Mohon tunggu...
Marganda H. Hutagalung
Marganda H. Hutagalung Mohon Tunggu... Konsultan - Managing Partner di DARE Law Alliance

Seorang advokat dengan spesialisasi sengketa bisnis. E-mail ganda@darelaw.co.id untuk berkonsultasi atau kunjungi www.darelaw.co.id untuk mengenal lebih lanjut.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menangkap Manusia dengan Pokémon Go

17 Juli 2016   14:40 Diperbarui: 18 Juli 2016   07:41 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang dijual perusahaan besar seperti Google? Google memberikan kita berbagai macam fasilitas seperti layanan search engine, e-mail, penyimpanan file (cloud storage) dan word processor. Walaupun masing-masing layanan ini sungguh berkualitas, Google tidak meminta sepeser pun dari penggunanya. Bagaimana perusahaan yang memberikan layanan gratis ini bisa dihargai 82,5 miliar Dolar AS?

Bisa saja, karena harta yang paling berharga di dunia ini gratis. Tidak, kita bukan sedang membicarakan hal-hal seperti kasih sayang orang tua, sinar matahari ataupun oksigen. Kita sedang membicarakan data pribadi yang kita setor dalam jumlah besar ke Google setiap harinya—dalam bentuk hasil pencarian, korespondensi, lokasi, nomor telpon, foto dan sebagainya. Data-data ini diolah dan dipasarkan untuk kebutuhan riset iklan dan lain-lain. Kesimpulannya, seperti yang diceritakan dalam buku Future Crimes (Marc Goodman), kitalah yang sebenarnya menjadi produk jualan Google.

Lucunya, kita sebenarnya telah menyetujui semua ini. Ketentuan bahwa Google dapat menggunakan semua data yang kita input telah ada di perjanjian pengguna akhir (End-user License Agreement) yang kita setujui di awal penggunaan layanan. Di dalam perjanjian-perjanjian yang panjang dan rumit ini, terdapat ketentuan seperti:

…you give Google a perpetual, irrevocable, worldwide, royalty-free, and non-exclusive license to reproduce, adapt, modify, translate, publish, publicly perform, publicly display and distribute any Content which you submit, post or display on or through, the Services.

Model bisnis seperti ini telah berkembang di sebagian besar layanan elektronik gratis. Semakin banyak interaksi yang kita lakukan dengan layanan tersebut, semakin banyak pula data diri yang kita setor. Semakin banyak data diri yang kita setor, semakin besar lagi aset perusahaan penyedia layanan itu. Singkat cerita, para perusahaan tersebut mengganjar data pribadi kita dengan layanan e-mail dan album foto gratis.

Ke mana data ini dijual dan berujung? Entahlah. Kita juga tidak pernah perduli. Di dunia digital, kehidupan kita telah bocor sejak sekian lama. Negara dan aparatnya kemungkinan tidak bisa berbuat banyak untuk meminimalisirnya.

Tiba-tiba muncul Pokémon Go, sebuah permainan elektronik (lagi-lagi) gratis yang merangsang berbagai macam interaksi para penggunanya. Berdasarkan diskusi dengan beberapa teman, permainan ini menuntut penggunanya untuk berpergian, bersosialisasi dan mendaftarkan data diri. Paling tidak, melalui interaksi ini, sang pengembang software sudah bisa mendapat suplai lokasi, korespondensi dan biodata para penggunanya.

Namun, lebih dari itu semua, Pokémon Go memiliki potensi untuk mendapatkan data pengguna yang jauh lebih unik dan personal dibanding Google maupun Facebook, yaitu preferensi jenis pokemon yang ditangkap. Tiap pokemon memiliki karakteristik rumit yang kaya akan simbol. Keputusan kita untuk menangkap suatu pokemon kemungkinan dipengaruhi oleh ketertarikan kita terhadap karakteristik tersebut. Orang yang menyukai kekuatan mungkin akan tertarik kepada Golem sembari mencibir Cottonee. Data terkait preferensi ini dapat diolah dan digunakan untuk kebutuhan riset pasar atau penentuan target iklan.

Di masa depan, bukan mustahil pula bila Pokémon Go dikembangkan sebagai alat untuk menggiring sejumlah orang ke suatu tempat atau kegiatan. Kafe anda sepi pengunjung? Hadirkan Mewto di akhir pekan. Seminar multi-level-marketing anda sepi pendaftar? Bagikan Kadabra gratis bagi lima pendaftar pertama.

Kenyataan sering kali ironis. Di saat kita menganggap diri sebagai konsumen layanan media sosial, sebenarnya kita sendirilah produknya. Di saat kita berpergian ke suatu tempat sambil merasa gagah sebagai seorang pemburu pokemon, sebenarnya kita sendirilah yang ditangkap oleh pokemon itu.

Mengapa tulisan ini begitu keras kepala mengkritisi layanan-layanan gratis? Bukankah kalau nanti bermasalah, masyarakat bisa dengan mudah menarik diri dari layanan tersebut?

Tidak juga. Bila kita terus-menerus memakai sebuah layanan, perlahan kita akan berevolusi menjadi konsumen yang sesuai untuk layanan tersebut—bukan sebaliknya. Lihatlah layanan yang sering kita gunakan—Instagram, Google dan sebagainya. Secara perlahan, korporasi penyedia aplikasi tersebut mengaitkan diri dengan berbagai sisi kehidupan kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun