Mohon tunggu...
Rhillaeza Mareta
Rhillaeza Mareta Mohon Tunggu... -

MaretAkhir. Hijau. Cinta Indonesia & Angin Sore. MC. Tentor Bahasa Indonesia. Sastra Indonesia UI '09. Anggota JaMes(remaJaMesjid) :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pelajaran Hidup yang Menyadarkan dari Seorang Pengajar Kelas Kritik Sastra

2 Maret 2012   18:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali kedua sudah gue mengikuti perkuliahan yang disajikan oleh dosen satu ini. Dengan sosok mungil secara fisik, namun ketika berbicara di muka kelas seketika keluarlah aura cerdas berkharisma yang unik, dosen ini tetap sama seperti dahulu, tetap berbeda dan provokatif. Bahkan, dengan selang waktu untuk bertumbuh selama 4 semester lamanya semenjak mendapat perkuliahan beliau di semester pertama, gue menjadi jauh lebih sering merasa terprovokasi akan pemikiran-pemikiran yang beliau cetuskan di kelas kini.

Siapakah sosok dosen yang memiliki struktur nama klasik khas keturunan Sunda namun tampilan luarnya terkadang dapat mengelabui seseorang hingga menyangkanya memiliki darah Cina ini?

Ya, siapa lagi dosen yang seprovokatif beliau kalau bukan dosen yang jika ingin menuliskan nama dan gelarnya secara lengkap ini membuat gue harus mengunjungi SIAK dulu: Pak Tommy Christomy S. S. A. S.S., Grad.Dip., M.A., Ph.D.

Sungguh gue pun mungkin harus memperencer otak gue melalui beberapa tahapan usaha terlebih dahulu untuk bisa menjabarkan makna dari satu per satu gelar yang menyertai nama Pak Tommy, panggilan kami kepada beliau, secara mendalam.

Berderetnya gelar pada belakang nama Pak Tommy jelaslah mencerminkan bahwa beliau telah melewati perjalanan sangat panjang guna meraup sebanyak-banyaknya ilmu dan pengalaman selama hayatnya. Mungkin, atau bukan mungkin, melainkan pasti, hal ini pula yang membentuk beliau menjadi sosok pengajar yang penuh ide untuk melakukan provokasi di dalam kelas. Mengapa provokatif gue gunakan sebagai kata untuk menggambarkan dosen yang berusia kira-kira 50 tahun lebih ini? Ya, karena sejak awal duduk di dalam kelasnya gue sudah tertampar sekaligus terhadapi dengan berbagai pertanyaan yang begitu “pecahh” dari beliau.

Dahulu, saat awal bertemu, Pak Tommy dengan gamblang bercerita bahwa dirinya sempat merasa bingung akan “menjadi apa” kelak dengan masuk Sastra Indonesia. Jalan yang unik pun kemudian ia pilih: terjun ke dalam dunia filologi. Peminatan ini, berdasarkan kisah yang ia torehkan saat itu kepada kami, ia pilih karena ia berprinsip bahwa “dalam hidup ini, jadilah YANG PERTAMA atau tampillah sebagai sosok YANG BERBEDA”. Ia pun kemudian muncul sebagai sosok “yang berbeda” saat belum banyak mahasiswa, terutama pria, yang memutuskan untuk mengayuh sampannya menuju pusaran kehidupan filologi.

Dengan sadar ia mengatakan bahwa pekerjaan para filolog memang sarat akan hal “remeh-temeh” seperti pandangan sebagian besar orang awam. Namun, sekali lagi ia justru mengeluarkan pendapat yang membuat gue terus mengingat sosoknya hingga semester ini: “Segala hal yang remeh-temeh memang akan selalu terlihat remeh-temeh. Namun, pastilah hal-hal dengan tingkat keremehan mahadahsyat sekali pun itu tetap membutuhkan orang-orang yang bersedia untuk mengerjakannya.”

Maha suci Allah dengan segala petunjuk yang Ia berikan. Semenjak itu, seremeh-temeh apa pun hal yang gue hadapi namun hadir guna memberi gue kesempatan untuk menemuinya memang seakan menjadi tantangan yang tak kalah dahsyat dari pekerjaan hebat sekali pun macam merancang pesawat terbang canggih atau berkoar dalam forum panas yang dihadiri ratusan politisi. Justru, semakin remeh suatu hal dan semakin sedikit orang yang menaruh minat untuk menyentuhnya, kita dapat dengan mudah muncul sebagai “sosok yang berbeda” asalkan saja serius untuk menekuni hal yang dianggap remeh tersebut.

Empat semester kemudian,dalam kelas Kritik Sastra bersama beliau masih saja bertubi-tubi pemikiran out of the box menyeruak di dalam kelas. Pemikiran itu keluar dari beliau dan kini Pak Tommy telah melangkah lebih jauh dari sekadar mengenalkan mahasiswa semester 1 akan hakikat sastra klasik. Dosen ini telah mencoba untuk memprovokasi para mahasiswanya. Beragam pertanyaan sederhana namun mengena ia ajukan. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian muncul bagai gejolak gelombang di tengah lautan yang mengguncang kapal pesiar yang terlena akan perjalanan yang telah ia tempuh selama berbuluan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya. Dan jika pertanyaan beliau dapat dianalogikan sebagai ombak, maka pantaslah bahwa kami, paling tidak gue, dapat dianalogikan sebagai kapal pesiar yang terlena sepanjang perjalanan itu.

Terdapat beberapa hal yang masih gue ingat dan ingin gue bagi di sini mengenai pemikiran dosen yang sempat tinggal di Korea beberapa tahun lalu itu. Salah satunya gue dapat dalam sebuah pertemuan dan ketika itu ia bertanya, “Apakah patokan bagi suatu hal, atau masyarakat suatu wilayah, untuk dapat dikatakan moderen?”. Singkat, namun menyengat. Sengatan itu tanpa gue sadari kemudian menyingkap kedangkalan pandangan gue selama ini akan salah satu unsur kehidupan.

Seisi kelas bergumam dengan pendapat masing-masing. Gue termasuk beberapa mahasiswa kemudian menjawab secara klise, “Mereka dapat dikatakan moderen jika telah memiliki pemikiran yang terbuka dan universal. Memiliki pengetahuan yang baik akan dunia luar.” Pak Tommy seolah sudah dapat membaca arah jawaban itu dan sejurus kemudian beliau melontarkan pendapat yang di kemudian hari membuat gue seolah merasa amat berdosa jika tidak mengubah pandangan gue selama ini terhadap masyarakat kampung sekitar wilayah rumah tempat gue tinggal. Ia tak menyalahkan kami, namun menyadarkan, “Jadi, untuk dikatakan moderen masyarakat suatu wilayah harus mengenal dunia luar yang sebagian besar dikuasai oleh barat? Mereka harus mengenal barat dan mengikuti gaya hidup orang sana? Itu kan maksud kalian? Lalu, bagaimana dengan masyarakat pedalaman Indonesia yang selama ini dan mungkin selamanya akan hidup dengan kearifan lokal yang mereka punya? Mereka tidak dapat dikatakan moderen? Akan selamanya pula kah mereka dikatakan tertinggal padahal mereka lah yang menjadikan kita besar sebagai sebuah bangsa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun