"In Indonesia, every local society has a certain name of their meal traditions. Let say Makan Patita in Maluku, Megibung in Bali and Lombok, Makan Basamo in West Sumatera, etc" (Souisa)
Indonesia memang unik, beragam suku membuatnya kaya tradisi, adat, dan budaya. Keunikan ini juga merambah ke dalam kebiasaan berinteraksi diantara masyarakatnya.Â
Percaya atau tidak, salah satu cara berinteraksi sosial adalah dengan makan bersama entah untuk selebrasi ulang tahun, farewell party, wisuda, syukuran ulang tahun dan sebagainya, merupakan cara membangun koneksi, mempererat ikatan dan memelihara ikatan persaudaraan ditengah beragamnya budaya.
Untuk itulah dalam tulisannya Yiengprugsawan et al (2015) menyatakan bahwa makan merupakan bagian terpenting dari interaksi sosial sehari-hari.
Karena makan bersama adalah bagian dari interaksi sosial tersebut, sehingga tentunya makan bersama memiliki keterkaitan dengan tradisi setiap suku yang ada di Indonesia sekalipun memiliki penamaan yang berbeda-beda selain itu tradisi makan bersama ini juga merupakan bagian terpenting yang tidak bisa dilepaskan dalam rangkaian atau proses ritual adat mereka seperti masyarakat di Negeri Oma di Pulau Haruku, Maluku Tengah.
Makan Patita Soa dalam Pandangan Masyarakat Negeri Oma
Makan patita Soa dilakukan pada waktu tertentu, tidak seperti makan patita pada umumnya yang dilakukan ketika merayakan hari ulang tahun kota, acara 17-an, Pelantikan Raja Negeri, dan Upacara Panas Pela.Â
Makan patita Soa di Negeri Oma ini mengandung unsur adat dan dilakukan sendiri oleh cabang keturunan yang dikenal dengan istilah Soa selain itu rangkaian acara ini dibuat dalam suatu upacara adat sehingga menambah kesan sakral.
Pelaksanaan Makan Patita Soa Negeri Oma
Proses makan patita soa ini dibagi menjadi 3 tahapan diantaranya:
Pertama, tahapan persiapan dimulai dengan mengadakan pertemuan untuk menentukan waktu pelaksanaan yang bertempat di rumah tua atau rumah soa.
Pengertian rumah tua di sini bukanlah dalam arti yang sesungguhnya, tetapi biasanya merupakan rumah yang dimiliki orantua (rumah masa kecil), juga bisa diartikan rumah dari kakak pertama atau turunan pertama dari satu keluarga atau mata rumah. Rumah tua umumnya dianggap sebagai rumah dimana tempat menghabiskan masa kecil sebelum akhirnya keluar dari rumah tersebut untuk membangun rumah tangga baru.
Setelah disetuji waktu pelaksanaannya, tarian cakalele akan dipentaskan terlebih dulu sebelum dimulai acara makan patita itu. Setiap orang dalam soa itu juga akan memberikan bagiannya dengan sukarela entah berupa uang untuk membeli bahan-bahan makanan, bumbu dan lainnya, bisa juga dalam bentuk barang.
Selanjutnya adalah prosesi adat bertempat di Baileo Kotayasa yang merupakan rumah adat masyarakat Negeri Oma. Sudah bukan rahasia umum bahwa Baileo merupakan rumah adat Maluku tetapi Baileo ini bukan hanya sebatas rumah, tetapi  diyakini menjadi tempat kumpul roh para leluhur atau tete-nene moyang untuk menjaga, dan melindungi anak-cucu keturunannya.
Malam sebelum pelaksanaan makan patita, Bapa lima-lima akan memimpin doa pergumulan agar pelaksanaan makan patita besok berjalan dengan lancar tanpa ada halangan yang berarti. Dalam prosesi ini ada benda-benda yang diikut sertakan seperti tempat sirih-pinang simbol pengikat kekeluargaan dan sopi simbol perekat persekutuan (Matitaputty dan Masinay, 2020).
Kedua, tahap pelaksanaan diawali dengan kesibukan om (paman) dan tanta (tante) menyiapkan makanan, meja putih panjang (lesa) serta bangku untuk nantinya ditempati ponakan-ponakan mereka, begitupun sebaliknya ketika om dan tanta menjadi orang yang dijamu, maka para ponakan akan sibuk untuk menyiapkan segala perlengkapan dan makanan.
Setelah segalanya telah siap, peserta yang akan mengikuti acara makan patita ini akan berkumpul di Baileo kemudian  tepat jam 15,00 WIT acara dimulai dengan diawali tarian perang cakalele. Sementara busana yang dipakai oleh peserta makan patita adalah baju cele baju bercorak kotak-kotak berwarna cerah yang menggambarkan semangat, opitimisme, dan kegembiraan.
Setelah tarian selesai, para orangtua (om/paman) menjemput anak-anak (keponakan) dengan mendendangkan nyanyian (kapata) dan diiringi alunan tifa. Setibanya di meja makan, para ponakan dipersilahkan duduk mengelilingi meja dan sebelum menikmati makanan yang disiapkan, pendeta akan memimpin doa makan terlebih dulu, setelah itu wejangan diberikan kepada anak-anak oleh pemimpin soa.
Suapan pertama dari om dilakukan kepada keponakannya suapan ini disebut mara/marei. Suapan ini bermakna cinta kasih yang besar dari om kepada semua keponakannya dalam soa tersebut tanpa membeda-bedakan.Â
Suapan ini juga menggambarkan ikatan kuat antara orangtua dan anak sehingga dimana saja anak-anak berada, perhatian, pantauan dan kasih sayang orangtua selalu ada untuk mereka. Suapan ini menjadi harapan bahwa kelak mereka tidak akan melupakan darimana asal mereka dan tidak melupakan sesama saudaranya.
Makna Mendalam dari Makan Patita Soa
Masyarakat Maluku pada umumnya mengikuti tradisi patriarki dimana marga suami akan menjadi marga istri ketika menikah maka saat anak-anak mereka lahir marga ayah akan menjadi marga anak-anak. Sehingga anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan diterima seutuhnya dari salah satu mata rumah dalam soa yang ada di negeri atau desa di Maluku pada umumnya.
Saat leluhur melakukan tradisi makan patita mereka menyadari betul bahwa tradisi ini menjadi wahana ikatan persaudaraan dalam soa. Meja panjang (lesa) menjadi lambang ikatan persaudaraan.Â
Meja untuk masyarakat Maluku bukan hanya sebagai tempat melangsukan makan bersama tetapi lebih dari itu, di meja makanlah orangtua dan anak duduk bersama, mensyukuri berkat Tuhan lewat makanan yang tersedia selain itu di meja makan pula nasihat-nasihat diberikan kepada anak-anak.Â
Bahkan dalam beberapa keluarga, didapati bahwa sebesar apapun kejengkelan dan semarah apapun orangtua kepada anak, di meja makanlah amarah orantua akan berubah menjadi teguran dan nasihat yang lembut tanpa melukai hati sang anak.
Untuk masyarakat Maluku, setiap rumah pasti memiliki meja makan dan meja sombayang. Meja makan dan meja sombayang biasanya ditemukan piring kecil yang fungsinya berbeda-beda. Piring kecil di meja somabayang berfungsi sebagai piring natsar yang ditutupi kain. Dalam piring natsar ini berisikan uang persembahan yang nantinya akan diserahkan ke gereja.Â
Saat keluarga memiliki pergumulan peting, doa menjadi dasar yang kuat untuk meminta penyertaan Tuhan melewati pergumulan, sehingga saat pergumulan itu bisa dilewati maka persembahan yang ada di piring natsar dibawa ke gereja sebagai persembahan melambangkan ungkapan syukur atas penyertaan Tuhan.Â
Sementara di meja makan, piring kecil akan berisi garam dan cabai atau cili. Cili melambangkan kerasnya kehidupan.Â
Pedasnya cili bermakna untuk mendapatkan makan dibutuhkan kerja keras dan usaha yang besar sementara garam berfungsi sebagai pemberi rasa dalam hidup bersaudara.Â
Artinya bahwa jika ada keluarga yang mengalami kesusahan, kita wajib untuk menolong seperti istilah sagu salempeng pata dua (satu lempeng sagu dibagi dua) yang berarti saat kakak dapat menikmati makanan atau berkat Tuhan, jangan melupakan adik atau saudara yang lain. Sehingga tradisi ini bukan sebatas makan bersama saja tapi merupakan bentuk pemaknaan nilai-nilai hidup persaudaraan.Â
Sedangkan makna suapan pertama yang diberikan om atau paman kepada anak (keponakan) menggambarkan konsep ale rasa beta rasa (anda rasa, sayapun demikian) artinya saat susah atau senang, bukan hanya ditanggung sendiri tapi juga dirasa dan ditanggung bersama.Â
Sementara kain putih yang menjadi alas lesa melambangkan ketulusan dan kesucian seorang paman atau om menerima dan menyambut anak-anak (keponakan-keponakan) dalam soa, begitu juga dengan tarian cakalele saat pertama ditarikan menyambut anak-anak atau keponakan, perlambang mereka disambut dengan sukacita dan dengan tangan terbuka (Matitaputty dan Masinay, 2020)
Akhir-akhir ini kita disuguhi tontonan-tontonan yang mengandung kekerasan, fitnahan, tuduhan, bahkan pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan budaya, adat, dan tradisi Indonesia oleh banyak pihak yang ingin membenturkan agama dan tradisi yang sudah ada jauh-jauh sebelum agama resmi yang diakui negara masuk dan menyebarkan ajarannya.Â
Mereka lupa bahwa pada saat agama-agama itu masuk, budaya adalah cara terbaik untuk menyebarkan agama. Akulturasi agama dan budaya membuat sehingga keenam agama yang diakui negara ini bisa bertahan sampai sekarang. Banggalah dengan budaya Indonesia, masa negara tetangga saja merasa dan mengkalim budaya kita, sementara kita sendiri malah mengikuti bahkan mencemooh budaya kita sendiri.?
Referensi:Â
Prosesi Seremonial dan Makna Makan Patita di Negeri Oma - Maluku
Health, Happiness and Eating Together: What Can a Large Thai Cohort Study Tell Us?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI