Ada nama Jokowi dalam soal Ujian Nasional (UN) tingkat SMA mata pelajaran (Mapel) bahasa Indonesia yang dihelat, Senin, 14 April lalu. Sontak, hal ini membuat meradang sejumlah pihak. Jokowi menolak keras!
Mendikbud, Muhamad Nuh, juga tak kalah heran, bahkan melayangkan protes dan mengaku kecewa tentu saja kepada institusinya sendiri. Wamendikbud, Musliar Kasim, ambil langkah sigap dengan segera melakukan penyelidikan kepada tim pebuat soal yang terdiri dari para guru dan dosen untuk dimintai keterangannya.
Ya, di tahun politik seperti ini, semua “mainstream” seolah-olah bermuara pada satu tujuan Pemilu (Pileg dan Pilpres). Harus diakui kemunculan nama Jokowi dalam soal UN bahasa Indonesia dan dalam soal UN Sosiologi menjadi sangat sensitif.
Sebagai seorang pendidik, apalagi guru bahasa Indonesia, saya sangat prihatin, sebab seperti menampar muka sendiri, apalagi soal tersebut kemudian menjadi guyonan dan bahan tertawaan di jejaring sosial yang dianggap soal “ramutu” (tidak berkualitas).
Dalam tulisan pendek ini, saya coba tanggalkan berbagai analisis para politisi dan pengamat politik yang bersliweran di media massa. Tetapi, melihat permasalahan ini lebih “clear” , jernih dan bebas dari prasangka politik.
Saya berkeyakinan bahwa mereka (tim pembuat soal) adalah orang-orang terpilih dari seluruh penjuru negeri. Bagi seorang guru diberi amanah untuk membuat soal UN adalah sebuah kepercayaan dan tanggungjawab yang tidak ringan, dan tidak mungkin mereka akan menjebloskan dirinya sendiri hanya untuk mengikuti keinginan segelintir orang.
Masalah nama Jokowi terpampang nyata di UN, saya lebih melihat kepada masalah teknis di lapangan, prosedural, dan profesionalisme guru yang belum sepenuhnya matang.
Secara umum, prosedural dalam membuat soal UN atau apapun itu akan diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal. Kisi-kisi soal inilah yang bakal menjadi rambu-rambu seorang guru dalam mengembangkan butir soal. Dari kisi-kisi soal tersebut, seorang guru idealnya minimal membuat dua tipe soal yang berbeda, tetapi esensi tujuan ari soal tersebut sama.
Mengapa harus dua soal, soal pertama adalah soal utama, soal yang bakal diujikan dan soal kedua adalah soal cadangan.
Guru membuat soal cadangan bukan tanpa tujuan, tetapi soal cadangan tersebut berfungsi jika pada waktu reviewing soal utama dianggap tidak layak, maka soal cadangaan tersebut akan menggantikan soal utama. Bahkan, semestinya pembuat soal membuat soal cadangan lebih dari satu butir soal, sehingga reviewer bisa memiliki banyak pilihan jika soal utama tidak memenuhi prasyarat kelayakan sebuah soal.
Jika semua prosedur tersebut dilakukan, maka akan dapat meminimalisir soal-soal yang “bermasalah”.
Oleh karena itu, masalah ini akan menjadi terang-benderang jika secara jelas Kemendikbud mengurai tahap demi tahap dalam penyusunan soal UN. Apakah benar-benar sudah memenuhi prosedur ataukah tidak?
Sebab, jamak terjadi salah satu fungsi dari tahapan produksi soal tidak berjalan dengan baik, yakni saat reviewing. Saat reviewing ini acapkali reviewer meloloskan begitu saja sebuah soal, mestinya seorang reviewer memiliki sensitifitas tinggi dan mampu seeing beyond (memprediksi) jauh ke depan jika sebuah soal tersebut dikonsumi pubik.
Barangkali di sinilah letak kekeliruannya. Sebab saya sendiri pernah kesal, dan sengaja membuat soal yang “salah” dan benar saja soal yang keluar benar-benar salah.
Ketika seorang teman tanya, soalnya kok begini, saya jawab, “emang sengaja saya buat salah, biar dibetulin reviewer, eh ternyata nggak. ”
Teman saya tertawa, “ dasar guru edan!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H