Disebut orang kaya karena sebagai tuan tanah, mereka memiliki petuanan yang banyak di kampung tersebut, yang diwariskan turun-temurun selain itu, untuk beberapa desa di KKT, orang kaya juga memiliki benda-benda pusaka, warisan turun-temurun dari tete-nene moyang.Â
Pada zaman itu, orang kaya ini semacam orang bijak, yang keputusannya sangat berperan dalam masyarakat. Beberapa wilayah seperti di Ambon dan wilayah lain di Maluku, umumnya orang kaya atau tuan tanah ini mendapat sebutan raja negeri.
Nah setelah syaratnya disiapkan, sirih, pinang, rokok putih atau tabaku sek dan sumbat diletakan di dalam piring, kemudian tuan tanah akan mengucapkan kata-kata dalam bahasa daerah pada gelas yang berisi sopi.
Selanjutnya sopi akan ditumpahkan ke tanah, sisanya akan diberikan kepada tamu untuk diminum. Bagi yang tidak meminum alkohol, bisa mencelupkan jari ke dalam gelas, kemudian ditempelkan ke bibir atau mengunyah sirih pinang tadi.
Fungsi dari tikang tanah ini, adalah untuk mengenalkan tamu kepada leluhur, karena di beberapa wilayah petuanan, masih terdapat tempat-tempat keramat yang dianggap tempatnya para leluhur. Sehingga untuk menghindar dari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi kepada orang baru, upacara ini harus dilakukan.
Falsafah Ngri Mase
Sudah pasti dalam kehidupan bermasyarakat tentu ada konflik internal, akibat perbedaan pendapat atau hal lainnya. Itu merupakan hal yang wajar terjadi karena dinamisnya masyarakat. Beberapa wilayah memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan persoalan ini, begitupun masyarakat Adaut. Mereka punya Ngri Mase.
Moto atau falsafah Ngri Mase adalah simbol musyawarah masyarakat setempat. Falsafah ini menggambarkan semangat masyarakat desa untuk mengutamakan perdamaian, dan keamanan dalam hubungan antar masyarakat.Â
Sebagai Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Australia, perairan sekitar Selaru kaya akan hasil laut, hal ini dimungkinkan karena pertemuan arus dari dua wilayah yang berbeda sehingga merupakan habitat yang cocok untuk biota laut. Arus yang hangat menyebabkan makanan ikan dan hasil laut lainnya berlimpah.
Potensi kekayaan ini menjadi berkah sekaligus musibah untuk para nelayan tradisional, jika dibandingkan dengan nelayan-nelayan luar yang menggunakan kapal-kapal besar untuk menangkap ikan. Dengan peralatan yang dimiliki, bisa dibayangkan berapa ton yang didapat oleh mereka, dibanding nelayan tradisional.Â
Sehingga menjadi ironi, ketika tinggal di lumbung ikan, harga ikan malah meroket. Hal ini diperparah dengan rusaknya terumbu karang akibat ekploitasi yang berlebih sehingga untuk mencegah hal tersebut, pemerintah desa dan beberapa tokoh adat serta agama memikirkan untuk memberlakukan sasi terhadap laut mereka.