Peristiwa yang menggemparkan dunia di tahun 1995 dimana untuk pertama kali Indonesia memiliki kemampuan menciptakan pesawat turbopop dengan teknologi mutakhir pada zamannya dan diprediksi kecanggihan teknologi ini mampu bertahan selama 30 tahun ke depan.
Peristiwa ini menandai era baru dalam industri penerbangan dalam negeri. Berkat tangan dingin seorang cendekiawan dan negarawan hebat Eyang Habibie.Â
Saat diwawancarai di salah satu stasiun televisi, ketika ditanya apa falsafah hidupnya, beliau menjawab hidup ini seperti mengayuh sepeda. Kalau berhenti dikayuh, tujuan atau goalmu tidak tercapai. Kira-kira begitu pemahamannya. Jadi, orang yang tetap konsisten berjuang dalam hidup untuk meraih cita-citanya akan memetik buah dari jerih payah yang dilakukannya.
Kekonsistenan beliau dalam dunia dirgantara tanah air tidak termakan usia. Bahkan disaat-saat usia senjanya, beliau masih berkontribusi dalam dunia dirgantara dengan proyek R-80. Hanya saja ada pertimbangan tertentu yang menyebabkan proyek ini dicoret.
Selain imuwan, Habibie juga merupakan seorang negarawan yang sejati. Sebagai Presiden RI ke-3, beliau paham betul bagaimana menempatkan diri, tidak merasa menggurui junior-juniornya, tetapi terpanggil kija dibutuhkan sarannya. Tidak semua orang memiliki sikap kenegarawan seperti beliau.
Selama pemerintahan beliau, boleh dikatakan merupakan bulan-bulanan lawan politik. Banyak orang mudah menunjuk jari kepada beliau. Dicemooh dan dihujat, tapi dibalas dengan senyum dan ketulusan hati serta prestasi. Tapi begitulah manusia yang gampang melihat selumbar di mata saudara sedangkan balok di mata sendiri tidak dilihat.Â
Ketegaran dari Habibie tak lepas dari peranan pendampingnya. Kayakny Bu Ainun merupakan wanita yang sangat bahagia semasa hidup dengan Pak Habibie. Kisah mereka itu yang bikin kaum muda klepek-klepek jadi betul kalau cinta mereka melukiskan sejarah.
Kelembutan Ibu mampu manandingi kecerdasan sang Habibie. Jika membayangkan peristiwa Sidang Umum 1999 dan penolakan pertanggungjawaban Presiden Habibie waktu itu, tentu ada peran dari Ibu yang menenangkan suasana hati Pak Habibie. Sekalipun riuh dengan teriakan yang tidak etis saat itu, mereka berdua bisa keluar dari gedung MPR dengan kepala tegak.