Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terlalu Muda untuk Dipidana (I)

28 April 2020   20:05 Diperbarui: 9 Juli 2020   22:31 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, sayangnya di Indonesia saat ini banyak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dengan dakwaan lebih dari 7 tahun penjara, seperti kejahatan perampasan kendaraan bermotor, pencurian dengan kekerasan dan pencurian dengan pemberatan, sehingga sulit untuk diajukan diversi (Prasetyo, 2017). Anak yang berhadapan dengan hukum pun meningkat tajam, sejak 2011 sampai 2019, jumlah kasus ABH yang dilaporkan ke KPAI mencapai angka 11.492 kasus (Sulaiman & Halidi, 2019); yang terdiri dari kasus pelanggaran kesehatan dan Napza (2.820 kasus), pornografi dan cyber crime(3.323 kasus), traffickingdan eksploitasi (2.156 kasus), dan kekerasan seksual (102 kasus).

Implikasi UMPPA ini adalah bisa terjadinya dampak negatif dari proses hukum dan peradilan anak. Peradilan anak tidak selalu dapat menjamin kesejahteraan anak atau untuk melindungi kepentingan anak. Dalam prakteknya cenderung memberikan stigma pada anak, dimana stigmatisasi ini bisa terjadi di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan hingga ditempat pembinaan/koreksi-rehabilitasi (Rahayu, 2015). 

Riset oleh Lane dan kolega (2002) menemukan bahwa anak yang mengalami pidana merasa tertolak oleh sistem, dan hal ini menimbulkan amarah dan penolakan terhadap sistem/aturan di masyarakat; yang akhirnya dapat menciptakan perilaku antisosial di masyarakat. Dapat disimpulkan pemidanaan justru menciptakan persoalan penyesuaian diri anak di masa depannya karena telah merasa tertolak oleh masyarakat.

Dalam proses pemidanaan, anak beresiko mengalami gangguan kesehatan mental dan turunnya kesejahteraan psikologisnya. Banyak anak yang berada salam sistem koreksi institusional merasa diperlakukan tidak manusiawi, dipermalukan/direndahkan sebagai manusia, dan ketakutan (Tisdale, 2019). Bahkan, anak yang berada dalam koreksi institusional ditemukan mengalami resiko lebih tinggi kekerasan seksual dan bunuh diri (Tisdale, 2019). 

Sebagai akibatnya, penelitian menemukan bahwa pemidanaan justru tidak banyak memberikan dampak korektif dan rehabilitatif, namun lebih memperburuk perkembangan anak. Penelitian di Amerika Serikat dan Australia menemukan bahwa anak yang masuk dalam proses pemidanaan justru ditemukan lebih banyak menjadi pelaku kejahatan berulang (reoffending) (Australian Human Rights Commission, 2019; Lambie & Lambert, 2013). Ditemukan sekitar 70%-80% anak yang pernah mengalami koreksi institusional atau proses pembinaan pidana justru menjadi residivis dalam waktu 3 tahun setelah keluar pertama kali (Mendel, 2011).

Peningkatan resiko residivisme pasca pidana anak dapat terjadi jika sistem pemidanaan hanya fokus pada pidana formal institusional, tanpa disertai dukungan dan fasilitasi perubahan perilaku pasca pidana institusional, misalkan: pendampingan perubahan perilaku dan pembinaan anak di masyarakat pasca keluar dari Lapas Anak. 

Sayangnya, belum banyak sistem dukungan pasca pemidanaan yang sudah dikembangkan saat ini. Hal ini terjadi karena kurangnya dukungan pemerintah dan masyarakat, serta penolakan terhadap anak yang telah dipidana karena adanya stigma buruk di masyarakat. Akibatnya, banyak anak yang kurang mendapatkan dukungan perubahan perilaku pasca pemidanaan akan kembali melakukan kejahatan. Artinya, pemidanaan anak bukan pilihan terbaik bagi anak yang telah melakukan perilaku pelanggaran hukum.


Doli incapax

Usia anak yang masih muda biasanya membuat mereka menjadi pihak rentan dalam proses hukum dan peradilan. Dalam hukum, dikenal istilah Doli Incapax (bahasa latin) atau defence of infancy, yang artinya ketidakmampuan merencanakan dan melakukan tindak kejahatan atau pelanggaran. 

Doli incapax ditentukan dengan asumsi dasar awal bahwa semua anak tidak mampu melakukan kejahatan. Dalam ketentuan hukum, hal ini menjelaskan dalil mens rea- elemen mental kejahatan, atau kejahatan hanya bisa terjadi jika adanya niat melakukan kejahatan. Maka, seseorang yang melakukan pelanggaran namun tidak memiliki kemampuan membedakan salah dan benar, perilakunya tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan.

Asumsi doli incapax hanya bisa dipatahkan jika pengadilan menemukan bukti bahwa anak memiliki kemampuan mental untuk merencanakan perilaku kejahatannya atau memiliki pemahaman mental bahwa perilakunya dapat terkait dengan suatu tindak pelanggaran dan kejahatan (pembuktian terbalik). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun