Mohon tunggu...
Margareta Hernanda Kurniawati
Margareta Hernanda Kurniawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sanata Dharma

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menemukan Permata di Balik Ketidaktertarikan

26 Agustus 2024   11:43 Diperbarui: 26 Agustus 2024   11:53 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bukan pertama kalinya saya menginjakkan kaki di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta. Tahun lalu, saya pernah berada di sini dengan program yang serupa, tetapi tak sama. Sekarang, bukan lagi sebagai mahasiswa PLP LS, tetapi mahasiswa PLP PP yang pastinya memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari sebelumnya. 

Keterpaksaan itu seperti kapal yang terpaksa berlayar di tengah badai, meski layar sudah koyak dan jangkar terlepas. Profesi guru bukanlah cita-cita, tetapi sebuah keterpaksaan. Tidak pernah sekalipun di dalam pikiran saya cita-cita itu terlintas, sehingga program PLP PP yang saya jalani ini pun merupakan keterpaksaan dan hanya sebatas tuntutan. Meskipun demikian, saya tetap harus profesional dalam melaksanakan program ini. Bagaimanapun, saya telah terperosok ke jurang yang dalam, di mana cahaya permukaan terasa begitu jauh dan sulit dijangkau.

Di hari pertama menjalani program PLP PP sungguh bagaikan hari penyiksaan. Saya harus bagun pagi dan harus sampai di sekolah pukul 06.45. Terasa begitu berat, ditambah lagi dengan dinginnya udara pagi yang semakin hari terasa menusuk tulang. Rasa berat yang menyelimuti ini sering kali membuat saya merasa seolah-olah terjebak dalam pusaran ketidaknyamanan. Namun, untuk menguatkan diri saya sendiri, saya selalu membayangkan hari terakhir program ini, saat segala beban dan kesulitan ini akhirnya menjadi kenangan.

Minggu pertama merupakan minggu yang paling berat bagi saya karena disitulah semuanya dimulai. Pada mulanya, saya sesungguhnya tidak mengerti apa yang harus saya lakukan terlebih dahulu. Namun, Bu Evi yang merupakan guru pamong, benar-benar menuntun saya dari nol. 

Pada minggu pertama ini, Bu Evi memperkenalkan saya kepada para siswa kelas X. Bu Evi, selaku guru bahasa Indonesia di kelas X memberikan kesempatan bagi saya untuk melihatnya mengajar. Sebenarnya, pembelajaran kala itu merupakan lagu lama yang sering diputar, bukan melodi baru yang mengejutkan telinga. 

Saya pernah menjadi seorang siswa di SMA. Pengajaran di dalam kelas tersebut benar-benar berjalan seperti yang biasa saya alami. Kekhawatiran saya di minggu pertama, lambat laun semakin luntur, karena saya telah memiliki gambaran menjadi seorang guru di kelas tersebut.

Tak terasa, tibalah saatnya saya mengajar. Saat-saat yang paling mendebarkan dari seluruh rangkaian persiapan. Karena ini pertama kalinya saya mengajar, tak dapat dipungkiri, rasa cemas bergejolak seperti ombak yang menghantam tebing, tak henti-hentinya menghempas dan menarik kembali. 

Kala itu, untuk pertama kalinya saya masuk di kelas XD. Betapa terkejutnya saya ketika bertemu dengan siswa yang tiba-tiba menjabat tangan saya dan memperkenalkan diri. Terasa begitu aneh karena hanya dia seorang yang melakukan itu kepada saya. Pada saat pelajaran pun anak itu secara terus menerus menjawab pertanyaan saya. Namun, jawabannya selalu random dan di luar prediksi. Dia adalah yang anak yang aktif, tetapi spesial. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya mengajar anak yang spesial di sekolah tersebut. 

Minggu ketiga dan keempat benar-benar membuat perasaan saya terombang-ambing. Setiap hari yang saya lakukan yaitu menunggu giliran saya masuk di dalam kelas dan mengajar. 

Sebelum masuk di dalam kelas, tentu saya harus terus berlatih. Berlatih untuk berbicara di depan umum dan menjadi pusat perhatian. Berlatih bagaimana jika nantinya ada pertanyaan yang tidak masuk akal yang secara sengaja dilemparkan oleh siswa, bukan karena penasaran, tetapi hanya untuk mencobai pengetahuan saya. Setiap hari perasaan khawatir itu selalu menyerang. 

Setiap hari hatiku bergetar seperti daun kering yang tersapu angin, setiap kali memikirkan kemungkinan yang mungkin datang. Namun anehnya, terkadang perasaan khawatir itu lenyap seketika, ketika melihat senyuman manis yang terpancarkan dari wajah para siswa yang siap untuk belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun