Kejamnya netizen Indonesia, begitulah kira-kira ungkapan hati Kaharuddin ketika tahu dirinya digempur habis-habisan oleh netizen.
"Misalkan di orde lama, kita peroleh kebebasan tapi kesejahteraan tidak. Orde baru kita peroleh yang namanya kebebasan, kesejahteraan kita punya. Hari ini yang ingin kita (mahasiswa) tanyakan adalah apakah kita peroleh kesejahteraan? Apakah kita peroleh kebebasan?" (link berita)
Kutipan di atas adalah pernyataan seorang aktivis mahasiswa pada acara talkshow satu stasiun televisi. Penonton acara itu dibuat greget dengan pernyataannya.
Sebagai generasi Z seharusnya dia menguasai dan mengetahui segala informasi tentang Orde Baru yang dikomentarinya. Dia lahir dan tumbuh dalam peradaban teknologi yang canggih sehingga tidak mungkin sebelum jadi narasumber, pengetahuan dasar itu tidak diketahuinya.
Kelihatannya ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan sang aktivis "kelabakan" dikejar-kejar host acara talkshow tersebut.
Pertama, host acara talkshow. Siapa yang tidak kenal Pak Hotman Paris, salah satu pengacara beken, cool, nyentrik dan terpandang di Indonesia ini ? semua yang mengenal beliau pasti mengetahui kharisma sang pengacara.Â
Acara yang dipandunya seolah-olah seperti suasana ruang persidangan sehingga sekalipun dipandu dengan santai, tetapi pertanyaan dan cara "mengejar" untuk mengulik lebih dalam informasi dari narsumber membuat siapa saja kelabakan, apalagi bagi narasumber yang untuk pertama kali diundang dalam acara tersebut.
Dari pertanyaan yang disampaikan Hotman, terlihat sang host sangat getol mengejar untuk mendapatkan poin jawaban yang diinginkan. Sama seperti jika beradu argumen di pengadilan. Mungkin Kharisma, cara sang host melontarkan pertanyaan dan berusaha mem-follow up pertanyaannya inilah yang membuat Kaharuddin tanpa sadar mengeluarkan pernyataan tersebut.
Kedua, sama seperti waktu Pak Menko Polhukam menanyakan seorang mahasiswa tentang Omnibus law. "Anda tahu tidak apa itu Omnibus Law ?", sang mahasiswa betul-betul tidak paham, malah melebar jawabannya sehingga langsung dijawab dan dijelaskan sendiri oleh Pak Mahfud.
Maksudnya, mahasiswa tersebut tidak menguasai apa yang akan disampaikan. Terkesan latah atau ikut-ikutan tanpa paham betul materi yang disampaikan. Sedikit berbeda dengan Kaharuddin, mungkin dia menguasai tuntutan yang disampaikan saat demo kemarin tetapi salahnya ketika bicara mengenai kebebasan pada saat Orde Baru, aktivis mahasiswa itu terlihat tidak paham sehingga langsung "ditolong" oleh narasumber lain untuk meluruskan pernyataan Kaharuddin.
Ketiga, Demam panggung dan persiapan yang kurang. Semua orang pasti mengalami demam panggung, bahkan ada yang beberapa kali tampil baru terbiasa dengan keadaan. Hal ini bisa dipahami sebab umum terjadi. Demam panggung yang dialami Kaharuddin, bisa jadi bukan karena kurang paham tuntutan demo, tapi karena sebagai aktivis, tampil dan diliput salah satu media besar nasional, mungkin baru pertama kali dialami sehingga serangan demam panggung membuatnya cukup kerepotan untuk menguasai dan beradaptasi dengan keadaan. Selain itu penting bahwa informasi-informasi mendasar atau pengetahuan dasar tentang sejarah demokrasi dikuasai, apalagi menyandang status mahasiswa. Lucu saja jika sebagai aktivis mahasiswa, tidak paham sejarah perjuangan para pendahulunya yang dulu menumbangkan penguasa 32 tahun.
Akan tetapi sebagai seorang kaum intelektual, Kaharuddin patut diapresiasi sekalipun salah mengeluarkan pernyataan, tetapi kehadirannya dalam acara tersebut menunjukkan bahwa dia siap berdebat dan adu data jika diperlukan untuk mempertahankan argumen yang sudah dipersiapkannya bersama tim BEM Seluruh Indonesia.
Sebagai penutup ada pepatah yang menyatakan bahwa Buku adalah Jendela Dunia, dan Membaca Adalah Kuncinya. Jika sekarang, segala sesuatu dapat diperoleh dengan mudah lewat gawai dan semua perangkat elektronik canggih, budaya membaca itu tidak boleh hilang.
Baca dan kuasai semua materi sebelum beradu argumen adalah langkah yang bijak agar apa yang disampaikan, sekalipun terbatah misalnya, namun ada poin-poin penting yang bisa ditangkap dari sebuah interaksi percakapan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H