Dalam pandangan para tokoh feminisme Islam, tafsir adalah pemikiran manusia yang dapat diubah sesuai perkembangan masyarakatnya.Tafsir tidak sakral. Yang suci dan sakral adalah Al-Quran. Untuk membebaskan perempuan dari penjara teologis, maka para tokoh feminisme Islam melakukan reinterpretasi ayat ayat gender dengan pendekatan kesetaraan dan keadilan gender dengan hasil sebagai berikut.
Berkaitan dengan ayat kepemimpinan (Qs. Annisa /34), penafsiran klasik mengatakan bahwa laki-laki pemimpin atas perempuan. Dalam pandangan para tokoh feminisme Islam, tidak ada satu ayatpun  dalam Alquran  yang melarang  perempuan menjadi pemimpin. Siapa saja boleh menjadi pemimpin asal memiliki kemampuan.
Dalam masalah poligami (Qs.Annisa/3). Penafsiran klasik membolehkan poligami dengan batasan empat orang. Dalam pandangan feminisme Islam kebolehan poligami bersifat kontekstual dan perkawinan ideal dalam Islam adalah monogami
Berkaitan dengan hukum talak (Qs. Albaqarah/288), feminisme Islam berpandangan bahwa ketentuan hukum talak tidak adil. Menjatuhkan talak secara sepihak (oleh laki laki) adalah tidak adil dan menunjukkan derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Ayat tentang  warisan (Qs. Annisa /11), dalam pandangan feminisme Islam,  pembagian warisan harus menganut azas keadilan dan manfaat bagi keluarga yang ditinggalkan baik laki-laki maupun perempuan. Pembagian warisan dengan model  2 :1 untuk anak laki-laki dan perempuan merupakan pembagian yang tidak adil. Pembagian warisan harus sama antara anak laki-laki dan perempuan.
 Bila diposisikan dalam perkembangan pemikiran dan pergerakan tentang kesetaraan dan keadilan gender secara global, para tokoh  feminisme Islam  yang telah memiliki keberanian  membawa soal gender dalam kehidupan keberagamaan,  dapat dilihat sebagai sebuah  kemajuan dalam perjuangan perempuan untuk menjadikan perempuan manusia utuh. Semua manusia dihadapan Tuhan setara.
Semoga peringatan hari Kartini 21 April  2021 dengan ulasan  dalam tulisan ini dapat menemukan momentumnya. Dewasa ini  muncul berbagai peraturan daerah (perda-perda) syariah yang di dalamnya membatasi gerak perempuan. Kalau tidak ada yang mau dan mampu menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender, maka perempuan Islam terus terpuruk dalam dillema dan tertawan dalam penjara teologis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H