Mohon tunggu...
Mardety Mardinsyah
Mardety Mardinsyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Antara Kursi dan Kapital, antara Modal dan Moral ? haruskah memilih (Tenaga Ahli Anggota DPR RI)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dalam Gelisah Corona Menempuh Jalan Suluk

12 Mei 2020   15:58 Diperbarui: 12 Mei 2020   15:56 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam hening .......  Dalam gelisah corona, Sutiah  bersimpuh di lantai. Mukena putih melekat ditubuhnya.  Alam pikirnya  mengembara menyusuri kelokan-kelokan kenangan  yang berbeda. Sebuah telinga gaib  terjaga untuk mendengar nyanyian derita. Dia merasa seolah-olah ada pusaran gaib dalam dirinya yang membuat tenang, bahagia dan indah. 

Ketika pusaran gaib itu hilang , Sutiah ingin  menangis, lalu dia berdoa. Dia bertekad untuk mendalami kembali  ilmu agama, suluk dan  tarikat yang pernah dulu dipelajarinya.  

Di masa pandemi virus corona atau Covid-19, untuk mengurangi risiko penyebaran virus corona masyarakat harus tinggal di rumah sampai waktu yang belum ditentukan. 

Para ahli mengatakan bahwa ketika orang merasa terputus dari dunia luar atau "tinggal  di rumah saja",  maka muncul Cabin fever,yaitu  emosi atau perasaan sedih yang muncul akibat terlalu lama "terisolasi" di dalam rumah.  

Gejala cabin fever tidak hanya sekadar merasa bosan saja. Tapi jauh lebih serius. Seperti : kegelisahan,turunnya motivasi,mudah tersinggung, putus asa, sulit berkonsentrasi, lemah, lesu, sedih, depresi, tidak sabaran dan sulit tidur ( Kompas.com).

Menjajaki masa karantina "dirumah saja", banyak cerita yang bisa diangkat. Tiap orang berbeda menanggapi situasi ini . Untuk mencegah cabin fever selama masa pandemi, ada yang beraktivitas mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ada yang menyibukkan diri dengan beribadah, reading dan berkomunikasi di dunia maya. 

Ada pula yang mengekspresikan sisi kreatif, seperti melukis, menulis memasak dan lainnya.  Disamping itu, dalam gelisah corona ada pula  orang menempuh jalan suluk seperti yang dilakukan Sutiah yang  disebutkan di awal tulisan ini.  

Melalui  beberapa literatur, kita dapat sedikit memahami apa yang dimaksud dengan suluk.  Menempuh jalan suluk berarti perjalanan  mencari Allah, menata diri dengan syariat dan berakhlak baik. Dalam suluk dikenal tingkatan perjalanan, yang juga dikenal sebagai empat jenjang menuju Ad Diin (agama), yaitu: Syariat, Thariqat, Haqiqat dan  Ma'rifat.

Ketika orang bertariqat atau menempa jiwa menuju Allah, itu artinya bersuluk. Orang yang secara fisik melakukan zikir ribuan kali atau melakukan perjalanan menuntut ilmu atau bermeditasi berjam-jam,  itu belum dapat dikatakan bersuluk.  Tidak semua orang yang shalat itu bersuluk, tidak semua yang zikir itu bersuluk dan tidak semua muslim itu bersuluk.  Sebagian besar orang hanya  mengerjakan  tata syariat lahiriah.

Setelah  menjalankan  kaidah syariat,  perjalanan diperluas dengan bertarikat. Tarikat  berarti memasuki dunia pengalaman jiwa yang hidup, bukan sekedar teori.  Dengan  bertarikat, pencarian kepada Allah menjadi lebih fokus, terukur dan terbimbing. Setelah bertarikat kita  lebih mengerti istilah-istilah kunci dalam Al Quran seperti : iman, qalb, hawa nafsu, syahwat, alam barzakh, kekafiran, kemusyrikan dan lainnya  yang selama ini  kita  anggap sudah paham.
Untuk memulai perjalanan suluk, ilmu Tauhid merupakan pelajaran utama dengan tidak  meninggalkan pengetahuan rukun iman dan rukun islam serta mengaplikasikannya secara lahir dan batin. Ada beberapa materi pelajaran suluk yang sangat penting yaitu, "man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu.". yang artinya adalah siapa yang mengenal Jiwanya  (Nafs),-nya, maka akan mengenal Rabb-nya (Tuhannya).  

Ilmu agama, suluk inilah yang   pernah dipelajari Sutiah dulu. Kini dalam gelisah corona dia masuk kembali ke keheningan suluk.

 Pondok pesatren putri  " Sabariah  " dengan jumah santri yang tidak cukup sepuluh orang, itulah tempat belajar Sutiah dulu.   Pesantren ini  terletak  ditepi dusun jauh dari penglihatan orang-orang, di bukit terpencil, tak jauh dari sebuah teluk kecil pinggir laut yang  keindahan pantainya  belum dijamah nalar kapitalis perancang tujuan  wisata.

"Target hidup kita adalah mencapai jiwa yang tenang, atau jiwa yang di ridhoi oleh Allah", itu pelajaran pertama yang  diterima Sutiah  dari ummi Salamah guru tarikat di pesantren itu. "Suluk yang perlu kita perkuat adalah membersihkan jiwa kita agar selalu mendapatkah rahmat atau cahaya dari Allah", ucap  ummi Salamah lagi.

Hening ...  Dalam gelisah corona, Sutiah bersimpuh di lantai. Alam pikirnya  mengembara dan sepasang  telinganya  mendengar kehadiranNya. Sutiah  merasa seolah-olah ada pusaran gaib dalam dirinya yang membuat tenang, bahagia dan indah.

sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun