Dalam masa krisis ini, salah satu persoalan mental yang ditemukan meningkat adalah kecanduan. Dari kecanduan zat, seperti: narkotika, obat-obatan dan zat adiktif lainnya, hingga kecanduan non-zat, seperti ketergantungan game online, judi, pornografi dan smartphones. Berbagai penelitian menemukan bahwa kecanduan terjadi bukan sekedar faktor biologis, tapi juga pengaruh lingkungan, yaitu: kurangnya relasi sosial.Â
Manusia yang menjadi pecandu ditemukan sebagai orang-orang yang mengalami kekurangan atau ketidakmampuan untuk membangun relasi sosial yang bahagia dan sehat dengan orang-orang di lingkungannya.
Jika masyarakat meneriakkan perang terhadap kecanduan ("say no to drugs!"), dan pecandu dianggap sebagai kriminal yang harus diasingkan serta mendapatkan hukuman agar jera ("lingkungan ini tidak menerima pecandu!"), maka apakah sudah tepat penanganan masalah kecanduan yang kita lakukan selama ini?
Tulisan ini akan menguraikan bagaimana pendekatan rehabilitasi sosial justru perlu dilakukan untuk menangani akar masalah kecanduan.Â
Mengapa kecanduan?Â
Pandangan yang banyak beredar di masyarakat mengilustrasikan bahwa penggunaan berulang zat adiktif akan menyebabkan seseorang menjadi pecandu.
Kecanduan terjadi ketika tubuh bereaksi terhadap penggunaan berulang zat adiktif. Akibatnya, tubuh menginginkan zat adiktif terus-menerus, keinginan mengkonsumsi zat pun meningkat baik secara fisik dan psikis; lalu manusia menjadi pecandu.Â
Namun, berbagai penelitian menemukan kecanduan tidak terjadi sesederhana itu. Ribuan pasien di Rumah Sakit setiap harinya menggunakan diamorphine (merupakan morphine murni untuk kepentingan medis), sebagai bagian regimen obat dalam penanganan luka kecelakaan; tapi tidak menjadi pecandu. Pada manusia, hal ini juga pernah ditemukan di Perang Vietnam.
Saat itu, sekitar 20% prajurit Amerika Serikat menggunakan heroin, namun pada akhir perang sekitar 95% dari tentara pengkonsumsi heroin berhenti begitu saja tanpa menjadi pecandu ketika pulang ke rumahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa ada hal lain dari sekedar penggunaan zat adiktif berulang, yang menentukan mengapa seseorang menjadi pecandu (Hari, 2015).Â
Penelitian yang dilakukan oleh Bruce Alexander pada tahun 1980an menemukan penjelasan mengenai hal tersebut.
Ia membagi 2 kelompok tikus yang mendapatkan perlakukan berbeda. Kelompok tikus 1 hidup sepi karena interaksi sosial di kandang dibuat minimal, dan kelompok tikus 2 hidup dengan banyak tikus lain dan diberikan alat permainan sebagai dukungan perilaku sosial dan aktivitas. Masing-masing kelompok diberikan 2 jenis air, air dengan heroin dan air biasa setiap hari.
Bruce Alexander menemukan bahwa tikus yang mengalami hidup sepi akan lebih memilih minum air dengan heroin dan bahkan banyak yang ditemukan minum air heroin secara berlebihan hingga mati, sedangkan tikus yang memiliki hidup penuh relasi sosial banyak yang memilih air biasa dan bertahan hidup dalam lingkungannya.
Tikus bahagia tidak menjadi pecandu, namun tikus yang kesepian dan tidak bahagia menjadi pecandu bahkan kehilangan kemampuannya untuk mengelola diri.
Bruce Alexander menyimpulkan, yang membuat seseorang pengguna menjadi pecandu adalah ketika hilang atau berkurangnya kemampuannya untuk membina hubungan sosial dan lingkungan hidup yang tidak/kurang bahagia.Â
Lalu bagaimana dengan kecanduan non-zat? Pedoman diagnostik gangguan mental (Diagnostic and Statistics of Mental Disorders; DSM V, 2013) yang disusun oleh American Psychiatry Association menyatakan bahwa peningkatan jumlah perilaku kecanduan terjadi bukan hanya pada penggunaan zat adiktif, namun juga aktivitas seperti game online dan judi.
Secara neuropsikologi, kecanduan, baik zat (ketergantungan zat adiktif legal ataupun ilegal) dan non-zat dijelaskan telah merusak aktivitas dan fungsi dopamin di otak.
Namun, yang penting digaris-bawahi adalah, lingkungan hidup yang tidak bahagia juga ditemukan banyak dialami oleh pecandu non-zat. Depresi, isolasi, penolakan dan perasaan tidak bahagia adalah beberapa hal yang ditemukan terkait dengan munculnya kecanduan non-zat.
Relasi sosial dan kecanduan
Manusia memiliki kebutuhan untuk membuat hubungan dengan orang-orang di sekelilingnya (connection) (Hari, 2015). Sejak kecil kita telah terprogram oleh kebutuhan alamiah dasar untuk melekat pada pengasuh untuk mendapatkan makanan, kasih sayang, dan rasa aman (attachment).
Ketika anak manusia mendapatkan pemenuhan kebutuhan dari seseorang maka ia akan mengembangkan hubungan atau koneksi dengan orang tersebut (bonding). Maka, dalam masa hidup selanjutnya adalah alamiah bagi manusia untuk membuat hubungan atau relasi dengan hal-hal yang memberikannya rasa aman dan nyaman.
Berbagai penelitian menemukan, jika manusia mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar sosialnya ini, maka ia akan mendapatkan hidup yang bahagia dan sehat.Â
Namun apa yang terjadi jika manusia tidak mendapatkan hubungan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk berelasi?
Beberapa manusia ditemukan akan merasa kosong, lalu berusaha mengisi kekosongannya dengan ikatan-ikatan baru, baik dengan benda, zat atau aktivitas di sekitarnya. Salah satu bentuknya adalah ikatan dengan benda/zat adiktif, yang memberikan kenikmatan sementara bagi pengguna, sehinggga ia akan berusaha mengulang penggunaan ikatan tersebut untuk menghasilkan kesenangan. Ini sebenarnya adalah hubungan yang semu.
Jika ditambah dengan lingkungan hidup yang buruk, perasaan tidak bahagia dan hilang relasi sosial, maka hal-hal tersebut akan membuat mereka semakin mengikatkan diri dengan ikatan tersebut dan akhirnya menjadi kecanduan.Â
Koreksi dan kecanduanÂ
Saat ini, di masyarakat kita penanganan kecanduan banyak dilakukan dengan rehabilitasi-korektif dalam penanganan hukum. Dalam penanganan hukum, pecandu dikriminalisasi dalam sel penjara dengan tujuan utama untuk memberikan efek jera. Pecandu juga ditaruh di suatu tempat yang jauh dari keluarganya atau diisolasi supaya melakukan refleksi atas kesalahan-kesalahannya sampai ia menyesal dan tidak melakukannya lagi.
Pecandu dibenci, dianggap sebagai sampah masyarakat, meraka dijauhi dan tidak dipercaya untuk masuk dalam lingkungan sosial. Masyarakat menyatakan perang pada pecandu narkoba, perang terhadap kecanduan pornografi, dan judi. Karena menolak kecanduan, maka pecandu diminta memulihkan dirinya sendiri.Â
Apakah hal ini sudah tepat? Jika kekurangan relasi sosial dan hidup yang bermakna membuat seseorang menjadi pecandu, maka apakah memiskinkan koneksi sosial akan membuat kecanduan berhenti? Atau justru malah memperparah kecanduan?
Sering kita dengar, kriminalisasi kecanduan membuat penjara penuh dengan penjual dan pengguna narkoba. Namun, hal ini sama sekali tidak memperbaiki keadaan. Tingkat penyalahgunaan zat tidak menurun, malah datanya menunjukkan peningkatan.
Beberapa pecandu, setelah masuk dalam penjara, justru berkembang menjadi pecandu yang lebih ahli dan memiliki jejaring pecandu-penjual narkoba yang lebih luas. Penjara malah menjadi sekolah pecandu yang sangat efektif. Cara kita menghadapi persoalan kecanduan perlu dirubah.Â
Rehabilitasi sosial dalam penanganan kecanduanÂ
Saat ini, penting untuk membicarakan pemulihan sosial dalam penanganan kecanduan. Bukan lagi memaksa pecandu untuk memulihkan diri sendiri, namun kita perlu membantu pecandu untuk untuk memulihkan relasi sosialnya dengan lingkungan hidupnya: Penerimaan hangat, menumbuhkan harga diri dan pengembangan tujuan hidup pribadi pada penyalahguna zat dan non-zat akan sangat bermakna dalam rehabilitas pecandu. Tentu saja, pemulihan fisik seperti detoksifikasi di fase pemulihan fisik awal juga memiliki peran penting.
Namun, penekanan intervensi psikis berikutnya atas persoalan kecanduan perlu dititikberatkan pada pengembangan relasi sosial pecandu di lingkungannya.Â
Penanganan kecanduan bukan hanya dengan penolakan, namun kita perlu membantu pecandu untuk memulihkan relasi sosialnya dalam lingkungan hidupnya sehari-hari.
Sekitar 15 tahun yang lalu, negara Portugis menyadari 1% penduduknya mengalami kecanduan. Mereka menyadari bahwa kriminalisasi dan pemenjaraan kecanduan tidak menyelesaikan masalah sama sekali. Lalu mereka memutuskan untuk melakukan perubahan dalam penanganan persoalan narkoba.
Dana besar yang biasanya digunakan untuk menangkap dan memenjarakan pecandu, akhirnya digunakan untuk membangun berbagai program rehabilitasi yang meningkatkan koneksi pecandu dengan lingkungan sosialnya.
Pecandu diberikan kesempatan untuk mendapatkan rumah, pekerjaan, serta dibimbing untuk mencapai makna dan tujuan dalam hidup.
Klinik rehabilitasi kecanduan dibuat menjadi tempat yang hangat dan penuh penerimaan untuk menjalin relasi sosial yang sehat, dimana pecandu diberikan kesempatan untuk mengenali dan akrab dengan dirinya sendiri.
Lalu, pecandu dapat mengganti kekosongan yang selama ini dipenuhi dengan kecanduan zat/non-zat dengan koneksi nyata, relasi sosial dengan orang-orang lain di sekitarnya.Â
Mengapa menerima dan berelasi dengan pecandu?Â
Dalam masa modern ini, manusia hidup dengan mudah terasing dari satu dengan yang lain. Hal ini membuat manusia modern menjadi lebih rentan membentuk keterikatan dengan benda (zat) atau aktivitas. Mungkin inilah yang menyebabkan peningkatan statistik perilaku kecanduan, baik zat dan non-zat, sebagai bentuk keterikatan.
Sepertinya, kita akan lebih sering menghadapi fenomena "kecanduan" dalam hidup bermasyarakat. Memahami dan menerima apalagi menyayangi pecandu memang tidak mudah. Kebohongan dan masalah biasanya akan menyertai hubungan kita dengan pecandu. Namun, perlu dipahami, jika kita terus mengungkapkan perang terhadap pecandu, mungkin akhirnya kita tidak akan pernah menyelamatkan mereka.
Sebaliknya, jika kita mulai melakukan pendekatan berbeda, yaitu: menerima dan menyayangi mereka, lalu memberikan mereka kesempatan untuk membangun relasi sosial; mungkin akan ada harapan bagi mereka untuk pulih, mungkin masih ada harapan bagi kita untuk mendapatkan mereka kembali dalam masyarakat. Karena lawan dari kecanduan adalah relasi sosial (Johann Hari, 2015).Â
Referensi:Â
Hari, J. (2015). The Likely Cause of Addiction Has Been Discovered, and It Is Not What You Think. Diunduh dari http://www.huffingtonpost.com/johann-hari/the-real-cause-of-addicti_b_6506936.html pada tanggal 26 Oktober 2015.
Margaretha
Pengajar dan Peneliti di Fakultas Psikologi Universitas AirlanggaÂ
www.psikologiforensik.comÂ
Disampaikan dalam Dialog Interaktif Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) dengan Tema: Menyelamatkan Anak Bangsa dari Bahaya Narkoba Surabaya, 17 Desember 2016Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H