Kapan usia yang tepat mulai menerima pertanggungjawaban atas pelanggaran pidana (Bagian I)
Usia minimum pertanggungjawaban pidana di Indonesia adalah usia 12 tahun. Artinya, anak sejak usia 12 tahun dianggap telah memiliki kapasitas kematangan mental dan bertanggungjawab atas perilakunya secara mandiri.Â
Jika anak diputuskan bersalah, maka anak bisa menanggung pidana dalam proses koreksi institusional. Sayangnya, pidana juga bukan jawaban terbaik untuk menyelesaikan persoalan anak berhadapan dengan hukum. Selain mengalami stigma sosial dan sulit beradaptasi ke masyarakat, kebanyakan ditemukan menjadi residivis setelah keluar dari proses pembinaan dan pemasyarakatan. Di tahun 2019, terdapat 11.492 anak Indonesia yang berhadapan dengan hukum yang menanti putusan pidana.
Apakah menurut anda usia 12 tahun sudah matang dalam membuat keputusan? Apakah anak usia 12 tahun dapat diminta pertanggungjawaban atas perilakunya sama seperti orang dewasa? Apa yang perlu diupayakan bagi anak yang melanggar hukum?Â
Artikel ini akan mengupas apa yang dimaksud dengan kematangan mental manusia, baik dari sisi biologis, psikologis dan sosial. Ulasan tersebut ditujukan untuk menjelaskan bahwa anak usia 12 tahun belum mampu melakukan pertanggungjawaban atas perilakunya secara mandiri di depan proses hukum. Lebih lanjut, akan diuraikan mengenai proses koreksi dan rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mengelola perilaku pelanggaran yang dilakukan anak.
Usia Minimum Pertanggungjawaban Pidana Pada Anak
Batas usia minimum anak untuk dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atau usia minimum pertanggungjawaban pidana pada anak (UMPPA) adalah usia dimana anak yang melakukan kejahatan dianggap telah memiliki kematangan intelek, emosional dan kapasitas mental untuk memahami perilakunya, sehingga dapat dikenakan pidana dan pertanggungjawaban atas perilaku kejahatan yang telah dilakukannya (McAlister dkk., 2017).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa secara psikologis sosiologis, dan pedagodis pada umur 12 tahun hingga belum berumur 18 tahun, dan belum pernah kawin sudah mempunyai rasa tanggung jawab atas tindakannya. Sebelum putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dan belum kawin dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.
Anak yang berusia di bawah 14 tahun, diarahkan untuk mendapatkan tindakan atau proses diversi. Tindakan adalah bentuk ganjaran pada anak yang masih digolongkan terlalu muda untuk menanggung pidana karena perilaku pelanggarannya. Dalam UU 11/2012, pasal 69, tindakan bentuknya adalah:
1. pengembalian kepada orang tua/wali;
2. penyerahan kepada seseorang;
3. perawatan di rumah sakit jiwa;
4. perawatan di LPKS;
5. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
6. pencabutan surat izin mengemudi;
7. perbaikan akibat tindak pidana.
Lebih lanjut, hukum pidana anak di Indonesia mengarahkan agar antara usia 12-18 tahun, proses hukum anak diarahkan ke upaya diversi, selama sesuai dengan ketentuannya. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.Â
Diversi dilakukan untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, ancaman hukuman di bawah 7 tahun penjara, bukan pengulangan tindak pidana, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum di dearah tersebut (UU 11/ 2012, pasal 7 dan 9).Â
Bentuk-bentuk diversi adalah:
1. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
2. rehabilitasi medis dan psikososial;
3. penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
4. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan;
pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Dalam diversi juga dapat dilakukan dengan upaya perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian materil (UU 11/2012, pasal 11).