Pertama-tama secara sadar dan jujur harus diakui bahwa penulisan ini hanya dari sudut pandang saya, yang sifatnya tidak mutlak sehingga jika ada yang ingin menambahkan untuk melengkapi, dengan sangat terbuka saya menerimanya.Â
Semoga dengan penambahan informasi, khasanah pengetahuan pembaca akan budaya Indonesia semakin diperkaya.
Kali ini saya ingin mengajak pembaca untuk berkunjung sejenak ke Desa Latdalam, Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT). Di Tanimbar sendiri sudah barang tentu umumnya satu desa sudah pasti terdapat satu bahasa daerah yang dituturkan turun temurun dari leluhur.
Namun berbeda dengan desa lainnya di wilayah KKT, Latdalam sendiri memiliki keunikan yaitu dalam satu desa terdapat dua bahasa daerah yang dipergunakan dalam kehidupan masyarakatnya dan bahasa tersebut masih terpelihara dan dituturkan sampai sekarang.Â
Orang Latdalam biasanya menyebutkan wilayah di kampung itu dengan sebutan muka kampung dan blakang kampung. Bahasa yang dituturkan orang muka kampung adalah bahasa Yamdena, sedangkan orang blakang kampung menuturkan bahasa Selaru.Â
Penutur bahasa Selaru, diperkirakan sudah ada sejak terjadi migrasi leluhur dari Pulau Selaru untuk mendiami tempat baru yang sekarang dikenal dengan desa Latdalam ini.
Keunikan lainnya adalah turunan dari masyarakat desa ini memiliki tradisi untuk menamakan anak-anaknya dengan nama tanah (bukan nama sesuai sistem klasifikasi tanah, beda) atau nama kampung atau lazimnya dikenal dengan nama hindu.Â
Tapi nama hindu di sini belum tentu ada hubungan dengan agama Hindu ya. Sedangkan dalam hal pembangunan rumah, pamali jika kerabat dan keluarga tidak diikutsertakan.Â
Fokus tulisan ini akan membahas tentang budaya yang terus dipelihara masyarakat tentang tata cara pendirian rumah, namun sebagai pengantar terlebih dulu saya ingin menjelaskan tentang falsafah dan ikatan kekerabatan masyarakat setempat berikut ini.
Away Eras yang Menyatukan
Kalau Jogja dan masyarakat Jawa pada umumnya mempunyai falsafah hidup Hamemayu Hayuning Bawana, masyarakat Latdalam memiliki falsafah Away Eras apa itu? Falsafah ini mengandung arti kekerabatan yang begitu erat, akrab.Â
Hal ini jika dilihat lebih lanjut disebabkan karena sistem administratif kecil di bawah pemerintahan sebuah desa atau negeri yang disebut Soa. (Reny H. Nendissa, Eksistensi Lembaga Adat.../Jurnal Sasi Vol. 16 No. 4 /2010)
Jadi dalam sistem ini dimulai dari komunitas yang sangat kecil yaitu keluarga (marga) kemudian dari marga ada perkumpulan di atasnya yang disebut mata ruma.
Sistem mata ruma ini terdiri dari beberapa marga yang masih satu darah (dapat dikatakan persekutuan genealogi) selanjutnya dari mata ruma ada Soa. Sehingga Soa merupakan sebuah persekutuan teritorial genealogis di suatu wilayah desa atau negeri.Â
Singkatnya begini mata ruma terdiri dari beberapa marga, sedangkan soa terdiri dari beberapa mata ruma. Dengan adanya sistem ini, ikatan kekerabatan tersebut menjadi sangat kuat.Â
Berdasarkan hubungan tersebut di Latdalam sendiri setahu saya, terbagi menjadi beberapa soa. Untuk muka kampung ada Olinger Otarempun dan Batulelempun Lole, sedangkan blakang kampung ada Mahoak, Anausu, Resa, Rumday, Mahaluruk dan Rumday raya. Selain falsafah ini, ada juga ikatan kekerabatan yang disebut dengan Duan-Lolat.Â
Dalam acara-acara seperti kelahiran, pernikahan, pembangunan rumah dan kematian, sistem Duan-Lolat tidak bisa dipisahkan. Sebagai Lolat, ketika Duan-nya mendirikan rumah, secara sadar akan membawa sopi dan sumbat.Â
Selain itu jika dalam keluarga hubungan adik-kakak kandung, saat saudara laki-laki mendirikan rumah atau menggelar acara besar, menjadi tanggung jawab saudara perempuan untuk membawa bahan makanan seperti umbi-umbian, beras, bumbu dapur, ikan atau babi untuk nantinya dimasak dan dinikmati bersama-sama.
Tata Cara Pendirian Rumah
Hal pertama yang dilakukan setelah semua bahan dan material sudah siap adalah memasang kerangka bangunan, dimana tiang-tiang penopang rangka perlu disiapkan untuk didirikan, nah langkah ini disebut kancing menara rumah.Â
Maksudnya bukan kancing yang ada pada kemeja, tetapi semua tiang yang nanti menjadi penopang utama dan kerangka bumbungan rumah disusun dan diberi tanda atau nomor sehingga ketika disambungkan, sesuai dengan penomoran atau tanda tersebut hal ini dilakukan agar ketika didirikan menara rumah tidak miring atau bengkok.
Proses kancing ini tidak dilakukan di Saumlaki, lokasi dimana rumah itu didirikan, tetapi harus dilakukan di kampung (Latdalam) dianggap pamali jika proses kancing ini tidak dilakukan di kampung.Â
Hal ini dimaksudkan agar semua anggota soa berperan dalam prosesnya. Jadi semacam buah tangan dari keluarga besar untuk sang pemilik.Â
Sebaliknya pemilik rumah menyiapkan bahan makanan untuk nanti dimasak dan disantap bersama. Proses ini tidak memakai sistem bayar upah, karena kekerabatan tersebut.
Selanjutnya menara yang sudah dikancing itu dibongkar kembali dan akan diantar ke lokasi pendirian rumah. Proses pemindahan ini bukan berarti sudah selesai masih banyak proses yang harus dilewati.Â
Setelah sampai di lokasi dilanjutkan dengan ibadah yang dipimpin oleh pendeta. Hal ini dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan agar dalam pengerjaan sampai selesai tidak ada hal buruk yang terjadi.Â
Makna rumah bagi masyarakat bukan hanya sebagai tempat berlindung, tetapi dianggap sebagai berkat anugerah pemberian Tuhan. Karena pada umumnya pembangunan rumah bukan hal yang mudah, ada saja hal yang harus didahulukan, misalnya karena kuliah anak-anak rencana mendirikan rumah-pun ditunda untuk sementara.Â
Setelah selesai prosesi ibadah dan pemberkatan menara, kini saatnya dipancangkan atau didirikan. Nah disini ada terjadi keanehan yang diluar dugaan, jadi dalam keluarga kami (Nanariain) dikenal sebagai tukang kayu dan bangunan.Â
Banyak saudara sepupu, opa, dan bapa-bapa sangat ahli dalam hal kayu dan bangunan jadi dalam pembuatan rumah ini jika ada adik atau sepupu dari ayah saya menjadi mandor bangunan untuk mendirikan rumah, sudah pasti ada kesalahan yang terjadi.Â
Maksudnya begini untuk yang semarga dalam hal ini Nanariain, tidak boleh menjadi mandor untuk mendirikan rumah orang Nanariain juga, jika demikian ada saja kesalahan seperti salah memotong sambungan rumah sehingga yang tadinya sudah diukur pas untuk dipotong, malah menjadi kurang dari ukuran potong (motongnya berlebih jadi tiang sambungannya terlalu pendek).Â
Itu sih yang saya dengar dari percakapan para tetua dalam keluarga yang hadir saat itu.Â
Ketika kaum pria baku sorong bahu mendirikan menara, kaum wanitanya mempersiapkan makan untuk disantap bersama di siang hari, pada saat ini lolat-lolat dari ayah saya berdatangan untuk membawa sopi dan sumbat, begitupun kakaknya dan saudara sepupu perempuan ayah yang lain, mereka membawa tanggungan berupa makanan seperti umbi-umbian, bumbu dapur, beras bahkan ikan ayam serta babi.Â
Sebagai lolat, mereka tahu kewajiban mereka secara adat untuk membalas jasa dari duan mereka. Fungsi duan di sini adalah untuk kas pake pakean ke lolat dalam arti melindungi lolatnya, sehingga sebagai ucapan terima kasih, lolat akan membawa sopi beserta sumbat-nya.Â
Jadi prosesi pendirian atau pemancangan ini dimulai ketika pecah fajar, dimana rangka rumah yang lama dibongkar untuk nantinya di lokasi yang sama didirikan rangka rumah yang baru.Â
Sehingga ketika matahari su tinggi, pekerjaannya sudah hampir rampung, semua orang beristirahat sementara untuk nantinya bersantap siang secara bersama.Â
Saat santap inilah sopi akan diedarkan untuk diminum baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu untuk tante-tante (kakak dan sepupu perempuan ayah) secara kompak mulai melakukan angkosi yaitu semacam gerakan tarian (badendang) dengan pola gerakan tertentu sambil bernyanyi dan berbalasan pantun.Â
Sudah tentu diantara mereka ada yang berbalasan pantun menggunakan bahasa Indonesia tapi berdialek Melayu-Ambon, dan ada juga yang memakai bahasa daerah tinggi sehingga saya pun sulit memahami artinya.Â
Tarian dan nyanyian ini akan dilakukan oleh sebagian perempuan, dan sebagian lagi beberes piring dan gelas yang digunakan untuk makan tadi.Â
Suasana saat itu adalah suasana yang sangat gembira diiringi canda-tawa yang sangat lama tidak saya alami dimana semua keluarga besar dari dua soa yaitu Mahaluruk dan Rumday baik tua, muda, anak-anak di Latdalam bertemu untuk membantu salah satu keluarga mereka yang berhajat.Â
Saat-saat seperti inilah untuk sesama saudara yang belum saling kenal mulai mengenal satu dengan lainnya, kalau generasi tua sudah tentu saling kenal tapi untuk generasi muda yang terpisah satu sama lain di berbagai wilayah Saumlaki merupakan sebuah ajang untuk mulai mengenal saudara mereka.Â
Keunikannya adalah karena ini merupakan tradisi, sudah tentu sistem pemanggilan juga berdasarkan tradisi.Â
Misal ada yang lebih tua umurnya dibanding saya tetapi karena saya adalah Om-nya, jadi harus dipanggil Om. Awalnya kaget tapi dimaklumi sebab itu tuntutan adat kami.
Baku Sorong Bahu;Â Gotong-royong ala Soa Mahaluruk-Rumday Latdalam
Baku sorong bahu merupakan istilah sehari-hari yang bermakna gotong-royong. Istilah ini sering digunakan dikala ada keluarga yang membutuhkan bantuan untuk hajatan yang cukup besar misal dalam hal pembangunan rumah. Mendirikan rumah bukan perkara mudah, butuh bahu dari keluarga besar untuk pekerjaan tersebut.Â
Peristiwa ini adalah peristiwa yang saya alami pada tahun 2018 yang lalu, dimana pada saat itu rumah masa kecil di Saumlaki, dibongkar untuk mendirikan rumah yang baru.Â
Rencana mendirikan rumah ini sudah sangat lama, hanya saja pada saat itu saya dan adik perempuan masih melanjutkan studi di bangku kuliah, sehingga kedua orangtua menunda sampai kami berdua lulus dan wisuda.
Demikian cerita panjang tentang budaya Kancing Rumah ala Soa Mahaluruk-Rumday Latdalam,.
Semoga kita tidak pernah bosan mencintai Tanah Air Indonesia..
Ubilaa Morang ita ditinemun
Ratu Nor kit monuk dedesar
Yesuske yatela..
Beberapa istilah
- Muka kampung : wilayah terdepan dari kampung lamaÂ
- Blakang kampung : wilayah setelah setelah tugu yang memisahkan antara muka dan blakang kampung
- Sopi : sejenis arak tradisional yang disuling dari kelapa atau koli (jenis palem-paleman)
- Sumbat :Â Uang dengan pagu tertentu, biasanya sesuai kemampuan lolat. Tidak ditentukan berapa minimal dan maksimalnya
- Bumbungan :Sebutan untuk kerangka atap
- Kas pake pakean : memakaikan pakaian dalam hal ini tenun. biasanya saat upacara adat pernikahan
- Su tinggi : Matahari kira-kira di atas kepala
- Badendang : gerakan tarian diikuti irama lagu atau nyanyian
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI