Mohon tunggu...
Mardety Mardinsyah
Mardety Mardinsyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Antara Kursi dan Kapital, antara Modal dan Moral ? haruskah memilih (Tenaga Ahli Anggota DPR RI)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Flu Spayol 1918 versus Covid 2019

22 September 2020   12:19 Diperbarui: 22 September 2020   12:32 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Flu Spanyol  dikenal sebagai pandemi Flu 1918. Flu Spanyol terjadi antara 1918-1919 dan diperkirakan membunuh 50 hingga 100 juta penduduk kala itu. Lebih dari seabad berlalu,  muncul    pandemi corona 2019 yang disebut  Covid 19. Saat ini pandemi Covid 19 sedang  menguncang dunia.

Seperti Covid 19, Flu Sepanyol juga menyerang wilayah Indonesia yang masa itu dikuasai oleh pemerintah kolonial. Dari sumber sejarah yang bisa dipercaya,  1,5 hingga 4,37 juta jiwa penduduk di wilayah Indonesia diperkirakan menjadi korban keganasan  Flu Spanyol. Itu merupakan kematian  yang tertinggi di Asia.

Sejarah menunjukkan, tingginya mortalitas dan morbiditas tersebut disebabkan antara lain oleh  kegagalan pemerintah kolonial melakukan pencegahan awal, buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, menjamurnya berbagai berita bohong (hoaks) hingga perilaku sekelompok orang   yang memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi. 

Fenomena dalam pandemi Flu Sepanyol serupa dalam pandemi Covid 19.  Di awal merebaknya Covid 19, pemerintah Indonesia tidak mencegahnya dengan serius. Berita simpang siur dan hoaks di flatform internet membingungkan masyarakat. Muncul sekelompok netizen dengan menggunakan perangkat digital memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. 

 Semua ini  menunjukkan, bangsa ini tidak tahu  sejarah.  Aspek historis di bidang kesehatan belum menjadi pembelajaran.

Kapan Covid 19 mereda ?

Ini pertanyaan banyak orang dewasa ini.

Para ahli berpandangan, pandemi Covid 19 mereda tergantung pada dua faktor, kebijakan pemerintah dan budaya masyarakat. Kebijakan yang tepat untuk  mencegah  penularan dan ditemukan vaksin anti virus dapat meredakan pandemi Covid 19. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan protokol kesehatan 3 M: Menjaga jarak, Mencuci tangan dan Masker. Para ahli sedang bergumul di laboratorium-laboratorium untuk menemukan vaksin anti Covid 19.  

Hitung-hitungan para ahli, produksi vaksin untuk  seluruh rakyat Indonesia butuh waktu 1-2 tahun. Kalau vaksin ditemukan akhir tahun ini, semua baru dapat vaksin pada akhir 2021. Bila semua warga  tervaksin total,. baru bangsa ini aman dari Covid 19. Tapi bila ada yang tidak tervaksin, virus ganas ini tidak akan menyerah, bahkan dapat bermutasi menjadi lebih ganas.

Disamping kebijakan yang tepat dan ditemukan vaksin anti virus, meredanya covid 19 juga tergantung pada tingkat liberal budaya masyarakat. Berkembangnya teknologi seperti ponsel,  internet dan jaringan selular membawa liberalisasi  budaya dalam kehidupan masyarakat kekinian.  Muncul berbagai aplikasi obrolan dunia maya.  Semua orang bisa jadi jurnalis, jadi penulis, politisi  dan pemerhati berbagai bidang kehidupan, termasuk pemerhati Covid 19. 

Informasi tentang Covid 19 menjadi  simpang siur. Ada  hoaks. Ada provokasi. Ada ujaran kebencian menyalahkan ini-itu. Netizen mempunyai otoritas di dunia maya. Ketika terbuka kebebasan informasi, manusia sebagai makhluk sosial telah berubah menjadi makluk digital, Sebagai makhluk digital, banyak yang tidak mampu mengontrol jarinya untuk menekan pranala gawainya membuat narasi yang membuat galau masyarakat.

Mengamati  berbagai  informasi hoak dan  narasi ekstrim tentang covid 19 di sosial media membuat kita depresi. Agitator on line melakukan tindakan hasutan, kebencian dan kebohongan. Sekarang ini kebohongan tentang Covid 19 menjamur. Menteri propaganda pada masa Adolf  Hitler pernah mengatakan, kebohongan yang diulang-ulang  akan menjadi kebenaran dan dipercaya masyarakat.

Untuk ikut meredakan Covid 19, melalui tulisan ini, kita himbau orang-orang yang senang memasarkan  informasi hoak dan narasi ekstrim tentang Covid 19 di media sosial agar segera berhenti.  Kerja otak manusia  mencerap, memproses dan  memahami informasi. Bila pasokan informasi hoaks dan narasi ekstrim dijejali ke otak masyarakat  tiap menit, akan dapat  merubah jalur jalur syarafnya. Dampaknya, orang tidak fokus baik dalam menjalankan protokol kesehatan dan mengganggu langkah-langkah penanggulangan Covid 19 di lapangan.  

Kita sebagai manusia yang beruntung mendapatkan kemajuan teknologi digital di zaman ini,  mari   manfaatkan perangkat digital untuk kebaikan kehidupan manusia, terutama ikut meredakan penularan Covid 19.

Belajar dari sejarah, dalam pandemi Flu Sepanyol, kematian penduduk di wilayah Indonesia terbesar di Asia. Itu disebabkan salah urus pemerintah kolonial dalam  pencegahan pandemi dan  menjamurnya berbagai berita bohong (hoaks) hingga perilaku sekelompok orang   yang memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi. Hal serupa harus kita hindari.  Kita harus belajar dari sejarah. Aspek historis di bidang kesehatan penting dipelajari. Manusia makhluk historis.

Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun