Pasokan oksigen yang dihirup makhluk hidup 80 persennya berasal dari laut dan yang berperan dalam proses tersebut adalah fitoplankton karena oksigen dihasilkan dari aktivitas fotosintesisnya.
Oksigen yang dihasilkan kemudian dimanfaatkan untuk respirasi makhluk hidup akan tetapi karena faktor perubahan iklim, plankton menjadi sensitif serta adanya daya dukung lingkungan menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut di dalam laut. Penurunan ini disebut deoksigenasi.
Laut Kesulitan Bernapas
Lebih kurang 71% permukaan bumi ditutup oleh lautan dan selain menyediakan sumber makanan, laut juga menyediakan oksigen untuk seluruh makhluk hidup akan tetapi sejak pertengahan abad ke 20 diperkirakan lautan mengalami kehilangan 1-2 persen persediaan oksigen (Limburg, 2020).
Kehilangan ini adalah hasil dari peningkatan suhu dan aliran nutrisi dari kawasan pemukiman, pertanian, industri, yang terbawa aliran air sampai ke laut.
Aliran oksigen di laut dipengaruhi oleh proses-proses fisik, kimia, dan biologi dimana ketika terjadi perubahan iklim, stratifikasi kolom air meningkat dan mengurangi kelarutan oksigen di air laut sehingga mendorong deoksigenasi di lautan.
Secara bersamaan perairan sekitar pantai dipenuhi oleh limbah yang mengandung banyak nutrisi menyebabkan eutrofikasi atau pengayaan nutrisi dan bahan organik sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen.
Dengan kata lain limbah yang kita hasilkan, serta meningkatnya suhu akibat perubahan iklim, menyebabkan kadar oksigen yang larut di dalam air rendah mengakibatkan organisme laut mengalami kekurangan oksigen dan kematian jaringan atau hipoksia.
Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Deoksigenasi
Ketika laut menjadi tempat terakhir dari "pembuangan" limbah, laut menjadi kaya akan nutrisi yang terkandung di dalam limbah sehingga pertumbuhan beberapa organisme menjadi sangat cepat, misalnya algae yang memanfaatkan nutrisi terutama nitrogen untuk tumbuh dan berkembang kemudian mati dan "bangkainya" mengalami perombakan oleh bakteri atau mikroba pengurai. Mikroba kemudian akan mendekomposisi algae dan memanfaatkan oksigen yang ada selama proses tersebut.
Selain faktor tersedia nutrisi dalam limbah ada juga pengaruh iklim seperti yang sudah disinggung sebelumnya. Lantas hubungannya deoksigenasi dengan iklim apa?Â
Jadi perubahan iklim sangat memengaruhi deoksigenasi sebab ada hubungan antara sifat air secara fisika, respirasi mikroba, respirasi hewan laut dan suhu. Jika di darat oksigen bebas dimanfaatkan oleh makhluk hidup, di laut ada serangkaian proses untuk membuat oksigen menjadi larut dalam air agar dapat dimanfaatkan.
Kenaikan suhu air laut menyebabkan dua hal yaitu penurunan densitas dan kadar oksigen terlarut. Densitas berkaitan dengan arus laut itu sendiri misalnya saat terjadi perbedaan pemanasan di permuakaan laut arus laut yang dihasilkan akan sangat besar.
Sementara meningkatnya suhu air akan menurunkan kemampuan air untuk mengikat oksigen, sehingga tingkat kejenuhan oksigen di dalam air juga akan menurun.
Peningkatan suhu juga akan mempercepat laju respirasi dan dengan demikian laju pengunaan oksigen meningkat. Masalahnya ketika konsumsi oksigen tadi melebihi pengisian melalui fotosintesis dan pencampuran kolom air maka akan terjadi kondisi yang disebut hipoksia.
Dengan kata lain, saat air laut menghangat oksigen terlarut rendah sementara respirasi organisme meningkat akibatnya tubuh organisme kekurangan oksigen untuk menyelesaikan proses-proses fisiologisnya.
Masih ingat kasus kematian ribuan ikan di Ancol beberapa tahun silam? Menurut LIPI penyebabnya karena hipoksia tersebut.
Itulah mengapa isu perubahan iklim ini menjadi perhatian semua pihak sebab tanpa disadari perubahan iklim berdampak pada kelangsungan hidup beberapa spesies.
Efek Deoksigenasi bagi Kelangsungan Ekosistem Laut
Fungsi kehidupan atau fungsi biologi sangat dipengaruhi oleh keadaan oksigen di dalam tubuh begitu pun untuk organisme laut atau perairan. Saat oksigen terlarut rendah, beberapa proses mengalami perlambatan seperti reproduksi, pertumbuhan, dan kerentanan terhadap serangan penyakit.Â
Memang betul bahwa beberapa organisme laut mampu beradaptasi dengan kondisi kekurangan oksigen dan bermetabolisme secara anaerob, tetapi metabolisme dengan memanfaatkan oksigen jauh lebih efisien menghasilkan energi dibanding anaerob.
Kondisi deoksigensi ini menyebabkan organisme yang tidak mampu beradaptasi dengan kondisi kekurangan oksigen, termasuk yang dibudidayakan, tambak, dan jenis budidaya laut lainnya akan lemas atau bahkan mati. Selain itu kondisi ini dapat mengganggu jaringan makanan yang sudah ada.
Kondisi hipoksia akibat kekurangan oksigen juga berdampak pada rusaknya terumbu karang, dimana sebagai organisme laut, karang sangat sensitif terhadap oksigen dan suhu. Peristiwa pemutihan karang adalah salah satu dampak dari kekurangan oksigen yang terjadi di laut.
Iklim yang menghangat sangat terlihat dampaknya di daerah pesisir, saat dulu lamun masih dapat kita temui ketika air laut surut, saat ini sudah sangat jarang ditemui padahal lamun berperan dalam produksi oksigen sehingga ketika hilang kualitas tempat hidup atau habitat juga menurun.
Pada akhirnya pekerjaan rumah paling berat yang dihadapi oleh kita manusia adalah menurunkan gas rumah kaca sebab kemungkinan sebagai negara yang memiliki banyak daerah pesisir, Indonesia akan merasakan dampak deoksigenasi untuk itu diperlukan perencanaan yang adaptif untuk menilai serta menangani perubahan yang terjadi.
Referensi :
 World's Biggest Oxygen Producers Living in Swirling Ocean Waters
 Ocean Deoxygenation: A Primer.
Deoxygenation of the Baltic Sea during the last century.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H