BAROTO membiarkan sketsa lukisan wajah perempuan itu menggantung di dinding utama studio lukisnya, sebuah ruang berukuran 4 x 4 meter. Ia seperti kehilangan gairah dan semangat untuk menyelesaikannya. Mula-mula karena flu berat, tapi setelah hidungnya tak lagi tersumbat dan kepalanya tak lagi pening, padam pula semangatnya untuk kembali menyentuh lukisan itu dan membiarkannya menunggu penyelesaian.
Baroto terperangah dan sedikit terengah ketika pagi itu, dengan secangkir kopi dan setangkup roti bakar, ia duduk memandangi sketsa wajah itu. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan dalam kepalanya dan seperti berebutan menunggu jawaban.
Mengapa ia membuat kepala perempuan itu sedikit miring? Mengapa ia tak membuatnya tegak lurus? Ah, itu gampang dijawab. Tegak lurus akan sama dengan pose untuk KTP atau sejenisnya. Tapi, mengapa ia tiba-tiba menginginkan rambut di dahi wajah itu ada yang terpisah? Mengapa ada helai-helai rambut yang tergerai dan ujungnya hampir menyentuh alis di mata kiri wajah itu?
Mengapa ia juga membuat bibir perempuan itu sedikit terbuka dan gigi-gigi putih bagian atasnya terlihat? Mengapa ia tak membuatnya dalam keadaan tersenyum misterius seperti senyum pada lukisan Monalisa?
Lalu, mengapa ia membuat sorot mata perempuan itu menampilkan kekelaman dan kepiluan seolah menyimpan kerinduan yang begitu dalam? Mengapa bukan gurat-gurat tatapan optimistik seperti pada lukisan-lukisan berupa potret diri yang dibuat sebelum-sebelumnya?
"Apa yang kau inginkan dari lukisan itu, Bar? Apa yang ingin kau gambarkan? Apa yang ingin kau tuntaskan?"
Baroto dikejutkan oleh sebuah pertanyaan lain yang menyentak keheningan di ruangan itu. Ia menoleh. Samsir, sahabatnya, berdiri sembari bersidakep namun matanya tak berkedip memandangi sketsa wajah yang juga tengah ditatap Baroto.
Baroto belum menjawab ketika Samsir melanjutkan pertanyaannya, "Boleh kutebak?"
Baroto menunggu. Bahkan ia menghentikan kunyahan roti bakar yang sudah berada dalam rongga mulutnya. Ia seperti tak sabar menunggu perkataan Samsir selanjutnya.
 "Kau ingin membangunkan arwah istrimu, bukan?"
Dada Baroto pelan-pelan terasa berdebar. Ia seperti diingatkan oleh wajah mendiang istrinya yang pergi sejak tujuh tahun lalu karena kecelakaan mobil di jalan raya dalam sebuah perjalanan dinas bersama sahabat-sahabat sekantornya.
"Aku perhatikan, tarikan dan sapuan kuasmu begitu lembut seperti menggambarkan perasaan terdalammu kepada Yulianti. Maaf, aku tak bermaksud membuatmu bersedih atau membangkitkan kenangan-kenanganmu terhadapnya," lanjut Samsir dalam sekali tarikan nafas.
 "Kau ingin menyelesaikan lukisan ini dalam bentuk semi figuratif, bukan? Kau ingin mengekspresikan kerinduanmu yang tak juga menemukan muaranya melalui lukisan ini. Sekali lagi maaf, aku bukan sok tahu."
Baroto ingin membantah Samsir, sang kritikus seni lukis yang kerap mengkritisi kreasi-kreasinya melalui surat kabar terkemuka di negeri ini.
Ia memang merindukan Yulianti. Tapi, ketika mengawali sketsa lukisan ini, ia sama sekali tak berpikir soal mendiang istrinya. Ia hanya ingin melukis sebuah wajah tanpa memikirkan wujud dan rupa. Dan, ketika ia menggoreskan ujung kuasnya pada kanvas berbahan dasar belacu itu, tangannya bergerak tanpa ia sendiri merasa menggerakkannya. Bergerak seperti ada sesuatu yang menuntunnya.
 "Dengan satu atau dua sentuhan lagi, kau bisa membuatnya sangat mirip dengan wajah mendiang istrimu, Bar?" kata Samsir sebelum mengambil kursi dan duduk di sisi Baroto. Tanpa disuruh, tangannya menyambar sisa roti di piring di meja kecil di hadapan Baroto.
 "Sentuhan pada bagian mana yang menurutmu bisa membuatnya mirip sekali?" Baroto memberanikan diri bertanya.
Samsir menyambar gelas kopi di meja, gelas kopi milik Baroto. Dan meminumnya tanpa sungkan.
 'Coba gelombang pada kedua pipinya kau tarik lebih lurus. Lalu, bagian dagunya kau angkat sedikit," kata Samsir kemudian.
Baroto menghela nafas. Samsir menepuk-nepuk punggungnya. "Menikahlah lagi. Kau belum terlalu tua untuk memiliki seorang pendamping," ujarnya datar.
Baroto tak memberikan reaksi. Matanya terpaku pada sketsa wajah di hadapannya. Ia tiba-tiba seperti ingin berdialog dengan perempuan yang berada dalam angan-angannya. Entah siapa? Entah di mana? Entah ada atau tidak. Apakah itu wajah istrinya dua puluh atau tiga puluh tahun lalu seperti kata Samsir? Mengapa Samsir juga begitu hafal dengan kontur dan simetri wajah Yulianti?
Pagi berikutnya, dengan segelas kopi panas dan sereal di tangan, Baroto menyelinap ke ruang lukisnya. Hari ini ia ingin memberi warna pada lukisannya. Membuatnya tak jadi sekadar sketsa. Membuatnya lebih hidup.
Sebelum menyapukan kuasnya, Baroto memandangi sketsanya. Ia merasakan ada kedamaian menelusup ke dalam relung hatinya, seperti gerimis yang membasahi dan meresap ke dalam pori-pori tanah dan memberinya kelembaban.
Namun, ketika tangannya mulai bergerak, ia merasa seperti ada bisikan di telinganya. Tak jelas suaranya. Tapi, Baroto kemudian merasakan semangatnya hilang. Ia tak cukup punya adrenalin untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia seperti tak ingin menggerakkan sendi-sendi tubuhnya.
Ruangan itu pun sunyi. Baroto duduk terdiam. Tafakur serupa patung. Tak bergerak seperti benda-benda lain di ruangan itu. Tak terdengar suara apapun kecuali desing mesin pendingin. Ketika kemudian ia tersadar, ia melihat cat-cat minyak yang sudah disiapkannya nyaris mengering.
Agak tertatih Baroto menuju kursi sekira dua meter di belakangnya. Ia menjatuhkan seluruh bobot tubuhnya di sana. Dengan kedua tangan di dagu, ia kembali menancapkan pandangannya pada sketsa lukisan di hadapannya. Kembali ia tersuruk dalam diam. Membiarkan sepi menyergapnya.
Lama kelamaan Baroto merasa tatapannya mendapat balasan dari kedua mata pada sketsa lukisan itu. Baroto tercekat, tercekam dalam keasyikannya.
 "Apa kabarmu, Yul?" Baroto membisikkan kata itu dalam hatinya. Meluncur begitu saja. "Apakah kau bahagia di sana? Apakah kau merindukan aku seperti aku merindukanmu? Adakah kau hadir di sini saat ini?"
Baroto melihat ada sungging senyum pada sketsa lukisan itu. Senyum itu juga yang membuat Baroto jatuh cinta pada pertemuan pertama mereka di sebuah acara pameran lukisan entah berapa puluh tahun lalu.
 "Oh, Anda pelukisnya? Anda Mas Baroto? Saya pengagum lukisan-lukisan Mas," kata perempuan yang kemudian menyebut namanya, Yulianti, ketika itu.
 "Terima kasih, terima kasih," sahut Baroto tanpa melepas genggaman tangan perempuan itu. "Sayang..."
 "Sayang? Sayang kenapa, Mas?"
 "Anda cuma pengagum lukisan saya. Bukan mengagumi pelukisnya," Baroto tertawa lepas, tanpa peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar mereka.
Perempuan itu juga tertawa. Sedikit tertahan. Sedikit tersipu. "Maaf lho, Mas. Kan kita belum saling kenal, saya belum pernah lihat orangnya seperti apa gitu."
"Sekarang sudah lihat, sudah jumpa. Suka nggak?"
 "Ah, Mas bisa saja," perempuan itu makin tersipu oleh serangan menukik Baroto.
 "Suka nggak?" Baroto mengejar wanita semampai itu. Ia seperti tak ingin kehilangan kesempatan ketika ada seorang perempuan cantik, tinggi sekitar170cm, dan kulitnya bersih sangat terawat, mengaku menyukai lukisan-lukisannya.
 "Rasanya...rasanya saya nggak punya alasan untuk nggak suka," perempuan itu menjawab. Wajahnya agak memerah.
 "Sudah punya pacar? Atau sudah menikah? Bagaimana kalau kita..."
Perempuan itu melanjutkan tawa sembari menyembunyikan gigi-gigi putihnya. Namun ia tak mampu menyembunyikan paras cantiknya dari warna kemerahan.
Sejak saat itu mereka berkawan. Lalu berpacaran. Dan akhirnya menikah. Namun, perkawinan itu tak memberi mereka keturunan. Sampai ajal merenggut nyawa Yulianti, mereka tak kunjung memiliki anak. Maka kepergian Yulianti benar-benar jadi palu mematikan bagi Baroto. Ia tak punya sesiapa lagi. Ia tak punya anak sebagai tempat berbagi suka dan duka atau bercengkerama. Baroto merasa hidupnya di awang-awang.
Air matanya menetes. Mendadak ia merasa kembali ingin menangis. Sejak menangisi kepergian Yulianti tujuh tahun lalu, Baroto belum pernah menangis lagi. Kenangan-kenangan indah yang kerap melintas dalam benaknya, tak pernah membuatnya sampai melinangkan air mata. Ia merasa tak ada gunanya lagi menangis karena yang sudah pergi takkan pernah bisa kembali. Kematian datang kepada siapa saja secara bergiliran. Suatu saat, ia pun akan mati, menyusul istrinya.
Baroto menyeka air matanya. Namun, pada saat yang sama, ia juga seperti mendapatkan mata yang basah pada sketsa lukisannya. Baroto tercekat. Benarkah ia juga menangis? Baroto bertanya dalam hati. Tanpa sadar, Baroto mendekati sketsa lukisannya. Ia benar-benar menemukan kedua mata yang basah seperti menyimpan air mata yang siap meleleh. Sesaat kemudian Baroto berlutut dan menggerungkan tangisnya. Ia tak mampu lagi menahan isak. Ia benar-benar ingin menangis sejadi-jadinya.
Lama Baroto tenggelam dalam dukanya. Ketika ia tersadar, pelan-pelan ia menggoreskan kuasnya pada bagian kedua pipi sketsanya. Juga bagian dagu. Setelah itu, ia benar-benar melihat potret Yulianti. Berdiri menatapnya dengan air mata tertahan di kedua retinanya.
Ketika kemudian ia terduduk di kursinya, Baroto mendengar sebuah bisikan. "Jangan selesaikan sketsaku, Mas. Seperti cinta kita yang belum benar-benar rampung."
Bisikan itu terasa begitu jelas. Membuat Baroto celingukan mencari sumber suara. Namun ia tak menemukan siapa-siapa. Ia tak mendapatkan apa-apa, kecuali jajaran lukisan-lukisan yang sudah diselesaikannya dan menunggu pameran berikutnya. Juga sketsa-sketsa lain yang juga belum dirampungkannya.
 "Aku akan membiarkan sketsamu apa adanya," suara Baroto lirih.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H