Mohon tunggu...
Mardiana Hayati
Mardiana Hayati Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog kemarin sore, yang terus belajar supaya makin kece :)

Hai, nama saya Dian! Psikolog yang bekerja di RSUP Fatmawati, Jakarta. Suka ngobrol dan menulis. Yuk, kenalan dengan saya! Add ig @mardiana_hayati_solehah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Cyber Cheating, Ketika Selingkuh Semakin Mudah

15 Oktober 2020   11:20 Diperbarui: 17 Oktober 2020   00:12 1339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | photo created by freepik - www.freepik.com

Beberapa tahun silam, saat teknologi belum semaju sekarang dan jumlah orang yang memiliki gadget masih dapat dihitung dengan jari, batasan berselingkuh dapat terlihat dengan jelas. Jalan berdua, kencan, adanya sentuhan fisik mulai dari bergandengan tangan hingga berhubungan intim, dapat dengan mudah dikategorikan sebagai selingkuh. Interaksi secara fisik merupakan indikator seseorang dapat dikatakan berselingkuh.

Sekarang, seiring dengan banyaknya fitur gadget serta maraknya sosial media, jarak sosial antar manusia semakin menipis. Banyak sekali perantara yang dapat digunakan untuk menciptakan interaksi antar manusia, tanpa harus bertemu secara langsung atau melakukan kontak fisik. 

Lalu apakah dapat dikatakan sebagai perselingkuhan bila tidak ada kontak fisik?

Sebagian besar orang dapat berkelit dengan mengatakan, “kan cuma saling like di-facebook, hanya iseng saja mention di twitter, hanya DM saja di ig, kami tidak pernah bertemu, tidak terjadi apa-apa kok” (dan beberapa alasan yang lain).

Perselingkuhan sendiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang melanggar perjanjian eksplisit maupun implisit antara kedua belah pihak yang memiliki risiko dapat merusak keutuhan hubungan tersebut dan biasanya melibatkan ketidakjujuran (Siegel, 2013).

Lebih lanjut, aksi perselingkuhan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu fisik, emosional, dan gabungan antara fisik serta emosional (Pour dkk, 2019). 

Aksi yang melibatkan fisik merupakan bentuk yang paling jelas karena terlihat secara nyata, seperti kencan, sering menghabiskan waktu berduaan, maupun melakukan hubungan seksual.

Di lain pihak, perselingkuhan emosional lebih susah dilihat, karena seringkali muncul dalam bentuk tindakan yang implisit, seperti memikirkan orang lain atau berfantasi berhubungan romantis dengan orang lain.

Lalu bagaimana bila interaksi terjadi secara online? Dapatkah dikatakan sebagai perselingkuhan?

Jawabannya adalah tentu saja.

Luasnya dunia maya mempermudah jalan para pelaku atau orang yang berniat berselingkuh. Bahkan orang yang semula tidak berniat berselingkuh dapat terjebak dalam kedekatan yang terlalu jauh dengan orang lain di dunia maya. Dunia maya pun menjamin kerahasiaan dari hubungan terlarang tersebut.

Banyak sekali fasilitas dunia maya yang dapat dijadikan sarana perselingkuhan, baik secara fisik maupun emosional. Seorang yang bermasturbasi ketika melakukan video chat, mengakses situs gambar atau video porno, bahkan melakukan sex call, sudah dikatakan telah melakukan selingkuh secara fisik.

Telah terjadi pemuasan hasrat seksual walaupun tidak terjadi hubungan intim secara langsung. Lebih banyak lagi fasilitas yang dapat digunakan untuk berselingkuh secara emosional, mulai dari fitur komunikasi gadget, berbagai sosial media, maupun fitur kencan online.

Sekarang mari kita cek kembali pasangan maupun diri kita sendiri, seberapa jauh kah kita berinteraksi dengan orang lain di dunia maya? Apakah hanya interaksi normal atau sudah menjurus ke perselingkuhan?

sms siapa ini bang? | pinterest.com/aazti
sms siapa ini bang? | pinterest.com/aazti

Ada beberapa indikasi yang dapat dilihat, yaitu (1) alokasi waktu, (2) intensitas perhatian, serta (3) penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.

Pertama adalah alokasi waktu. Seberapa banyak waktu yang kita butuhkan untuk berinteraksi di dunia maya? Bila waktu tersebut lebih banyak dihabiskan di dunia maya dibanding dunia nyata, terlebih bila digunakan untuk mengunjungi situs porno, kencan online, atau berinteraksi dengan orang tertentu di fitur komunikasi gadget maupun sosial media, maka perlu diwaspadai rentannya tindak perselingkuhan.

Kedua, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membalas pesan? Waktu yang dihabiskan untuk mengecek pesan? Waktu yang dihabiskan untuk memegang gadget dibandingkan bercengkerama dengan pasangan? Apakah kita senang bila orang tersebut memberi komentar di sosial media? Atau apakah terjadi balas-membalas komentar di sosial media?

Bila kita menghabiskan waktu untuk senantiasa memelototi gadget atau sangat sigap membalas pesan seseorang, bisa jadi kita telah terobsesi dengan orang tersebut.

Semakin tinggi intensitas perhatian yang kita berikan pada orang selain pasangan, merupakan ambang munculnya perselingkuhan. Apalagi bila ditambah dengan perasaan senang atau harapan yang selalu muncul saat berinteraksi dengan orang tersebut.

Ketiga adalah penggunaan bahasa dalam komunikasi online. Kita pun dapat mengamati penggunaan bahasa kita. Bila kita menggunakan kata-kata yang intim, seperti “aku-kamu” atau memberi julukan sayang, dapat dikatakan telah muncul percikan romantisme dalam hubungan tersebut. Sapaan-sapaan serta pertanyaan-pertanyaan yang pribadi, saling mengirim meme atau foto lucu, maupun penggunaan emoticon secara berlebihan dapat mengindikasikan kedekatan yang “lebih”.

Indikasi lain yang menguatkan perselingkuhan adalah bila kita merasa khawatir interaksi tersebut akan diketahui oleh pasangan, sehingga kita membuat akun palsu atau mengunci semua gadget dan sosial media kita.

Terlebih bila sudah berbohong dan mencari-cari alasan akan kedekatan yang kita jalin dengan. Adanya rasa marah saat pasangan tanpa sengaja menemukan atau membaca bentuk komunikasi kita adalah lampu merah yang menyala sangat terang pertanda kita positif melakukan perselingkuhan.

Perselingkuhan adalah perselingkuhan. Apapun bentuknya. Apapun medianya. Apapun alasannya. Apapun niatnya. Saat timbul kecenderungan untuk mengabaikan pasangan demi orang lain atau timbul rasa bersalah karena merasa telah berkhianat, berhentilah melakukan tindakan tersebut.

Ingatkan dalam pikiran dan hati bahwa tindakan tersebut berpotensi merusak hubungan dengan pasangan. Lebih baik mencegah daripada mengobati hati yang telah terlanjur terluka.

Sumber referensi:
Kruger, D. J & Fisher, M. L. 2013. Was That Cheating? Perceptions Vary by Sex, Attachment Anxiety, and Behavior. Evolutionary Psychologi : 159-171

Pour, M. T, dkk. 2019. Indefidelity in Marital Relationship. Psychology and Psychological Research International Journal. Vol 4 (2) : 1-14

Siegel, A. 2013. My Cheating Heart: What Causes Infidelity (diakses 19 September 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun