Mohon tunggu...
Mardi Sirait
Mardi Sirait Mohon Tunggu... Lainnya - Administer Social Justice

Menulis adalah pengabdian bagi keabadian dan menyuarakan kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Posman Sirait dalam Kenangan

9 Oktober 2020   12:41 Diperbarui: 9 Oktober 2020   12:59 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Posman Sirait di tepi Danau Toba Juli 1985 | dokpri

Kenangan yang saya maksud bukanlah kenangan dari relasi yang pernah saya miliki dengan almarhum Posman Sirait semasa hidupnya. Ketika saya umur -/+ 3 tahun, beliau sudah meninggal, sehingga memori tentang beliau tidak ada. Kenangan dari Posman Sirat yang disebut 'bapa' itu, saya dapat melalui album photo keluarga, halnya gambar di atas ada di album photo semasa hidupnya. Selanjutnya, kenangan tersebut saya dapat dari orang yang menuturkan kesaksian mereka tentang 'Posman Sirait'.

Album keluarga, satu-satunya dokumen yang sangat membantu untuk bisa mengenal beliau. Mama jarang menceritakan tentangnya, bisa jadi karena kepahitan yang dia rasakan sehingga enggan menceritakan. Menceritakannya, sama saja mengorek luka lama yang ada di dalam hatinya. Bisa dipahami sikap mama tersebut. Sehingga dari album tersebut, saya dan adik saya tertolong mengenali sosok beliau. Banyak photonya di album semasa hidupnya, beliau orang yang bergaya, bergaul, membawa kapal angkutan umum di sekitar danau toba. Setidaknya album itu bicara banyak hal dan adik saya juga menyimpan satu photo untuknya.

Tentang penuturan orang lain yang mengenal beliau, mereka sering dan rata-rata berkata: "Bapa mu na jolo burju, pargaul, dll". Semua orang yang mengenalnya dengan dekat tak lupa menyaksikan sembari menasehati "ale, bapa mu parminum", "molo i sotung di tiru ho". Mereka yang mengenal beliau akan bersaksi demikian, semua hampir sama.

Pernah teman bertanya, "Gimana pendapat saya yang tidak mengenal sosok bapa?" Saya mengatakan "saya tidak merasa kehilangan seorang bapa", karena memang tidak pernah merasa 'apa artinya memiliki' seorang "bapa", jadinya tidak pernah merasa kehilangan. 

Saya melanjutkan penjelasan saya itu "yang kami rasakan masa kecil di keluarga, hidup yang lebih susah dan keras", dari kecil taunya kerja ke ladang aja. Kalau disebut tidak pernah menyebut 'bapa', syukurnya Sang Khalik memperhatikan sampai hal itu. Sang Khalik memberi "Doa BAPA kami", sehingga mereka yang yatim-piatu tetap bisa menyebut "BAPA". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun