Mohon tunggu...
ruangduniaku
ruangduniaku Mohon Tunggu... Lainnya - Sepatah kata yang terlintas dalam benak

Menuangkan sebuah fiksi bukan hanya sekedar imajinasi namun suatu yang di dalamnya akan terdapat pelajaran yang tak terduga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepucuk Harap Arsya by Fujiatun Nur Istiqomah

31 Oktober 2023   17:17 Diperbarui: 31 Oktober 2023   21:42 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semilir angin berhembus kencang, meniup jilbab merah muda yang dipakai gadis berwajah lugu nan anggun. Mata teduhnya menatap langit biru, bibir tipisnya melafadzkan sesuatu sembari tersenyum, dan tangannya memegang buku tipis bertuliskan rentetan huruf hijaiyah. Dari kejauhan terdengar suara klakson mobil yang begitu nyaring. Mobil Jeep berwarna hijau terlihat melaju pelan dan berhenti tepat di samping gadis yang sedang melafadzkan sesuatu itu. Pintu mobil terbuka dan keluarlah lelaki setengah baya dengan badan yang kurus dan memakai pakaian berwarna biru tua.

"Neng Arsya ayo pulang, sudah sore. Sebentar lagi bapak sampai rumah," lelaki setengah baya itu merupakan supir dari gadis anggun yang sering dipanggil Arsya.

" Sebentar lagi, mang Jamal. Tanggung hafalan saya sedikit lagi," jawab Arsya dengan suara lembutnya.

Lelaki setengah baya yang sering dipanggil mang Jamal oleh Arsya itu hanya menghela napas, ia tidak akan bisa memaksa Arsya untuk pulang jika bukan Arsya sendiri yang ingin pulang. Namun, tiba-tiba dengan gerakan yang cukup gesit, Arsya telah memasuki mobil Jeep berwarna hijau itu dan duduk dengan anggun.

"Ayo, mang, kita pulang sekarang. Arsya berubah pikiran."

Dengan wajah bingung, mang Jamal mulai memasuki mobil dan menyalakannya, kemudian mobil mulai meninggalkan tempat indah yang dipenuhi persawahan dan udara yang sejuk itu.

Tidak sampai sepuluh menit, mobil Jeep berwarna putih itu memasuki kawasan perumahan elit. Isinya hanya rumah-rumah megah dan bernuansa modern, berbeda dengan tempat yang sebelumnya dikunjungi mobil Jeep itu. 

Beberapa saat kemudian, mobil itu mulai memasuki gerbang salah satu rumah bergaya Eropa. Catnya berwarna putih dengan aksen abu-abu yang menambah elegan rumah itu. Mobil Jeep berwarna hijau itu berhenti tepat disamping mobil SUV berwarna silver. Arsya turun dengan wajah gembira, ia tahu bahwa ayahnya sudah sampai di rumah. Dengan setengah berlari, Arsya memasuki rumah dan berteriak memanggil ayahnya. Arsya berharap kali ini harapannya akan terwujud.

"Darimana saja kamu, Arsya!" teriak seorang lelaki paruh baya berperawakan tinggi dan gagah, walau sudah berumur hampir setengah abad, namun wajahnya tetap terlihat begitu tampan.

"Papah..." Arsya menghentikan lari kecilnya dan berhenti mematung di sebelah sofa bergaya klasik. Mata teduhnya menatap lelaki yang sering dipanggilnya ayah itu. Rasa bahagia telah terganti dengan rasa kaget bercampur takut dalam hati Arsya, ia segera menundukkan kepalanya sembari menangis dan meminta maaf pada ayahnya itu. Ayahnya pasti akan memarahi dan menghukumnya. Yang Arsya harapkan sekarang adalah ibunya datang untuk membelanya, namun hal itu hanyalah harapan semu. 

Ibunya telah lama meninggalkannya, mungkin ibunya kini sudah tenang di alam sana. Sejak kecil Arsya sudah ditinggal oleh ibunya, kini ia tinggal dengan ayah dan kakak laki- lakinya, namun kakaknya sedang berada di Turki untuk melanjutkan pendidikan S1 nya. Sekarang ia hanya tinggal dengan ayahnya dan para pembantu serta sopir ditambah satpam yang menempati rumah megahnya itu.

"Pasti kamu ke tempat itu lagi. Sudah papah bilang jangan ke tempat kumuh itu lagi, kenapa gak dengerin papah hah?" wajah Anton, ayah Arsya memerah karena amarah yang membludak.

"Tempat itu gak kumuh, pah. Itu tempat terindah yang aku kenal, di tempat itu aku bis..."

"Sudah berani jawab ya kamu!" Anton sudah tak bisa menahan amarahnya, tangannya melayang di udara dan hampir mengenai pipi mulus Arsya, namun ada tangan lain yang lebih cepat menahan tangan kokoh itu mendarat di pipi merah muda Arsya.

"Jadi gini kalau aku gak ada di rumah, pah? Seenaknya marahin Arsya yang gak salah apa-apa!" tangan yang menahan adalah tangan seorang pemuda berwajah tampan dan berwibawa, tatapan matanya tajam bak elang, bibir tipisnya berwarna merah muda, dan hidungnya mancung seperti orang barat.

"Kak Arya?" "Arya?"

Arsya dan ayahnya kaget karena kedatangan tak terduga dari Arya, kakak laki-laki Arsya. Arya pun sama kagetnya ketika kedatangannya yang tiba-tiba akan berharap membawa kebahagiaan, tetapi kenyataannya disuguhi dengan drama yang sangat menyayat hati. Arya benar-benar tak menduga jika tangan yang dulu digunakan untuk mengelus halus kepalanya, kini dengan mata kepalanya sendiri ia melihat tangan yang begitu kokoh itu hampir mendarat di pipi putih nan mulus adik kesayangannya.

Arya berdecih dan melepas kasar tangan ayahnya, kemudian ia menggenggam halus pergelangan adiknya dan membawanya ke kamar bernuansa manly di lantai dua. Ia meminta penjelasan adiknya sedetail mungkin tentang kejadian yang baru saja dialami Arsya. Dengan air mata mengalir, gadis cantik nan lugu itu mulai menceritakan kronologis kejadian yang dialaminya. Setelah menyelesaikan ceritanya, kakak beradik itu melaksanakan sholat Magrib, kemudian Arya meminta Arsya untuk tidur agar pikirannya lebih tenang.

Selagi Arsya tertidur, pemuda bermata elang itu meninggalkan kamarnya dan memasuki ruang kerja pria setengah baya yang biasa disebutnya 'papah' itu. Arya menatap tajam ayahnya yang terlihat tak bersalah sedikitpun setelah memarahi Arsya.

"Kenapa papah ngelarang Arsya buat masuk pondok pesanten? Apa segitu gak sukanya papah sama tempat itu?" Arya bertanya dengan nada yang rendah, ia ingin bicara baik-baik dengan ayahnya.

"Apa gunanya masuk pondok pesantren, hah? Memangnya adik kamu itu bisa apa? Apa dia bisa hidup kalau tinggal di tempat seperti itu? Dia gabisa apa- apa tanpa papah asal kamu tahu!" Ayahnya itu meninggikan oktaf suaranya, membuat hati Arya mencelos mendengar pandangan ayahnya tentang pondok pesantren dan adiknya. Ia tak mengira bahwa ayahnya itu sudah sangat berbeda dengan ayah yang dulu dikenalnya. Semenjak ibunya meninggal, ayahnya tak lagi mau sholat, tak mau lagi mendengar apapun yang berbau Islami, ayahnya seperti terjebak di lubang keraguan antara benar dan salah.

"Kalau adikmu itu masuk pondok pesantren, dia tidak akan jadi apapun.

Jadi apa gunanya adikmu itu masuk pon..."

"Cukup, pah!" teriak Arsya yang mematung di daun pintu ruang kerja ayahnya. Air matanya meleleh deras, tak menyangka dengan pandangan ayahnya tentang tempat yang begitu indah menurut Arsya itu.

"Selama ini permintaan Arsya ke papah cuma satu, Arsya pengin masuk pondok pesantren! Bukan buat ngelawan papah, tapi Arsya pengin kaya mamah. Arsya pengin bisa baca Al-Qur'an yang benar, Arsya pengin kaya mamah biar bisa ngajarin anak-anak Arsya ngaji. Arsya juga pengen jadi orang yang berguna buat orang banyak. Cuma itu keinginan Arsya, pah." Arsya mulai mengutarakan isi hatinya pada ayah yang sangat disayanginya itu. Anton hanya diam mematung mendengarkan isi hati Arsya, ingin menyela perkataan Arsya pun seakan ada yang menahan pita suaranya untuk mengeluarkan suara.

"Mamah pernah kasih pesan buat Arsya sebelum meninggal, kalau Arsya harus masuk pondok pesantren dengan niat mencari ilmu. Arsya juga harus perjuangin apa yang belum sempat mamah perjuangin karena sudah punya keluarga kecil yang harus diutamakan. 

Mamah bilang harus ngurusin papah, mamah gak bisa berbagi waktunya buat hal lain selain ngurusin papah dan anak- anaknya. Makanya mamah pengin aku yang nerusin perjuangan mamah." Anton bergetar mendengar pernyataan yang diutarakan putrinya itu, ia tak mengira bahwa istri tercintanya itu sangat menghargainya sebagai kepala keluarga. Tapi justru ia kini menjadi penghalang anaknya untuk mewujudkan mimpinya itu. kini Anton merasa belum benar-benar membuat istrinya itu bahagia di dunia.

Tak terasa, sebulir air mata lolos begitu saja dari mata Anton. Ia sangat tahu apa itu keinginan istri tercintanya. Kini, Anton merasa bersalah terhadap almarhum istrinya itu. Dengan mata memerah dan tubuh bergetar, Anton meninggalkan ruang kerjanya dan memasuki kamarnya di sebelah kiri ruang kerja. Arya dan Arsya menggedor pintu kamar ayahnya dengan kencang, tak ingin ayahnya melakukan sesuatu yang tidak-tidak setelah membicarakan almarhum istrinya itu.

Keesokan harinya, Anton keluar dari kamarnya dengan penampilan yang berbeda. Baju koko putih dengan sarung hitam bermotif simpel ditambah peci hitam sebagai pemanis kepalanya. Arya dan Arsya yang memang sudah hampir menunggu satu jam di depan kamar ayahnya, hanya bisa mematung melihat penampilan ayahnya yang sudah sangat lama tak terlihat. Anton hanya tersenyum menanggapi kebingungan kedua anaknya, mata sipitnya semakin mengecil akibat menangis semalaman dan mencari jawaban atas kesetatannya selama ini. Ayah dua anak itu kemudian menggandeng tangan kedua anaknya menuju mobil SUV yang terparkir cantik di halaman rumahnya, tanpa ada percakapan, mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah megah bergaya Eropa itu.

Beberapa menit kemudian, mobil SUV silver berhenti di depan sebuah bangunan tua namun masih terlihat kokoh. Ayah dan kedua anak itu keluar dari mobil, Anton belum mengeluarkan sepatah katapun semenjak keluar dari kamarnya yang membuat kakak beradik di hadapannya kebingungan. Ayahnya hanya tersenyum sedari tadi. Mereka mulai menapakkan kaki dan memasuki bangunan tua bergaya klasik di depannya dan menemui seorang tua berambut putih dengan sorban tersampir di pundaknya. Anton menyalami tangan seorang tua itu dengan sangat sopan, membuat Arya dan Arsya bingung melihatnya.

"Nak Anton. Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah menemukan jawabannya hingga kamu singgah ke tempat ini lagi?" Seorang tua itu bertanya

dengan sangat lembut, tatapan matanya membuat hati semua orang menjadi tenang.

"Maaf Abah, Anton baru mengerti sekarang kalau Aisyah sangat menjaga kedua putra-putrinya walaupun raganya sudah tak ada lagi di dunia ini." Seorang tua itu kembali tersenyum yang sangat lebar kemudian membelai kepala Anton.

"Kemarin Anton tersesat, namun karena didikan Aisyah pada kedua putra- putri kami membuat Anton sadar bahwa ilmu agama itu sangat penting untuk membentuk karakter seseorang. Jadi, Anton ingin menitipkan putri Anton disini supaya dia menjadi seorang yang berilmu dan bisa mewujudkan cita-cita ibunya." Arya dan Arsya tersentak dengan pernyataan Anton terhadap seorang tua itu. Air mata Arsya meleleh dengan deras, tak menyangka ayahnya berubah dalam satu malam. Sungguh Allah Maha Membolak-balikan hati manusia. Ia sangat senang karena harapannya dan harapan ibunya akan segera terwujud. Ia akan melanjutkan perjuangan ibunya, dan ia akan menjadi seorang santri yang berilmu. Ia sangat mengidam-idamkan hal itu sedari dulu dan hal itu akan benar-benar terwujud.

Dalam hatinya, Arsya tak lupa bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada ibunya yang selalu mendukungnya walau sudah tak beraga lagi. Setelah kesakitan yang ia lalui dan entah berapa banyak air mata yang tumpah dari mata tedunya. Kini, perasaan bahagia telah hinggap di hati Arsya yang kemudian mendekap ayahnya dengan sangat erat. Ingin rasanya ia berteriak sekencang- kencangnya, namun ia menyadari tempat ini bukanlah tempat yang pas untuknya mengeluarkan jeritan dan keluh kesahnya. Sepulang nanti di rumah, ia akan bersimpuh di atas sajadah kesukaannya dan bercerita semuanya kepada Allah Yang Maha Pencipta.

Sebelum menetap di pesantren, Anton dan kedua putra-putrinya mengunjungi tempat istirahat istrinya dan ibu dari kedua anaknya. Anton menangis sejadinya dan meminta maaf karena kesesatannya selama ini. Arya pun demikian, dalam hatinya ia bersyukur karena ayahnya sudah kemballi seperti dulu, ayah yang dipenuhi dengan kasih sayang. Berbeda dengan Arsya, ia tersenyum lebar, hanya karena wasiat dari almarhum ibunya itu ayahnya dapat berubah. 

Arsya pun berpikir, mengapa tak sedari dulu ia mengutarakan wasiat almarhum ibunya itu. Ia hanya bisa tertawa karena takdir Allah itu sangat tak terduga. Dan yang terpenting untuknya sekarang adalah bagaimana caranya ia akan beradaptasi di tempat terindah yang Arsya kenal itu, ya tempat itu adalah Pondok Pesantren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun