Suamiku seorang politisi.  Dia  berjuang di bidang politik praktis, menjadi anggota legislatif.  Sepuluh tahun pertama aku tidak bisa membantu pekerjaannya. Aku menunaikan kodrat ibu, mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anak. Setelah anak-anak masuk sekolah, mulai kubantu dia dalam kerja-kerja  politiknya.
Sebagai politisi di lembaga legislatif dia butuh konseptor. Aku menjadi konseptornya.  Di zaman Orde Baru anggota DPR tidak difasilitasi dengan Tenaga Ahli (TA) dan sekretaris pribadi (sespri) seperti di era Reformasi ini.  Masing-masing anggota DPR mencari sendiri bahan dan materi untuk dibawa ke meja-meja sidang. Dalam kerja-kerja politiknya,  aku menyiapkan diri  menjadi sespri dan Tenaga Ahli.Â
Untuk itu, dia menyuruhku ke kampus, studi di perguruan tinggi. Kami membahas masalah-masalah politik aktual hampir tiap hari.  Kemudian mencari bahan dan materi untuk disusun sebagai konsep yang dibawa ke sidang-sidang legislatif  atau  dipublikasikan sebagai opini politik.
Karir politiknya telah menempatkan suamiku dalam jabatan penting di sebuah partai politik dan mendapat kesempatan untuk menjadi anggota legislatif beberapa periode.  Kegetolan berorganisasi ini telah dijalaninya  sejak di bangku kuliah. Awalnya  dia mengabdi di kampus sebagai tenaga pengajar (dosen).Â
Reformasi  politik di Indonesia era Orde Baru, membuka peluang bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik untuk ikut dalam Pemilu 1971.  Suamiku masuk ke salah satu Partai politik peserta Pemilu 1971. Sejak itulah dia menjadi anggota legislatif hingga tahun 1992.
Aku dan suami membangun relasi keluarga yang berkeadilan gender.  Aku merasa isteri termujur di dunia karena terhindar dari  konsep keluarga konvensional. Suami kepala keluarga, melakoni peran publik, sedangkan isteri  mengurus urusan rumah tangga  melakoni peran domestik.  Karena pembagian peran sosial seperti itu, maka relasi suami dan isteri adalah relasi kuasa. Aku terhindar dari relasi kuasa dalam rumah tangga.
Memang masih ketat dalam pandangan masyarakat  bahwa secara sosial perempuan  adalah warga kelas dua, inferior, berada di bawah dominasi laki-laki.  Relasi Kuasa dan produksi kekuasaan suami pada level rumah tangga, tidak terlepas dari produksi kuasa laki-laki di level negara. Negara cenderung lebih menyukai peran perempuan sebagai istri dengan mengabaikan otonomi pribadinya. Hal ini terkait dengan konsep negara tentang keluarga inti.  (UU Nomor 1 tahun  1975 tentang Perkawinan).
Aku dan suami  sering diskusi tentang ide kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini merupakan hal yang terindah dalam diskusi kami. Sering dibahas, pandangan masyarakat yang berakar dari  pandangan agama (Islam)  bahwa perempuan tidak diizinkan punya kehendak, harus mengikuti keinginan suami.Â
Suami dibolehkan memukul isteri dan berpoligami. Bila tidak taat pada suami dan melanggar apa yang dikatakannya, akan dianggap sebagai perempuan tidak berguna, bahkan menjadi calon penghuni neraka. Membahas hal ini,   protesku muncul  berapi-api.  Suamiku adalah penguatku. Dia laki-laki penyabar, maka diskusi kami berjalan lancar dan indah.
Sesungguhnya, aku dan suamiku  memiliki cara pandang yang berbeda pada tiap  masalah, tetapi kami  dapat berbagi makna dalam impak kedewasaan. Aku lebih condong  melihat persoalan secara teoritis, sedangkan dia  lebih banyak pada  penerapan. Aku  bergumul dengan doktrin (dassolen) dia lebih mengartikulasikan praktek (dassain) . Aku  mengemukakan berbagai pandangan dan pendapat, dia bergaul dengan berbagai pandangan dan pendapat tersebut.
Cara pandang yang berbeda inilah yang membuat kami sangat akrab sekali. Berkomunikasi  merupakan alat  utama  untuk memproduk berbagai ide dan pikiran. Sekalipun sikap dasar manusia cenderung  menekankan egoisme masing-masing, tetapi aktivitas  terkoordinasi akan menghasilkan sesuatu  yang istimewa, apalagi dibarengi  cinta. Kami saling mencintai. Cinta adalah kendaraan besar dalam keluarga  untuk membentuk hidup sukses dan  damai.