Mohon tunggu...
Mardi Yanto
Mardi Yanto Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pembelajar

Seorang pembelajar dan penjelajah. Bagi saya mimpi sangat dekat dengan kenyataan. Mimpi juga sebenarnya tidak selalu terjadi saat seseorang sedang tertidur, atau di bawah alam sadar. Dalam kondisi sadar pun kita bisa bermimpi. Mimpi sebenarnya juga tidak identik dengan sesuatu yang sulit atau mustahil tercapai.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jelang UN Siswa Malah Harus Cemas, Ini Alasannya!

8 April 2014   18:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:54 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesurupan (trance) telah menjadi fenomena dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir bahkan kesurupan massal justru kerap terjadi saat siswa melakukan doa bersama jelang Ujian Nasional (UN). Diduga rasa cemas, takut, dan depresi jelang UN menjadi pemicu munculnya kesurupan massal.

Lantas apa yang sebenarnya terjadi? Apakah benar rasa cemas dan depresi menjadi pemicu munculnya kesurupan massal? Mencari solusi atas persoalan ini menjadi sangat penting sebab persoalan kesurupan massal di sekolah-sekolah telah menjadi fenomena yang terus terjadi  setiap tahun dan belum tertangani secara optimal.

Sebagai gambaran, selama ini kesurupan massal selalu dipahami sebagai gangguan mahluk halus atau jin. Biasanya mahluk gaib tersebut akan merasuk ketubuh manusia jika lingkungan atau tempat tinggalnya di usik oleh mahluk lain baik manusia atau binatang.

Memaknai peristiwa kesurupan massal sebagai gangguan makhluk halus menyebabkan pola pikir yang keliru dalam masyarakat. Akibatnya, solusi yang dilakukan bersifat reaktif dengan mendatangkan paranormal. Padahal dalam berbagai kajian ilmiah menyebutkan bahwa kesurupan berkaitan erat dengan kondisi psikologis seseorang, bukan disebabkan oleh gangguan makhluk halus.

Kecemasan Berlebih

Nalini M Agung, seorang psikiater mengungkapkan bahwa kesurupan berkaitan dengan budaya trance (keadaan tak sadarkan diri) dalam tradisi kuda lumping. Peristiwa kesurupan di berbagai sekolah adalah masalah kesehatan mental yang dalam diagnosis gangguan jiwa disebut gangguan “disosiatif”. Disosiatif sebenarnya kecemasan hebat yang direpresi sedemikian rupa ke alam bawah sadar dan disalurkan dalam bentuk ”kesurupan” atau kepribadian ganda.

Namun di dalam teori pendidikan, kecemasan merupakan sesuatu yang lumrah terjadi pada diri manusia saat menghadapi suatu peristiwa penting dalam dirinya. Spielberger (Brown, 2008:175) merumuskan kecemasan sebagai “perasaan subjektif mengenai ketegangan, ketakutan, kegelisahan, dan kekhawatiran terkait dengan bangkitnya sistem syaraf otonom.” Dalam bahasa yang lebih sederhana Scovel (Brown 2008:175) menulis, kecemasan terkait dengan perasaan canggung, frustasi, keraguan diri, ketakutan, atau kekhawatiran.

Apakah kecemasan selalu berdampak buruk? Ternyata tidak demikian, Scovel malah membedakan kecemasan menjadi dua, yakni kecemasan debilitatif dan fasilitatif. Kecemasan debilitatif bersifat merugikan, sedangkan kecemasan fasilitatif bersifat menguntungkan. Kecemasan fasilitatif memandang bahwa sedikit kekhawatiran-sedikit ketakutan-terhadap suatu tugas yang harus diselesaikan merupakan faktor positif. Tanpa itu, seorang siswa mungkin cenderung “lembek”, tidak punya ketegangan fasilitatif yang membuat orang tetap siaga, waspada, dan sedikit galau sehingga tidak bisa sepenuhnya beristirahat.

Dengan demikian, kecemasan dalam menghadapi UN adalah sesuatu yang sangat wajar, bahkan diperlukan. Hanya saja, kecemasan yang diperlukan adalah kecemasan fasilitatif, yang bersifat menguntungkan, atau memberi dorongan (motivasi) kepada siswa untuk meraih hasil yang lebih baik. Kecemasan fasilitatif ditunjukkan dengan meningkatnya motivasi belajar siswa dan target yang jelas, sehingga mendorong mereka bekerja keras. Berbeda dengan kecemasan debilitatif yang cenderung menghindar, takut, dan timbul perasaan tidak tenang.

Sayangnya, yang justru berkembang di kalangan siswa adalah kecemasan debilitatif (merugikan). Hal ini tampak dari sikap dan gerak-gerik siswa yang gelisah dan tidak tenang saat mendengar kata “Ujian Nasional”. Bahkan dalam beberapa kesempatan banyak siswa yang berurai air mata saat memanjatkan doa agar lulus UN.

Pemerintah memang berusaha mereduksi kecemasan debilitatif ini dengan menetapkan bahwa UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa. Akan tetapi, stigma bahwa UN menjadi penentu kelulusan siswa terlanjur mengakar di dalam benak siswa.

Selain menimbulkan kecemasan di kalangan siswa, UN juga menimbulkan kecemasan di kalangan guru. Walhasil, hampir seluruh sekolah mengeluarkan daya upaya seoptimal mungkin, seperti menambah jam tatap muka atau les, uji coba (try out), maupun penggemblengan psikis siswa agar siap menghadapi UN.

Sayangnya, alih-alih menciptakan suasana kondusif dalam belajar, acapkali berbagai persiapan jelang UN justru menimbulkan efek negatif kepada siswa. Tambahan pelajaran justru semakin menguras energi peserta didik dan jika tidak diantisipasi menjadikan kegiatan yang melelahkan dan menjenuhkan. Selain itu, persiapan UN yang berlebihan justru menimbulkan rasa phobia terhadap UN. Berbagai persoalan ini bisa berujung kepada gejala dissosiatif (kesurupan).

Sebagai langkah solusi, seluruh stakeholder sekolah perlu memikirkan bagaimana cara mengubah kecemasan debilitatif (merugikan) menjadi kecemasan fasilitatif (menguntungkan). Penanganan ini sangat bergantung terhadap kondisi psikologis siswa, boleh jadi setiap sekolah berbeda-beda. Oleh sebab itu, guru harus jeli memperhatikan gerak-gerik dan tingkah laku siswa jelang pelaksanaan UN. Hal ini memang tidak mudah, sebab guru harus melakukan pendekatan personal mengetahui dan mendeteksi kesiapan siswa dalam menghadapi UN. Jika menemukan gejala kecemasan debilitatif dalam diri siswa guru perlu segera bertindak dengan memotivasi siswa tersebut.

Jika itu tidak memungkinkan, siswa dapat dikelompokkan di dalam peer group teman sebaya yang dibimbing oleh seorang guru. Hal ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling berbagai mengeluarkan “kegelisahan” mereka dalam kelompok dengan lebih bebas dan dengan berdiskusi mereka dapat mencaritemukan solusi bagi mereka sendiri. Hal ini dapat bermakna positif sebab akan memotivasi seluruh kelompok dan mereduksi kecemasan debilitatif (merugikan).

Mardiyanto, S.Pd Guru SMP N 2 Sukoharjo Wonosobo dan Penerima Beasiswa S2 P2TK Dikdas Kemdikbud sedang menempuh Studi S2 Linguistik Terapan UNY.

Artikel ini digunting dari Harian Suara Merdeka, Terbit 5 April 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun