Mohon tunggu...
Rhillaeza Mareta
Rhillaeza Mareta Mohon Tunggu... -

MaretAkhir. Hijau. Cinta Indonesia & Angin Sore. MC. Tentor Bahasa Indonesia. Sastra Indonesia UI '09. Anggota JaMes(remaJaMesjid) :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Aku Anak Seorang Pelawak"

2 Maret 2012   16:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini langit tampak cerah. Jingga kemerahan menjadi warna yang dominan sebelum gelap menyergap. Jam kuliahku telah usai sejak siang tadi sebenarnya. Namun, aku lebih suka kembali ke rumah saat senja, saat di mana matahari telah bersiap menyimpan sengatannya untuk hari berikutnya.

Di parkiran kampus, aku melihat Rena dijemput oleh ayahnya. Parkiran sudah sepi sekali, hanya mereka berdua saja di sana. Cukup lama aku memandangi mereka dari kejauhan. Sambil berjalan pelan, aku melihat Rena mengenakan helm yang diberikan oleh ayahnya. Hari ini hari Jumat, ayah Rena biasanya pulang dari kantor lebih cepat. Rena pun tak pernah absen menunggu ayahnya yang rutin menjemput. Ah, aku jadi ingat ayah. Sedang apa ya ayah sekarang? Sedang membaca koran sore di teras rumah dengan hanya mengenakan kaus oblong dan sarung kesayangannyakah atau malah belum pulang?

“Hei, Ra! Aku duluan ya! Sampai jumpa besok!” sapa Rena memecah lamunanku.

“Hei, Ren! Iya hati-hati ya… Sampai besok!” balasku dengan senyum simpul karena masih terkejut.

Namun, ada yang berbeda. Ayah Rena juga menyapaku ternyata.

”Khaira, Om dan Rena duluan ya, Nak. Sampaikan salam Om untuk ayahmu. Om senang sekali melihat penampilannya minggu lalu. Hati-hati di jalan!”, Om Teddy, ayah Rena, memberikan salam perpisahan sebelum mereka benar-benar berlalu.

Aku memang mengenal Om Teddy. Selain karena ia adalah ayah dari teman sejurusanku, aku juga mengenalnya karena ia sering sekali menitipkan salam untuk ayah melalui aku. Dia selalu senang dengan penampilan ayah yang ia saksikan setiap minggu katanya. Dengan suara yang khas, penampilan berwibawa, dan kepiawaiannya dalam berbicara, Rena pasti sangat bangga memiliki ayah seorang pengacara seperti Om Teddy.

Hal inilah yang selalu membuatku iri. Mengapa ayah tak bisa terlihat berwibawa dan pintar seperti Om Teddy atau ayah teman-temanku yang lain?

Ibu pernah berkata bahwa ayah adalah seniman. Jadi, wajar saja kalau berpenampilan semaunya. Ayahku memang sangat cinta dengan dunia seni, terutama seni peran, terutama lagi seni peran yang sarat akan komedi. Dan ya, betul dugaanmu, ayahku adalah seorang komedian, seorang pelawak!

Ayah sempat menimba ilmu di bangku kuliah katanya, di jurusan teknik mesin pada salah satu universitas swasta. Tapi, karena rasa cintanya yang terlewat dalam terhadap dunia seni, dulu ayah tinggalkan saja kuliahnya. Ia lebih memilih untuk bergabung dengan kelompok teater. Peran-peran yang dibawakannya tak pernah serius. Selalu komedi terus. Ayah senang menghibur orang katanya. Ia senang ditertawakan. Kini, tiap akhir pekan ayahku selalu menjadi penampil tetap pada sebuah acara komedi di salah satu stasiun televisi swasta. Itu baru pekerjaannya yang utama, belum terhitung tawaran melawak di acara-acara lainnya.

“Anaknya Wardono! Anaknya Wardono! Hahaha… Ayah kamu kok bisa sampai lucu begitu sih, Ra? Hahaha… Gara-gara menonton ayahmu melawak di televisi tadi malam, orang-orang di rumahku jadi ketawa semua! Sampai mau guling-guling rasanya! Hahaha,” sejak  SD sampai SMA, aku selalu saja mendengar komentar demi komentar dari teman-temanku yang mengetahui profesi ayah. Entah memuji atau menghina, tapi aku tetap saja tak terima. Aku benci melihat ayahku ditertawakan. Ayahku bukan badut! Bahkan, jika melihat badut saja teman-temanku tak tertawa, tapi mengapa saat menyaksikan ayahku di televisi mereka justru tertawa dengan kencangnya?

Pernah pada suatu hari, aku pulang ke rumah dengan berlari sambil menangis. Ayah yang saat itu sedang mengelap kaca mobil sedan tua yang baginya berharga langsung kucecar dengan ketakterimaanku akan komentar teman-teman di sekolah mengenai profesi ayah. Aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas 4 SD benar-benar menangis kencang sambil meminta ayah untuk berhenti melawak saja. Aku minta ayah untuk jadi guru, dokter, tentara, atau jadi apa saja yang penting tak membuat teman-temanku menertawakannya. Saat itu ayah hanya tersenyum padaku. Ia mengambilkanku segelas air putih kemudian mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas sikapku yang tak suka jika dirinya ditertawakan. Ia hanya berpesan bahwa aku harus belajar sungguh-sungguh, ikhlas menerima semuanya, dan jangan lagi menangis karena ayah yang menjadi bahan tertawaan pun tidak pernah menangis.

Tak akan pernah kulupa kejadian hari itu, hari di mana aku berjanji tak akan lagi menangis demi ayah. Namun, semua amatlah susah. Hatiku sering teriris ketika mendengar cerita tentang ayah temanku yang sedang lembur di kantor karena banyak tugas yang harus diselesaikannya sebagai akuntan publik. Hatiku pun remuk rasanya ketika mendengar cerita tentang ayah temanku yang berprofesi sebagai guru SD baru saja memarahi muridnya yang nakal. Dalam pikiranku, banyak sekali pekerjaan yang baik, yang tak perlu membuat ayahku ditertawakan banyak orang. Tetapi mengapa ayah tak memilih salah satu di antaranya dan harus memilih profesi sebagai pelawak?

Penampilan ayah juga sering membuatku malas bersikap manis kepadanya. Ayahku selalu berpenampilan santai. Kelewat santai. Ketika teman-teman sekolahku berkunjung ke rumah, kerap kali ayah menemui mereka dengan seragam khas-nya: kaus oblong dan sarung kotak-kotak. Sering pula ia mengajak teman-temanku mengobrol hingga lama. Ia senang sekali mengeluarkan lawakan-lawakan yang membuat teman-temanku kembali tertawa, kembali menertawakan ayahku. Bagiku semua itu konyol. Ayah tak pernah memikirkan perasaanku, dan aku akan tetap saja dikenal sebagai “Anaknya Pelawak Wardono”.

Menginjak masa kuliah, aku makin heran dengan ayah. Ia makin sibuk dengan tawaran-tawaran melawak di televisi atau acara lainnya. Aku yang mulai berteman dengan lebih banyak orang baru tak pernah dapat menutupi fakta bahwa aku adalah anak dari pelawak Wardono. Hubunganku dengan ayah jadi semakin renggang. Sebisa mungkin aku tak ingin pergi ke tempat ramai bersama dengan ayah.

Aku pun jarang sekali bercerita tentang perkuliahanku. Pertanyaan-pertanyaan yang ayah lontarkan sering kuanggap seperti angin lalu. Biarlah ayah menjalani kehidupannya, sementara aku juga ingin membangun duniaku.

Semua berjalan dingin, dan kosong. Aku makin tak ingin mengerti tentang ayah. Terlebih setelah teman pria yang telah cukup lama menjalin hubungan denganku tiba-tiba menjauh karena ia akhirnya tahu bahwa Wardono sang pelawak itu adalah ayahku. Hingga pada suatu hari kualami kejadian yang membuatku tersadar akan perilakuku terhadap ayah selama ini.

Sabtu itu aku tak ada kuliah, ayah dan ibu pun sejak siang tak di rumah. Aku masih ingat betul, sore itu pukul empat. Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan rumahku. Ternyata benar, ada tamu. Tamu itu tak kukenal. Dia adalah seorang pemuda yang usianya terlihat sama sepertiku. Pemuda itu bernama Randi, ia datang ke rumah untuk menemui ayah. Ia ingin memberikan oleh-oleh dari Surabaya katanya. Karena ayah tak ada, terpaksa aku yang mengobrol dengannya.

“Saya bertemu dengan ayahmu di pesawat ketika kami sama-sama ingin terbang ke Surabaya. Dua minggu yang lalu kira-kira. Ayahmu baik sekali. Saya kaget juga sebenarnya waktu tahu kalau saya satu pesawat dengan Pak Wardono, pelawak terkenal itu,” Randi membuka obrolan melalui kisah pertemuannya dengan ayah.

“Oh, kamu tahu juga ya ayah saya pelawak. Kamu pasti sering menonton lawakannya kan? Sering menertawakannya juga bukan? Saya tidak heran. Tapi saya bingung, bingung kenapa ayah selalu merasa senang sekali ditertawakan orang-orang,” sambungku dengan agak ketus.

“Jelas saja aku tertawa setiap kali menyaksikan lawakan ayahmu. Ia melawak dengan tulus, dari hati. Ia melawak dengan cerdas. Tak pernah ia melontarkan lawakan-lawakan murahan yang sarat akan hinaan. Ia juga sangat berjasa. Semua orang yang menyaksikannya pasti terhibur. Harusnya tak ada lagi orang yang memiliki hati batu setelah menyaksikan lawakan Pak Wardono,” ia kembali memperpanjang obrolan dengan pujian-pujian terhadap ayah.

“Oh ya? Kok agak berlebihan ya rasanya kalau kamu sampai memuji ayah saya seperti itu?” entah mengapa aku justru jengkel mendengarkan perkataannya.

“Terserah kamu mau bilang apa, tapi intinya, saya kagum dengan ayahmu. Tak pernah saya melihat seorang ayah yang begitu bangga dan sayang terhadap putrinya seperti ayahmu. Saat bertemu saya pertama kali, ia bercerita bahwa ia memiliki putri yang usianya sama dengan saya. Ia juga bercerita kalau putrinya itu amat sayang dan bangga padanya. Kata Bapak, ia amat bersyukur kepada Tuhan karena dianugerahi seorang putri yang selalu mendukungnya dan tak pernah merasa malu dengan profesi ayahnya. Ia juga berkata bahwa semua yang ia lakukan selama ini adalah demi putrinya. Saya menjadi iri. Andai saja ayah saya dapat berlaku seperti Pak Wardono, pasti kehidupan yang saya jalani akan jauh lebih menyenangkan,” kisah Randi padaku. Kontan aku menjadi beku.

“Kamu kenapa? Saya salah bicara ya? Hmh, tapi kamu beruntung, ayahmu seorang pelawak, bukan seorang jendral seperti ayah saya. Setiap hari saya dididik untuk menjadi orang yang tegas. Tak pernah ayah saya bersikap santai. Jika saya melakukan kesalahan sedikit saja, bentakan, bahkan tak jarang pukulan harus saya terima. Oiya, ini ada sedikit oleh-oleh. Ketika di pesawat kemarin, saya sudah janji sama ayahmu untuk membawakan batik. Ini saya coba pilihkan batik terbaik. Mungkin tidak mahal dan tidak mewah, tapi semoga pas dan ayahmu suka ya. Saya pamit dulu.”

Randi kemudian berlalu dengan cepat. Dalam kesendirianku saat itu aku merasa telah menjadi anak yang paling jahat, kejam, dan  durhaka kepada ayahnya. Begitu mulianya hati ayah menganggapku sebagai anak terbaik yang ia miliki, tetapi aku? Aku selalu malu akan profesi ayahku. Tak terasa langit telah berganti menjadi kelabu. Malam ini aku akan minta maaf kepada ayahku.

***

Hubunganku dan ayah perlahan kian membaik. Aku kini tak peduli dengan perkataan orang mengenai ayah, kuanggap semuanya sebagai pujian. Ayahku juara, pelawak nomor satu yang pernah kutahu.

Siang ini aku bersama teman-teman sejurusanku akan mengikuti lomba pementasan drama tingkat fakultas. Drama yang akan kami pentaskan adalah drama komedi, “Opera Ondel-ondel” judulnya. Selama sebulan terakhir aku sering berdiskusi kepada ayah. Ayah begitu senang ketika mendengar kabar bahwa aku turut serta dalam perlombaan itu. Ayah tak kuberitahu tentang peranku. Aku ingin memberikan kejutan padanya bahwa aku akan membawakan peran utama, yaitu peran sebagai manusia ondel-ondel.

Satu jam lagi aku dan kawan-kawan akan mementaskan drama kami. Kami semua sudah siap dengan dandanan coreng-moreng yang diharapkan dapat menggelitik penonton. Sebelum menitipkan telepon genggamku kepada panitia, aku mengirimkan pesan singkat terlebih dahulu kepada ayah yang sudah berjanji akan menyaksikan penampilanku siang ini.

Ayah, aku dkk akan tampil kurang dr 1 jam lg ya.. Ayah jangan sampai terlambat ya, Yah..Mungkin ini sms-ku yang terakhir karena handphone-ku harus kutitipkan pd panitia. Doakan aku ya, Ayah J

Tak lama kemudian, balasan pesan singkat dari ayah kuterima.

Sedan ayah tadi mogok, Nak, jadi ayah baru berangkat sekarang. Semoga sukses pementasannya! Ayah akan berusaha untuk datang tepat waktu dan menontonmu di barisan paling depan. Maafkan ayah ya, Rara. Jaga dirimu baik-baik..Ayah selalu mendoakanmu.”

Seperti biasa, selalu saja ada kejadian yang aneh-aneh. Dulu ayah pernah membuatku jadi panik karena lupa mengambil uang pendaftaran kuliahku di bank sebab terlalu asyik main catur dengan tetangga sebelah rumah. Sekarang mobil mogok. Semoga ayah tidak terlambat kali ini.

Akhirnya tiba waktunya bagi jurusanku untuk beraksi. Aku berharap ayah sudah berada di antara para penonton. Aku yang sudah berdandan sebagai manusia ondel-ondel bersama seorang temanku keluar pada akhir cerita. Saat itu seluruh penonton yang memenuhi gedung pertunjukan tertawa. Gemuruhnya membuat hatiku penuh. Tiga puluh detik aku dan temanku beraksi. Setelah dua puluh menit kami mementaskan drama kami, kami mengakhiri pentas pada hari itu dengan memberikan penghormatan kepada penonton. Kulihat ayah berdiri bersama penonton lain sambil bertepuk tangan kencang sekali. Ayah kali itu terlihat sungguh berbeda. Dengan mengenakan kemeja batik oleh-oleh dari Randi, ayah terlihat begitu berwibawa dengan penampilannya yang rapi. Ia pun memberikan senyuman amat tulus dan pada hari itu ayah benar-benar menjadi ayah yang aku idamkan selama ini.

Setelah semua selesai, aku dan teman-teman kembali ke belakang panggung. Kami benar-benar puas akan penampilan kami barusan. Kami benar-benar melawak dengan total. Kali itu baru kurasakan apa yang ayah rasakan selama ini setiap kali ia tampil untuk menghibur orang banyak dengan lawakannya.

Tak lama, tiba-tiba ada seorang teman yang juga bertindak sebagai panitia mendatangiku. Orang rumah meneleponku sebanyak sepuluh kali katanya. Ia tak berani mengangkat teleponnya, jadi dikembalikannya telepon genggam itu padaku.

Benar saja, tak lama kemudian aku mendapat panggilan dari telepon rumah. Aku segera mengangkatnya. Sungguh bagai petir menyambar di tengah hari, Ibu mengabari hal yang tak pernah kusangka.

“Ada apa, Bu? Kok Ibu menangis? Maaf, Bu, tadi teleponku kutitipkan kepada panitia.”

“Rara, yang sabar ya, Nak. Ini semua sudah takdir Tuhan. Ayahmu, ayahmu meninggal dalam kecelakaan mobil empat puluh menit yang lalu, Nak. Ia mengendarai mobil dalam kecepatan terlampau kencang sehingga menabrak mobil lain saat menyalip,” Ibu kemudian menangis tak kuasa menahan kepedihan.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un. Ibu benarkah yang Ibu katakan barusan, Bu? Tapi, tapi aku melihat ayah berada di tengah penonton tadi, Bu! Ayah datang menyaksikan pementasanku dan ia memberikan tepuk tangan paling kencang untukku! Tidak mungkin ayah pergi secepat ini, Bu… !”

***

Ayah kini tak lagi dapat kutemui. Pelawak Wardono itu pun telah menjadi legenda. Ratusan orang datang untuk melayat jenazah ayah. Banyak kawan-kawan ayah yang berbisik kepadaku, “Ayahmu orang baik, Nak. Sangat baik. Semoga kamu sabar.”

Pelawak kawakan itu kini amat kubanggakan melebihi apa pun yang kumiliki. Aku tahu kini bagaimana pedihnya baru merasa memiliki seseorang setelah seseorang yang kita miliki itu pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun