhanaan tujuan pendidikan seperti ini adalah naif dan tidak tepat. Sekolah perlu berperan meningkatkan kapasitas belajar dan juga kesejahteraan siswa, agar bisa berkembang menjadi manusia yang utuh dan mampu berfungsi di masyarakat. Tanggung-jawab pendidikan ini perlu dilaksanakan dengan tepat, karena jika sekolah gagal menyediakan proses belajar secara utuh, maka dapat menciptakan persoalan bagi siswanya hingga ke masa depan.
Peran pendidikan dalam berpikir, merasa dan bertindakÂ
Paulo Freire menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia melalui pembelajaran yang memanusiakan. Pendidikan diharapkan memfasilitasi manusia untuk mencapai aktualisasi potensi dirinya, dan mengarahkan manusia untuk berkarya secara bermakna di dalam masyarakatnya. Pencapaian aktualisasi terjadi jika didukung berbagai kapasitas diri; bukan hanya berpikir, tapi juga merasa, dan bertindak; bukan hanya tentang pengelolaan diri tapi juga interaksi dengan orang lain. Pendidikan perlu terlibat dalam keseluruhan proses ini secara proporsional.Â
Kesalahan berpikir yang sering terjadi adalah kemampuan berpikir diletakkan sebagai yang paling penting, sedangkan kapasitas merasa dan bertindak cenderung diabaikan dalam pendidikan. Perlu digarisbawahi, ketiganya sama penting. Hilangnya satu komponen akan mempengaruhi kehadiran yang lainnya. Salah satu contoh kasus klinis digambarkan oleh Antonio Damasio (1994) tentang kliennya "Elliot". Ia seorang laki-laki intelek, yang awalnya memiliki kehidupan sukses dalam pekerjaan dan kehidupan keluarganya. Namun, semuanya menjadi hancur setelah tumor menyerang bagian otaknya yang mengelola emosi. Setelah operasi pengangkatan tumor, kapasitas intelektualnya ditemukan tidak berubah (kapasitas memori dan skor IQ yang masih tergolong tinggi), tapi Elliot menjadi menjadi orang yang dingin secara emosional. Dampaknya, ia sangat sulit membuat keputusan, tidak mampu menyelesaikan tugas, membuat keputusan-keputusan yang salah sehingga perusahaannya bankrut, bahkan rumah tangganya menjadi hancur. Damasio menyimpulkan, ketika emosi cacat, maka kemampuan berpikir manusia dalam pengambilan keputusan juga cacat.Â
Jika di dalam proses pendidikan, hanya penalaran dan berpikir yang fokus diasah, serta kurang menyediakan proses pembelajaran emosi dan tindakan, maka kita juga akan menghasilkan kecacatan. Siswa mampu berpikir dan menyelesaikan soal dalam ujian, namun gagap dan tidak bisa bertindak ketika berhadapan dengan persoalan dalam realita kehidupan. Bahkan, tidak jarang, kita mendengar siswa cerdas kita jatuh dalam sandungan emosi negatif seperti rakus dan ketidakjujuran sehingga terjebak dalam mencontek dan perilaku koruptif lainnya.Â
Kesejahteraan psikologis dan prestasi akademik pada anak usia sekolahÂ
Pendidikan di sekolah perlu mengupayakan kesejahteraan psikologis siswa didiknya. Untuk mencapai hal ini guru pun perlu menyadari prosesnya untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis dijelaskan sebagai emosi positif dan penghayatan pengalaman yang positif.
Suasana hati atau emosi yang positif berdampak baik pada adaptasi psikologis dan sosial siswa di sekolah. Anak dengan emosi positif di sekolah ditemukan lebih rendah masalah emosional dan problem perilakunya. Siswa dengan kepuasan hidup tinggi memiliki harapan sukses dan tingkat stressnya tergolong rendah (Gilman & Huebner, 2006). Maka, emosi positif dan kepuasan hidup dapat dianggap sebagai indikator kesejahteraan subyektif (subjective wellbeing; SWB). Jika proses belajar lebih banyak dipenuhi emosi negatif, sebagai akibatnya, walaupun kapasitas kognitif mereka tergolong baik, namun mereka merasa tidak sejahtera di sekolah. Siswa merasa tidak punya kendali atas dirinya dan pengalaman belajarnya; dan mereka akan lebih rentan mengalami keputusasaan dan ketidakbahagiaan (Buric & Soric, 2012).Â
Penghayatan hidup yang baik ditunjukkan dengan sikap positif hidup, bahkan dalam menghadapi kesulitan; hal ini dikenal sebagai kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing; PWB). PWB dalam konteks pendidikan menekankan pada pentingnya menciptakan keadaan siswa yang positif, seperti: suasana hati dan sikap yang positif, resiliensi, kepuasan atas diri sendiri dan juga atas hubungan dengan orang di sekitarnya, serta pengalaman di sekolah (ACU dan Erebus International, 2008). Siswa dengan PWB akan menunjukkan perilaku belajar dengan motivasi, resiliensi, afeksi, dan perilaku adaptif (Phan & Ngu, 2015).Â
Kesejahteraan di sekolah akan mendukung siswa mencapai prestasi akademik yang optimal. Jennings dan Di Prete (2010) menemukan bahwa anak-anak yang memiliki tingkat sikap belajar yang positif akan belajar lebih banyak di sekolah daripada anak-anak yang sikap belajarnya lebih negatif. Stankov, Morony dan Lee (2014) menunjukkan bahwa keyakinan diri adalah prediktor non-kognitif terbaik atas kemampuan matematika dalam PISA 2003. Berbagai riset ini semakin menegaskan bahwa penumbuhan kesejahteraan di konteks pendidikan adalah sangat penting dan akan memiliki konsekuensi jangka panjang di masa depan anak, melampaui masa usia sekolah.Â