Pada suatu siang di akhir Agustus 2024, saya berbincang dengan seorang advokat dari Shanghai, Tiongkok. Ia menceritakan bahwa proses penagihan utang di negaranya relatif lebih sederhana dibandingkan di Indonesia.Â
Di Indonesia, sengketa utang-piutang bisa berlarut-larut hingga bertahun-tahun di pengadilan, bahkan sampai ke tingkat Mahkamah Agung, dengan eksekusi putusan yang sering kali tertunda.
Ia juga berbagi cerita tentang sejumlah penanam modal nakal yang berinvestasi di Indonesia dengan cara yang tidak bertanggung jawab.Â
Saat mendirikan usaha di Indonesia, mereka berkomitmen untuk menyetor modal dasar lebih dari 11 miliar Rupiah sesuai peraturan, tetapi tidak pernah memenuhinya.Â
Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut "kehabisan nafas" dan berhenti beroperasi dalam waktu sekitar tiga tahun.
Yang menjadi masalah adalah, selama beroperasi, perusahaan-perusahaan ini sempat berutang kepada banyak vendor di Indonesia untuk pembelian barang dan jasa.Â
Ketika perusahaan ini ditelantarkan, para vendor kesulitan menagih pembayaran. Upaya hukum melalui gugatan perdata bisa saja ditempuh, tetapi hasilnya tetap sulit jika kantor tergugat sudah kosong dan aset tidak dapat ditemukan.
Sulitnya penagihan utang di Indonesia ini, jika tidak ditangani dengan baik, dapat menyebabkan kerugian besar bagi pelaku usaha dan berpotensi menimbulkan masalah ekonomi yang lebih besar dan sistemik.
Mengapa Penagihan Utang di Indonesia Begitu Rumit?
Jika disederhanakan, masalah penagihan utang di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh dua faktor utama: keberadaan aset dan keberadaan debitur.Â
Sering kali, kreditur baru mulai mengidentifikasi aset debitur yang bisa disita setelah sengketa hukum terjadi, bukan sejak awal kontrak.Â