Mohon tunggu...
Agustri Mardika Leuf Bnani
Agustri Mardika Leuf Bnani Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Bagi saya menulis bukan sekadar perenungan hampa, melainkan nyala yang menyalakan empati—jembatan yang menghubungkan kesadaran dengan sesama, suatu dialog imajiner dengan realitas. Menulis berarti membentuk pikiran, melenturkan refleksi diri dan mempertajam kepekaan akan kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paradoks Kebebasan: Kurikulum Merdeka Dalam Filsafat Rousseau

2 Februari 2025   15:30 Diperbarui: 2 Februari 2025   14:32 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jean-Jacques Rousseau, salah seorang filsuf abad ke-18, menekankan pentingnya pendidikan yang selaras dengan kodrat alami manusia. Dalam karyanya, mile, or On Education, Rousseau berpendapat bahwa pendidikan seharusnya membiarkan anak berkembang sesuai dengan potensinya tanpa paksaan eksternal yang berlebihan (Rousseau, 1762). Ia percaya bahwa manusia pada dasarnya baik, dan pendidikan yang tepat akan mempertahankan kebaikan tersebut.

Di Indonesia, sistem pendidikan telah mengalami berbagai perubahan kurikulum untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan. Salah satu upaya terbaru adalah implementasi Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini diluncurkan pada tahun 2022 oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim. Kurikulum Merdeka memiliki beberapa keunggulan, di antaranya: fokus pada materi esensial, fleksibelitas, pemebelajaran berbasis proyek, pengembangkan karakter dan kesempatan kepada peserta didik untuk mengeksplorasi isu-isu aktual. Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Rousseau yang menekankan pentingnya kebebasan dalam proses belajar. Namun, dalam praktiknya, penerapan Kurikulum Merdeka justru menghadapi banyak hambatan dan dinilai kurang efektif dalam konteks sosial-kultur Indonesia.

Salah satu permasalahan utama dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah kesenjangan fasilitas dan Sumber Daya Manusia. Kurikulum ini mengandaikan bahwa setiap sekolah dan guru memiliki kapasitas yang cukup untuk menjalankan pembelajaran yang berbasis proyek dan eksploratif. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, misalnya di NTT, masih mengalami keterbatasan dalam infrastruktur dan tenaga pendidik yang belum siap dengan metode pembelajaran mandiri ini (Siswadi, 2023). Ibarat pisau tumpul dipaksa mengiris.

Rousseau menekankan bahwa pendidikan harus menumbuhkan kebebasan dan kemandirian peserta didik. Ia berpendapat bahwa "manusia dilahirkan bebas, namun di mana-mana ia dalam belenggu" (Rousseau, 1762). Pernyataan ini mencerminkan pandangannya bahwa struktur sosial dan pendidikan sering kali mengekang potensi alami individu. Ironisnya, dalam konteks Indonesia, Kurikulum Merdeka justru bisa menjadi belenggu baru bagi siswa dan guru yang belum memiliki kesiapan dalam menjalankan metode belajar yang lebih bebas. Fleksibilitas tanpa bimbingan yang jelas berisiko menciptakan kebingungan di antara pendidik dan peserta didik.

Selain itu, pendekatan individualistis dalam Kurikulum Merdeka kurang tepat sasar dengan budaya kolektif masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan Indonesia sejak lama berakar pada nilai gotong royong dan kebersamaan, yang mana ini berbeda dengan konsep kemandirian ala Rousseau yang menekankan perkembangan individu secara bebas. Implementasi kurikulum ini justru berpotensi meruntuhkan semangat kolaboratif yang menjadi ciri khas pendidikan di Indonesia (Wattimena, 2019).

Kritik lain terhadap Kurikulum Merdeka adalah kurangnya kesiapan dalam sistem evaluasi. Dengan konsep pembelajaran yang lebih fleksibel, standar penilaian menjadi lebih subjektif dan sulit diterapkan secara merata di seluruh sekolah. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi guru dan peserta didik dalam menyesuaikan proses belajar dengan tuntutan akademik yang tetap harus dipenuhi (Siswadi, 2023).

Kita akui bahwa memang sulit untuk mencapai tujuan pendidikan yang ideal, tetapi yang terpenting bagi saya adalah diperlukannya perubahan paradigma yang tidak hanya mengadopsi kebebasan belajar, tetapi juga mempertimbangkan kondisi sosial, budaya, dan kesiapan infrastruktur pendidikan. Pendidik harus berperan sebagai fasilitator yang tidak hanya membiarkan peserta didik berkembang secara mandiri, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai kolektivitas dan kebersamaan tetap terjaga dalam proses pembelajaran.

Secara keseluruhan, meskipun Kurikulum Merdeka memiliki konsep yang tampak ideal, pelaksanaannya masih jauh dari efektif dalam konteks pendidikan Indonesia. Pemikiran Rousseau menawarkan perspektif yang relevan, namun penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya yang ada. Pendidikan yang terlalu menekankan kebebasan tanpa kesiapan sistem dan infrastruktur yang memadai justru berisiko menciptakan kesenjangan dan ketidakefektifan dalam proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, reformasi pendidikan harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih komprehensif, mempertimbangkan baik aspek kebebasan individu maupun realitas sosial masyarakat Indonesia.

Daftar Pustaka:

  • Rousseau, J.-J. (1762). mile, or On Education. Translated by Allan Bloom. New York: Basic Books.
  • Wattimena, R. A. A. (2019). Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi Pendidikan. Rumah Filsafat. Diakses dari https://rumahfilsafat.com/2019/05/06/pendidikan-demokrasi-dan-demokratisasi-pendidikan/
  • Siswadi, G. A. (2023). Konsep Pendidikan Naturalistik Jean Jacques Rousseau Dan Relevansinya Bagi Pengembangan Sistem Merdeka Belajar di Indonesia. Bawi Ayah: Jurnal Pendidikan Agama Dan Budaya Hindu, 14(2).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun