Mohon tunggu...
Kalis Mardi Asih
Kalis Mardi Asih Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Guru Bahasa Inggris yang Hobi Membaca Novel-novel Chicklit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangan-tangan Tuhan

22 Desember 2013   09:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anjani melirik dompetnya. Ia mendengus menyadari jatah uang sakunya ke kampus hari ini tinggal sepuluh ribu rupiah saja. Separuhnya sudah habis dia berikan pada pengemis yang bersliweran di gedung Fakultas. Dari sejak ia memarkir motor pagi tadi, pengemis pertama yang mendapat selembar seribuan darinya adalah seorang ibu dengan pakaian bergambar partai dan calon legislatif yang wajahnya hampir buram saking lusuhnya. Menyusul kemudian, pengemis kedua, ketiga dan seterusnya datang dengan ekspresi yang hampir sama ketika ia duduk memangku laptop di lobi saat menunggu Gita datang.

“Ah. Tau kayak gini mending aku tadi nggak dateng kepagian.” Batinnya kesal.

“Woy!Kenapa sih Jan, manyun aja!” Gita, teman sekelasnya itu datang dengan menepuk pundak Anjani.

“Sial, kamu lama banget datengnya! Bangun jam berapa sih? Abis nih duit dimintain sama pengemis.” Anjani merengut.

“Huahahahaha jadi kamu sewot cuman gara-gara pengemis? Lagian kenapa dikasih kalau nggak ikhlas? Nggak ada peraturan juga kok buat ngasih semua pengemis yang minta!” Gita meledek Anjani sambil kemudian mengajaknya naik ke lantai 2.

Masalah pengemis yang ngeksis di kampus ini emang cukup jadi bahan perbincangan di semua kalangan. Bahkan, salah satu program utama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas tahun ini adalah bikin kebijakan diapain enaknya para pengemis itu. Para mahasiswa mulai jengah dengan kehadiran mereka yang sering nggak tepat waktu. Di kantin pas lagi enak makan, di taman pas lagi serius ngerjain tugas, bahkan di shelter-shelter gangguin mahasiswa yang lagi pada pacaran. Ups! Pengemis-pengemis ini punya style yang sama : pakaian lusuh gambar partai, mangkok plastik yang mereka sodorkan ke orang-orang dan karung besar untuk alat mereka nyambi mengais botol bekas pada tempat-tempat sampah dari fakultas ke fakultas.

Kampus Anjani bukan kampus ecek-ecek. Ini adalah kampus terbesar se- Kota Surakarta dan bahkan tergolong level kece badai di Indonesia. Kalau di Universitas Indonesia yang mentereng itu, bukannya nggak ada pengemis beredar sepanjang hari kayak gitu? Padahal, di gerbang depan dan belakang masuk kampus, jelas tertulis “Pengemis dan Pengamen Dilarang Masuk”. Nggak cuma papan peringatan yang ditulis besar-besar buat ditaati sama pengemis-pengemis itu, tapi juga ada masing-masing empat orang satpam yang berjaga-jaga di pos depan dan belakang.

“Emang satpam kerjaannya apa sih? Kenapa pengemis-pengemis itu nggak pada ditangkepin?” Gita menambahi dan ikutan sewot.

Anjani bukanlah anak dari keluarga kaya raya. Justru, karena dia tahu beratnya bertahan hidup tanpa meminta-minta, dia jadi bête sama pengemis. Lucunya, tetap aja dia nggak tegaan buat sampai hati nggak ngasih sedekah. Nggak peduli deh sama aturan Pemerintah yang ngelarang para warga ngasih uang ke para pengemis dan anak jalanan. Kan, kata Pak Harfan di Laskar Pelangi,” Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya! Bukan meminta sebanyak-banyaknya!” Nah lho! Gimana dong?

Masalahnya, Anjani nggak pernah denger kalau pekerjaan mengemis itu dilarang oleh agama. Anjani cuma tahu kalau pekerjaan yang jelas-jelas haram adalah semacam mencuri, jadi rentenir atau nipu sana-sini. Walaupun sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat buat orang lain, tapi tetep aja Anjani kasihan sama mereka-mereka yang “nampak” kekurangan itu.

“Bener tuh. Emang dasar pada nggak tahu diri para pengemis di jalanan itu. Lihat deh, Pak.” Jani bersemangat mengadu pada Bapaknya yang lebih tertarik untuk menyesap rokok dan kopi.

“Apa to? Kok semangat banget kamu nanggapinnya?”

“Itu lho, Pak. Berita di Televisi. Pengemis di Bandung kan mau diberi pekerjaan sama siapa itu, Gubernur barunya…Pak Ridwan Kamil.” Jani terus ngomel sambil meneruskan pekerjaan hariannya tiap sore : bungkus-bungkus snack Cap Maju Lancar. Pekerjaan sambilan yang nggak kerasa bisa nambah-nambahin ongkos kuliahnya dua tahun ini.

“Trus kenapa katanya?” Bapak meletakkan batang rokok dia atas kopinya.

“Ya mereka ndak mau, Pak. Katanya mereka lebih suka jadi pengemis soalnya gajinya sampai 4 juta per bulan. Kalau jadi karyawan pabrik gajinya cuma sedikit katanya. Mau enaknya sendiri ya, Pak?” Jawab Anjani sambil melengos. Kesal ia melihat bapaknya terus-terusan merokok padahal sering kumat sakit limpanya.

“Hehehe…ya nggak ada yang enak Jan. Yang enak ya kamu itu, tinggal minta sama duit sama Bapak bisa beli ini itu…”

“Ih apaan sih, Pak. Buktinya daridulu walaupun susah, keluarga kita nggak pernah minta-minta kan?” Seru Anjani sambil beringsut membereskan dagangannya. Sepintas dia keinget tempo hari pas ketemu salah seorang pengemis di KOPMA. Baru juga pukul sembilan pagi, tapi si pengemis udah nuker receh-receh sejumlah dua puluh lima ribu di tukang fotokopian. Padahal buat dapet untung sedikit lebih dari jumlah itu, Anjani kudu melek bungkusin snack sampai malem dan keliling dari kantin ke kantin buat ngecek dagangan.

Toh, walaupun kesal, dipikirnya juga kata-kata Bapak barusan:“Ya nggak ada yang enak Jan…” Berulang kali dia pikir pelan-pelan apa maksud Bapak bilang begitu. Iya juga sih, mana ada pekerjaan minta-minta kok enak? Kalau boleh milih, semua orang pasti pengen jadi kaya, kerja di tempat yang layak dan nggak gerah, plus hidup nyaman sama keluarganya. Barangkali emang mereka udah terdesak banget sehingga milih nutup urat malu buat jadi pengemis.

“Temen- temen, nanti siang setelah mata kuliah terakhir bisa ikut acaranya BEM kan?” Seru Dio, ketua tingkat yang juga aktif di banyak organisasi kampus itu.

“Acara apa, Di?” Tanya Farid si Kribo sambil menyisir rambutnya yang nggak berantakan.

“Itu lho, tentang BEM yang mau ngadain diskusi terbuka buat masalah pengemis yang ada di lingkungan kampus kita. Gimana? Pada bisa ikut kan?”

“Gue ijin ya, Di!” Melina, si gadis Jakarta menyahut.

“Iya, ane juga deh mau cepetan cabut! Nitip pesen aja kalau pengemis-pengemisnya cepetan di beresin. Udah kebanyakan soalnya!” Suara yang lain menimpali.

“Iya Di. Masa kemaren pagi Ani ngeliat mereka tuh di drop di belakang kampus pakai mobil bak terbuka gitu. Kayaknya mereka dikirim sama oknum deh. Buktinya gayanya hampir samaan gitu.” Ani yang biasanya pendiem kali ini ikut ngasih pengakuan.

“Iya, kalau pas jam makan siang gitu gue ngeliat mereka pada ngumpul di belakang Kantin Fakultas Sastra ngitung-ngitungin duit. Beuh, enak amat dah kayaknya hidup tinggal minta doang dapet banyak duit!” Sahut suara yang lain lagi.

Anjani yang masih sibuk sama note catatan snack cuma dengerin pendapat dari temen-temennya sambil manggut-manggut. Pengen banget sebenarnya nambahin cerita tentang kejadian di tukang fotokopian kemarin, tapi kayaknya suasana kelas udah cukup panas karena celetukan teman-temannya. Kalau dia ikut-ikutan, bisa-bisa meledak juga ruang kelas yang AC nya semakin kerasa nggak berfungsi itu.

“Kalau aku dateng sejam lagi masih ada kan Di diskusi BEMnya?” Tanya Anjani ke Dio selepas jam mata kuliah terakhir. Mereka jalan berdampingan pelan-pelan keluar kelas.

“Eh, palingan masih Jan. Kenapa nggak bareng aku aja sekarang? Yuk!” Ajak Dio bersemangat.

“Haha…aku mesti ngecek dagangan dulu nih Di ke kantin-kantin. Bisa nggak dapet penghasilan dong aku hari ini kalau ikut kamu sekarang?” Canda Anjani.

“OK Sip deh aku tunggu di Gedung UKM Lantai 2 ya. Aku duluan!”

Mereka berpisah di persimpangan lobi yang mulai sepi karena jam makan siang. Anjani bergegas lari ke parkiran dan menaiki motor matic yang dikreditnya sendiri dari hasil mengajar les privat dan jualan. Kalau dipikir-pikir, mengemis emang ringan sih! Nggak perlu kerja siang malem, nggak perlu ngecek pemasukan dan pengeluaran dan yang jelas, nggak takut rugi! Astaghfirullah…Anjani jadi ikut-ikutan mengumpati para dhuafa itu gara-gara terpengaruh emosi temen-temennya.

Siang itu saking semangat mau ikut diskusi BEM, pekerjaan tagih-menagih uang snack di sembilan Fakutas selesai dengan lebih cepat. Gadis yang sehari-harinya tampil apa adanya dengan rambut kuncir kuda dan kacamata minus ini segera memutar arah ke Gedung UKM Lantai 2, markas anak-anak BEM yang selama ini dikenal cukup ekslusif dan progressif itu. Di perjalanan tadi, dia sempet berpapasan sama Ibu pengemis yang wajahnya nggak asing. Kayaknya Ibu itu nggak tahu atau entah nggak peduli kalau satu-satunya mata pencahariannya lagi diributin sama orang-orang se-kampus, sampai-sampai ada diskusi khusus buat ngomongin mereka.

Parkiran gedung UKM penuh. Kayaknya semua pihak yang berkepentingan emang pada bersemangat buat dateng, nih! Bayangin aja, buat ngomongin pengemis doang, bukan cuma semua dekan Fakultas yang ikut ngumpul, tapi juga perwakilan dari Pemerintah Kota dan nggak ketinggalan banyak banget wartawan.

Anjani jadi ikut deg-degan. Udah berhari-hari juga dia berharap biar masalah pengemis di lingkungan kampus yang suka bikin dia nggak jadi nabung ini cepet tuntas.

“Saudara- saudara, pengemis memang nggak sepatutnya dibiarkan bebas beraktivitas di lingkungan kampus. Dikhawatirkan mereka nggak cuma mengemis, tapi juga melakukan aktivitas-aktivitas lain yang tidak diharapkan seperti mencuri dan tindakan kriminal lainnya.”

Para peserta kelihatan puas dan manggut-manggut. Sebagian sampai ngasih tepuk tangan ke Pak Dekan dari Fakultas Hukum saking semangatnya. Moderator lanjut ngasih giliran ke Mas Tama, seorang jurnalis dari sebuah stasiun televisi swasta. Cowok yang juga alumni kampus dan mantan aktivis pada zamannya itu berseru dengan lantang,”Kampus seharusnya bertanggung jawab pada semua kepentingan rakyat termasuk pengemis. Jika kampus sebagai laboratorium permasalahan bangsa ini sudah acuh pada permasalahan yang ada di depan matanya dengan menolak keberadaan pengemis, apa bedanya kampus dengan gedung-gedung DPR yang dipenuhi dengan tikus-tikus koruptor?”

“Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!” Presiden BEM teriak dengan tangan kiri mengepal ke atas. Setelahnya, para anak buah yang kompakan pake jaket BEM warna item yang pada kegedean itu ikut-ikut niruin gaya pimpinannya.

“Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!” Suasana makin riuh.

Di pojok belakang ruangan, Anjani memutuskan buat pulang duluan. Dalam hati dia nyesel kenapa ikutan dateng ke acara yang bikin dia makin pusing. Dia cuma pengen tahu apa besok dia mesti ngorbanin duit tabungannya buat ngasih pengemis-pengemis itu. Udah itu aja, nggak lebih. Tapi ini, nggak dapet solusi, malah dapet tambahan teori.

Pas banget sama emosi Anjani yang lagi meledak-ledak, di bawah pohon angsana nggak jauh dari gerbang belakang kampus, seorang Bapak tua renta nampak hampir pingsan sendirian. Bapak tua itu bertelanjang dada menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang cukup untuk menahan terik siang. Anjani yang tadinya hampir memacu kendaraan sekencang mungkin, tak kuasa menahan laju motornya.

“Pak, Bapak sakit? sakit apa, Pak?” Tanya Anjani pelan setelah menghampiri si Bapak tua.

“I…ya…” Si Bapak tua nampak kesulitan untuk bernapas. Sepertinya ia menderita sesak napas. Tapi batuk-batuknya juga tak kunjung berhenti. Sesekali ia meludah sehingga membuat Anjani agak jijik juga. Di sekitar tempatnya duduk, terlihat beberapa bungkusan makanan mulai dari cakwe, pisang karamel sampai siomay, Barangkali diberi gratis oleh para pedagang yang kebetulan lewat dan merasa kasihan.

“Bapak sendirian?” Anjani penasaran. Gadis bawel yang tadinya berniat untuk segera pulang, memutuskan untuk mengetahui lebih asal usul si Bapak.

Si Bapak geleng-geleng. “Tidak, Nak…,” Terbata-bata ia menjawab sambil menunjuk seorang Ibu yang terlihat berjalan menghampiri mereka,

Spontan Anjani menoleh. Si Ibu Pengemis Fotokopian! Ya, yang berjalan ke arah Anjani sekarang adalah si Ibu Pengemis yang ia lihat menukar uang receh di tukang fotokopi tempo hari. Ah, apa maksud semua ini?

“Siang Mbak…” Sapa si Ibu yang siang itu memakai kaor warna putih, topi biru dan es teh di tangan kanannya. Bulir-bulir keringat menetes di wajahnya. Siang ini Kota Surakarta memang menyengat sekali.

“Eh, iya Bu…ini saudara Ibu?”

“Iya ini suami saya Mbak. Tadi disuruh istirahat di rumah aja tapi nggak mau…bandel Mbak. Katanya capek di rumah terus jadi pengen ikutan ke kampus…”

“Ini mau pulang Bu? Naik apa?”

“Iya Mbak. Biasanya naik angkot, trus disambung sama becak…”

“Saya ikut ya, Bu. Pengen maen ke rumah Ibu…”

“Boleh Mbak… nanti Mbak ikuti saja becaknya kalau sudah sampai di pertigaan kecamatan Sangkrah…” Si Ibu menjelaskan alamat rumahnya sambil kepayahan membantu suaminya berdiri.

Rumah yang berdiri di atas tanah tak bersertifikat ini hanya terdiri dari dua bagian yang dipisahkan oleh sekat kayu. Atap yang terbuat dari seng serta beberapa kayu bekas jelas menambah dahaga Anjani siang itu. Kepalang tanggung, Anjani ingin segera menuntaskan rasa ingin tahunya.

Masuk lewat pintu depan, ia langsung disambut oleh kasur lusuh penuh debu yang tergeletak langsung di lantai. Lantai yang menjadi alas rumah ini sebenarnya adalah bagian dari badan jalan. Kata Bu Yani, sebentar lagi rumah ini akan dirobohkan karena ada program pelebaran pintu air waduk Sangkrah. Itu berarti, Bu Yani harus siap-siap mencari tempat tinggal baru yang entah kemana lagi.

“Kapan sembuhnya Bapak kalau tidur di lantai dan kasur penuh debu gini, Bu…”

Suami Bu Yani terus batuk-batuk. Seorang gadis bermata lebar yang nampak seusia anak SD keluar dari ruang belakang rumah dengan mengesot di lantai. Separuh tangannya menjadi tumpuan merangkak. Sedang kedua kakinya tampak tak dapat difungsikan.

“Hi…fa…” serunya dengan suara yang berat dan liur yang terus menetes ke bagian dadanya.

“Anjani…”

“Namanya Syifa, Mbak…” Bu Yani menerjemahkan salam perkenalan Syifa sambil repot membereskan kain sprei yang berantakan.

Acute Flaccid Paralysis (AFP) disebabkan oleh radang pada sumsum tulang belakang. Orang-orang di desa biasa menyebutnya lumpuh layu. Kedua tangan dan kaki Syifa tak bisa berfungsi karena lemas, tak kaku seperti tangan dan kaki banyak orang normal. Sudah 17 tahun Bu Yani selalu memandikan Syifa tiap pagi dan sore, menyuapi makanan tiga kali sehari, menggendong dengan kepayahan jika Syifa ingin pipis ataupun buang air besar.

Tak pernah ada rencana pengobatan medis intensif buat Syifa. Bu Yani hanya tau pengobatan tradisional dan tukang pijit. Mbah Warsi, nenek Syifa pun sudah lama pergi ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Beliau tak kuat melihat kondisi Syifa serta desakan ekonomi keluarganya. Beliau tak ingin menambah beban Bu Yani dan suaminya. Tiap pulang pada hari lebaran, Mbah Warsi kerapkali menjanjikan kursi roda baru buat Syifa yang hingga hari ini belum kunjung terbeli.

“Apakah nggak ada warga yang kasih bantuan, Bu?”

“Udah nggak kehitung Mbak…pakaian-pakaiannya Syifa itu juga belas kasihan orang. Hampir tiap hari kita nyusahin orang. Minta makan, minta obat…malu Mbak. Kalau boleh milih, biar saya yang sakit daripada harus ngelihat Bapak dan Syifa nggak sembuh-sembuh. Tapi ya harus saya jalani…”

Anjani berusaha menahan air matanya agar tak mengucur keluar. Sayangnya terlambat. Tetes demi tetes air matanya kini adalah ingatan tentang lembaran-lembaran ribuan yang kemarin terus menerus disesalinya. Di telinganya terus terdengar ungkapan-ungkapan kesal teman-temannya di kampus pada pengemis yang mengganggu pemandangan belajar mereka. Padahal, apa yang lebih mengganggu daripada hati yang menutup jiwanya dari cahaya?

Rintik gerimis pada hari berikutnya mengiringi kedatangan Anjani bersama teman-teman sekelasnya dan beberapa pengurus BEM untuk menyalurkan bantuan kepada keluarga Ibu Yani. Anjani berhasil meyakinkan teman-temannya untuk datang dan berbagi dengan foto-foto yang sempat diambilnya kemarin. Tak ada yang tak menangis. Semua mahasiswa nampak sesekali saling berpelukan.

“Makasih ya Jan. Cerita ini berarti banget buat kita.”

Terik berubah lebih ramah siang itu. Kampus akhirnya menemukan kebijakan yang tepat buat semua pengemis yang udah bikin geger dunia persilatan. Kampus kerja bareng pengurus BEM bakal mendata pengemis-pengemis yang ada. Buat yang kekurangan banget macam keluarga Bu Yani bakalan diberikan bantuan untuk berobat sampai sembuh dan juga permodalan. Temen-temen sekelas Anjani juga bakal ngadain penyuluhan pentingnya berwirausaha dan bakalan bikin konsep pemberdayaan buat mereka biar nggak terus-terusan minta-minta.

“Nggak ada yang enak kan, Jan?” Bapak menggoda Anjani yang sedang melamun keinget peristiwa demi peristiwa. Walau masih shock sama apa yang baru aja dialaminya, sore itu Anjani sudah sedikit lebih tenang.

“Iya Pak. Untung aja waktu itu Jani nggak tau kenapa pengen banget ikut mereka ke rumah. Anjani pengen ngebuktiin kalo mereka itu masih tergolong mampu dan harusnya nggak mengemis. Tapi ternyata kebanyakan dari mereka emang orang-orang yang nggak punya pilihan…” Anjani menyeka air matanya

“Hmm…udah, cepet dilanjut itu bungkus-bungkus snacknya. netes semua tuh meweknya, jorok!”

“Ih Bapak apaan sih…”

“Hihihi. Semangat terus ya belajar dan jualnnya. Kita bisa bermanfaat ke orang lain hanya jika kita mampu. Belajar bikin kita berilmu. Dan materi bikin kita bisa ngasih ke orang-orang yang kekurangan. Ya, seperti keluarganya Bu Yani itu misalnya.” Bapak emang paling bisa deh kalau ngasih nasehat!

Kerjaan Anjani sekarang nambah lagi dan bikin dia lumayan sibuk. Tiap habis keliling ngecek duit dagangan, dia ngawasin para Ibu-Ibu bekas “pengemis” yang dikasih pendampingan kampus buat bikin kerajinan barang bekas. Botol-botol plastik yang biasanya dijual kiloan sekarang diolah biar punya nilai jual lebih. Mereka semua berusaha banget buat nggak minta-minta lagi.

“Kami senang akhirnya ada yang memperhatikan…” Salah seorang Ibu mengucap ke Jani dengan tulus.

Siang itu kampus udah nggak ribut-ribut sama isu-isu cemen seperti nasib pengemis. Para aktivis sekarang lagi heboh-hebohnya bikin rancangan demo ke koruptor yang kaya raya karena makan uang rakyat. Kesel juga mereka, gara-gara para pejabat yang nggak bertanggung jawab itu, makin banyak orang miskin yang hidupnya makin susah. Bahkan mereka nyesel banget tiap inget pernah lebih membela mereka yang jahat dibanding mereka yang lemah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun