Membaca informasi dari kanal berita di media sosial, website, media elektronik seperti TV ataupun media cetak seperti koran sudah pasti bukan suatu hal yang baru bagi kita. Namun, tau kah kalian berita yang kalian baca menggiring opini kalian? Berita yang dibagikan oleh media berita sudah melalui tahap "Pembingkaian" oleh editor, sehingga berita yang kita baca menjadi terarah pada suatu hal yang media inginkan. Jadi? Berita itu jadi berita yang tidak benar?
Pembingkaian atau biasa disebut "framing" adalah suatu teknik dalam berkomunikasi dimana sebuah informasi di sampaikan dengan perspektif pembicara. Framing bukanlah suatu hal yang menyalahi aturan atau undang-undang yang berlaku, artinya melakukan framing tidak dapat dikatakan sebagai hoax atau berita bohong. Walaupun begitu, teradapat beberapa hal yang harus kita cermati sebagai pembaca.
Framing tidak dikatakan sebagai hoax karena framing tidak mengganti fakta yang ada. Framing hanya mengubah cara pandang dari sebuah kejadian atau informasi. Contohnya, fakta mengatakan "Teridentifikasi 5 pelaku pencurian, namun polisi hanya dapat meringkus 3 pelaku", media mem-framing fakta tersebut menjadi "Terjadi sebuah kasus pencurian oleh 5 orang, 2 diantara berhasil melarikan diri dari kejaran polisi". Contoh diatas menunjukan bahwa framing media tidak akan merubah konteks atau isi dari suatu informasi. Berbeda dengan hoax, berita palsu atau hoax yang ditulis oleh media akan benar-benar merubah konteks dari kejadian yang terjadi dilapangan. Contoh dari hoax yang dapat dibuat dari contoh sebelumnya adalah "Terjadi pencurian yang dilakukan oleh 5 pelaku, namun pihak berwajib tidak dapat menangkap pelaku dan masih mencari keberadaan dari pelaku pencurian tersebut." Informasi ini tentu memiliki isi yang berbeda dari fakta yang ada, dimana faktanya 3 orang pelaku berhasil ditangkap.Â
Framing tidak hanya dilakukan dengan perubahan kata saja. Sudut pandang dari suatu kejadian dapat juga diambil dari lokasi kejadian berlangsung. Artinya, ketika terjadi suatu kejadian, pengambilan berita tidak hanya dapat diambil dari sisi korban saja. Media dapat mengambil dari sisi penolong, sisi aturan yang berlaku, ataupun sisi dari penulis sendiri. Sesuai dengan namanya, sudut pandang penolong, berarti media lebih menonjolkan pihak pihak yang terlibat dalam memberi pertolongan, contohnya dari berita bencana, media lebih menyoroti pihak yang memberikan sumbangan seperti uang, sandang, dan papan pada korban.Â
Sudut pandang undang-undang lebih mengutamakan aturan yang menjerat korban ataupun aturan yang dapat dipakai oleh pihak berwajib dalam menjerat pelaku. Contohnya, berita tentang pelaku penyebaran hoax, pada beritanya akan lebih mengarah pada aturan seperti UU ITE dan undang-undang yang berhubungan tentang penyebaran berita bohong.Â
Sedangkan pada sudut pandang penulis, menekankan pada pendapat penulis terhadap suatu kejadian. Contohnya pada berita pemerkosaan, berita yang tertulis biasanya mengandung pendapat penulis mengenai moral, perkiraaan alasan terjadinya pemerkosaan, dan hal hal yang belum tentu dirasakan ataupun dipikirkan pelaku maupun korban.Â
Perbedaan ini dengan berita hoax terletak pada unsur moral dan filsuf yang dimasukan pada berita. Berita yang menggunakan sudut pandang dari penulis biasanya berisi moral-moral yang dihubungkan dengan kejadian, sedangkan hoax berisi berita yang berbeda dari fakta dilapangan. Jadi, apa gunanya framing?
Menggiring opini adalah dapat menjadi salah satu dari tujuan pem-framingan. Bagiamana caranya? Salah satu caranya adalah dengan merubah perspektif kita menjadi negatif, seperti mengganti kata dengan kata-kata yang bernuansa sedih dan membangkitkan empati kita. Seperti kata "hidup" menjadi "meninggal", "korban mengalami luka-luka" menjadi "terdapat korban yang kehilangan jari telunjuknya dan kakinya". Kata-kata tersebut tidak memiliki dampak bagi beberapa orang, namun, bagi seseorang yang memiliki rasa empati lebih, dia pasti akan merasakan alur kesedihan, kesakitan, dan duka yang dirasakan oleh korban yang ada didalam berita tersebut.
Perubahan sudut pandang juga ditunjukan sebagai ciri khas suatu media. Terdapat media-media berita yang memberikan ciri khas dari berita yang disebarkannya. Terdapat media yang lebih menonjolkan dari sisi positif dari suatu kejadian, fokus pada korban, dan berbagai sudut pandang lainnya. Hal ini tentu ditunjukan agar pembaca yaitu kita sebagai masyarakat dapat memilih bacaan yang sesuai dengan minat kita. Ketika kita lebih menyukai hal yang terjadi pada korban dan luka seperti apa yang diterima korban maka kita hanya perlu membaca media berita yang fokus pada pendeskrisian korban.
Framing sebenarnya bukanlah hal yang buruk. Kita sebagai pembaca memerlukan berbagai sudut pandang dari media agar tidak hanya memandang suatu kejadian dari satu sisi saja. Namun, ketika suatu media menyamarkan framing menjadi suatu berita hoax, hal tersebut tentu sangat menyulitkan masyarakat dalam memahami suatu kejadian. Hal tersebut dikarenakan, pembanding berita yang kita gunakan berbeda dengan berita yang kita baca pada media pertama. Kejadian tersebut tentu akan menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat yang membaca, berita mana yang benar?Â
Oleh karena itu, kita sebagai pembaca tidak dapat hanya membaca suatu berita dari 2 atau 3 media saja, terkadang kita perlu membaca di 5 atau lebih media agar mendapat berita yang faktual. Mari kita bersama cermat dalam membaca berita, agar kita tidak terjebak dalam ilusi framing dan hoax dari media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H