Perumpamaan Ahok bahwa dirinya akan menjadi “CEO” Jakarta ada benarnya, tetapi lebih rumit dari kelihatannya. Ia akan dihadapkan kepada dua pemegang saham berbeda yang seringkali bertengkar. Di satu sisi ada partai politik pengusung yang peranannya tidak tergantikan dalam mengantarkan Ahok sebagai calon gubernur. Di sisi lain ada rakyat Jakarta yang memilih Ahok sebagai gubernur. Di sini Ahok perlu menegaskan siapa pemegang saham mayoritas atau pihak mana yang kepentingannya akan lebih berpengaruh.
Sisi Kelam
Sekarang seharusnya Ahok sudah mendapatkan apa yang ia butuhkan dari partai politik. Ia sudah bisa fokus mempersiapkan substansi kampanye sembari terus mengerjakan tugasnya sebagai gubernur petahana.
Namun yang terjadi malah sebaliknya. Ia malah masih giat melobi partai politik lain untuk mendapatkan dukungan. Sulit untuk menjelaskan fenomena ini, kecuali bila kita berprasangka buruk.
Mungkin belum cukup bagi Ahok untuk sekedar dicalonkan dalam pemilihan gubernur. Mungkin ia merasa masih harus mengamankan peluangya dengan menutup kesempatan bagi pesaingnya.
Bila dugaan ini benar, maka masyarakat patut berharap agar upaya Ahok gagal. Tentunya kita mendambakan pemilihan kepala daerah yang penuh dengan kampanye negatif dan debat mengenai visi-misi para calon. Siapapun gubernur terpilih nanti, kita ingin ia merupakan produk dari proses seleksi yang ketat dan mendebarkan. Kita butuh tersedianya banyak calon agar persaingan yang indah ini bisa terwujud.
Negarawan yang ideal seharusnya tidak menjauhi persaingan. Negarawan yang ideal seharusnya fokus untuk bersaing, bukannya menggunakan partai politik untuk menghalangi pesaingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H