Mohon tunggu...
Maria Margan
Maria Margan Mohon Tunggu... Lainnya - Sekedar belajar menulis.

Live like a Dandelion. Never give up and always hope for everything in all circumstances.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diary Incovid Desember 2020 (Part-2)

8 Desember 2020   13:10 Diperbarui: 8 Desember 2020   13:52 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah beberapa hari kami berusaha mempertahankan mama dirawat di rumah. Pada akhirnya tanggal 2 Desember 2020 lalu kami putuskan membawa mama untuk di opname. Karena kondisi beliau yang semakin memburuk.


02 Desember 2020

Jam 6 pagi saya memanggil jasa taxi online untuk mengantar mama ke rumah sakit. Setelah semalaman kami tidak tidur. Karena sepanjang malam kondisi mama yang gelisah.  Dengan energi yang tersisa saya dan papa menggendong mama yang sudah tidak bisa berjalan lagi untuk naik ke taxi online.

Kami menuju ke klinik terdekat. Setelah tiba di depan lobi, kami dijemput petugas klinik. Perawat tersebut memeriksa mama dengan alat deteksi suhu dan alat deteksi saturasi oksigen. Mama tidak demam tetapi kadar saturasi oksigennya hanya 90%, kurang dari batas normalnya 95%.

Karenanya perawat tersebut meminta kami membawa mama ke rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya. Dengan alasan di klinik tersebut tidak punya alat untuk menangani kondisi mama saya. Akhirnya kami pun berpindah ke rumah sakit yang lebih besar. 

Dengan harapan mama bisa dirawat di RS. L tersebut. Yang kami tau RS. L ini termasuk rumah sakit swasta yang lengkap fasilitasnya di kota kami.

Tetapi di RS.L tersebut mama kami juga tidak bisa diterima. Bahkan mereka tidak mau memeriksa kondisi mama lebih dulu. Dan dengan tidak ramah menyuruh kami mencari rumah sakit lainnya yang lebih besar, yang menerima rujukan Covid.

Kami pun sempat bingung harus membawa mama kemana. Karena para perawat tersebut juga tidak memberikan petunjuk kira-kira rumah sakit mana yang tidak akan menolak mama saya. Sesaat saya duduk di ruang tunggu UGD RS.L. Kami merasa kecewa dan nelangsa atas perlakuan birokrasi RS saat ini. 

Sementara pasien kondisinya sudah sangat lemah. Rasa kemanusiaan yang harusnya jadi jiwa dari para perawat, dokter dan lembaga kesehatan di Indonesia ini semakin pudar saja rasanya. Keramahan pun sudah tidak ada. Kalau boleh saya bilang... mereka ketus dan judes.

Saya memutuskan membawa mama ke rumah sakit pemerintah di kota kami. Setelah bertanya dan meminta pertimbangan dari beberapa kenalan yang berprofesi perawat. Kami pun meluncur ke RSSA. 

Sesampai di UGD RSSA, posisi mama masih di dalam taxi online. Perawat UGD mendatangi mama untuk diperiksa, setelahnya perawat tersebut meminta kami membawa mama ke UGD yang letaknya di Gedung Paviliun RSSA. Kami pun putar balik dan meluncur ke lokasi yang dimaksud. Dan ternyata UGD yang dimaksud adalah UGD In Covid RSSA.

Awalnya kami ragu, karena sebenarnya keluhan mama hanya perutnya kembung dan tidak bisa makan. Sehingga kondisinya melemah dan gelisah karena perutnya yang lapar. Dan karena tidak ada asupan obat dan gizi yang bisa masuk. Tapi karena kami butuh pertolongan segera dengan terpaksa kami masukkan mama untuk dirawat di UGD In Covid.

Sejujurnya saya ngeri ada di ruang UGD In Covid tersebut. Melihat keadaan pasien lain yang kondisinya lebih buruk dari mama. Semua perawat menggunakan APD lengkap. Dan pasien disitu keluar masuk tiada henti.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun