Pernah tidak terbesit dari mana koorporasi besar seperti Google, Amazon, Meta, Apple, Microsoft (GAMAM), Facebook, Instagram, dan TikTok memperoleh keuntungan?
Semenjak pandemi melanda dunia, banyak perusahaan mulai melirik teknologi digital untuk memasarkan produk-produknya. Dari sinilah pelaku usaha dan korporasi mulai memanfaatkan apa yang dikenal dengan istilah data untuk menyasar konsumen.
Dengan cepatnya perkembangan teknologi serta pesatnya pasar digital, isu-isu seperti kesenjangan serta kolonialisme digital bermunculan.
Hal tersebut tak lepas dari permasalahan seperti monopoli data dan tentunya masalah akses internet yang belum merata sehingga terkesan ada persaingan usaha yang tidak sehat.
UNCTAD dalam laporannya menyebutkan, perkembangan ekonomi digital tidak dapat ditanggapi dengan perlakuan yang sama dengan ekonomi konvensional sebab pelaku dan pasar kedua sistem ekonomi tersebut sangat berbeda karakternya.
GAMAM contohnya, merupakan korporasi raksasa yang menguasai hampir semua data digital dan jarigan internet dunia termasuk periklanan, search engine, sampai kekayaan intelektual sehingga posisi mereka yang dominan ini sering membuat banyak negara kesulitan menghadapi sengketa digital saat berhadapan dengan mereka.
Sehingga, diperlukan respon yang sesuai ketika dikemudian hari terjadi sengketa karena persaingan usaha di ranah digital yang tidak sehat.
Akses Terhadap Data dan Penguasaan Jaringan
Tahun 2021, pasar digital Indonesia menembus angka 168 juta konsumen dibarengi dengan lahirnya perusahaan-perusahaan rintisan digital yang mencakup berbagai sektor usaha sehingga pasar digital menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelaku usaha.