Data tahun 2017 menunjukkan, untuk melihat terumbu karang, jumlah pengunjung bisa mencapai 400-1000 orang/ponton padahal kapasitas optimum menurut Bato et al (2013) untuk kegiatan snorkeling, diving dan rekreasi pantai harusnya kurang dari 250 orang/hari. Dengan kata lain, jumlah pengunjung sudah melebihi daya dukung kawasan.
Melihat permasalahan tadi, bukan berarti pemerintah kabupaten dan propinsi tidak melakukan langkah-langkah antisipasi ya.
Untuk mengatasi kerusakan terumbu karang, beberapa langkah yang diambil pemerintah setempat diantaranya melibatkan desa adat, pengaturan zonasi tentang lokasi penyelaman, pemasangan papan informasi, rambu suar, dan himbauan pemasangan jangkar serta pengaturan lokasi ponton bergerak.
Harapannya bukan saja pemerintah dan pelaku usaha pariwisata saja yang berusaha menjaga keberlanjutan terumbu karang tapi juga wisatawan. Nah, berwisata berarti ada pengeluaran untuk membayar jasa, tapi bukan berarti karena sudah mengeluarkan uang lalu pembeli adalah raja dan seenaknya merusak terumbu karang yang sudah capek-capek dijaga oleh masyarakat lokal.
Wisatawan punya tanggung jawab moral untuk menjaga kebersihan, cermat dalam memilih perlengkapan MCK dan punya kesadaran untuk kelestarian lingkungan. Dengan demikian, kehadiran wisatawan membantu ekonomi lokal dan bersama menjaga kehidupan terumbu karang, sehingga kehidupan terumbu karang ini dapat beriringan dengan aktivitas ekowisata bahari di Indonesia.
Semoga Karangku TIDAK Bernasib Malang.., Semoga.
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H