Dalam beberapa bulan terakhir, hashtag #TolakRUUPenyiaran telah menjadi sangat populer di media sosial, berbagai organisasi dan individu berbondong-bondong menggalang dukungan untuk menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tagar ini dipicu dari berbagai kalangan yang tidak terima dengan RUU Penyiaran yang dimuat oleh DPR RI. Pasalnya, Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang berlangsung telah menimbulkan banyak kontroversi dan kekhawatiran dari berbagai pihak.
RUU Penyiaran ini dianggap mengancam kebebasan pers dan berpendapat karena beberapa pasal yang dianggap ambigu dan rentan mengkriminalisasi pendapat dan ekspresi. Protes ini ramai disuarakan dengan harapan mampu mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers dan informasi publik akan isu tersebut.
Seruan Aksi Hashtag #TolakRUUPenyiaran
Berbagai organisasi seperti Indonesian Association for Media Development (PPMN) dan Indonesian Journalists Association (PWI) mengadakan kampanye online untuk menolak RUU Penyiaran dengan berbagai postingan dan hashtag yang sama. Berbagai individu lainnya juga mengadakan seruan aksi online menggunakan hashtag #TolakRUUPenyiaran. Mereka menggalang dukungan melalui media sosial, seperti Twitter dan Instagram.
Pemerintah juga mengadakan kampanye online untuk menolak RUU Penyiaran. Seperti REMOTIVI X MALAKA PROJECT yang mengadakan video untuk membahas dampak RUU Penyiaran bagi konten kreator dan penikmatnya, serta menggalang dukungan melalui hashtag #TolakRUUPenyiaran.
Selain seruan aksi online, pada tanggal 14 Mei 2024, Koalisi Jurnalis Indonesia (KJI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengadakan aksi demo tolak RUU Penyiaran di depan Gedung DPR. Aksi ini diikuti oleh berbagai organisasi dan individu yang menolak RUU Penyiaran karena mereka menilai bahwa RUU Penyiaran akan membatasi kebebasan pers, membatasi informasi publik dan mematikan kreativitas para konten kreator.
Dilansir melalui Aliansi Jurnalis Independen, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya Eben Haezer Panca mengungkapkan, dalam RUU Penyiaran ini independensi media terancam. Munculnya pasal bermasalah yang mengekang kebebasan berekspresi berpotensi akan menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif. Seperti tim konten Youtube, podcast, pegiat media sosial dan lain sebagainya. "Kami menuntut dan menyerukan memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan pers. Menyerukan agar seluruh insan pers, pekerja kreatif dan pegiat media sosial di Surabaya khususnya, untuk turut serta menolak RUU Penyiaran ini. Kami percaya bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Untuk itu, kami akan terus mengawal proses legislasi ini dan siap melakukan aksi massa lanjutan jika tuntutan kami tidak dipenuhi," pungkas Eben.
Mereka yang menolak RUU Penyiaran percaya bahwa regulasi yang sesuai harus diperlukan untuk mengatur konten-konten digital, tetapi tidak harus dilakukan dengan cara yang mengancam kebebasan pers, dibungkam, dan mematikan kreativitas. Mereka berpendapat bahwa RUU ini tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan hanya berfokus pada kepentingan pemerintah.
Kontroversi RUU Penyiaran
RUU Penyiaran yang dimuat oleh DPR RI dianggap mengancam kebebasan pers dan berpendapat karena beberapa pasal yang dianggap ambigu dan rentan mengkriminalisasi pendapat dan ekspresi. Pasal 50 Ayat (2) yang mengatur pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dianggap bertentangan dengan prinsip jurnalistik universal dan berpotensi mengancam penegakan hukum.
Pada pasal-pasal terkait alih bahasa belum mengatur bahasa isyarat, dan Pasal 10 (d) menyangkut syarat kondisi "sehat jasmani dan rohani" yang berpotensi mendiskriminasikan penyandang disabilitas. Selain itu, ketiadaan unsur penyandang disabilitas dalam susunan tim pendukung dalam Pasal 11 (I) dan lainnya juga dianggap mengabaikan asas inklusif bagi para kondisi disabilitas.
Melalui Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 17 revisi UU Penyiaran RUU, Penyiaran akan memberikan kewenangan berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI yang selama ini mengawasi TV dan radio akan diperluas untuk mengawasi konten digital. Pada pasal ini nantinya tidak hanya berpotensi mengekang jurnalis, tetapi juga para kreator konten dan pekerja seni karena KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan kelayakan konten di platform-platform digital, baik audio maupun visual. Konten yang mengandung unsur kekerasan, rokok, mistis, narkotika, dan gaya hidup negatif akan disensor lalu mengakibatkan berkurangnya keragaman konten. Rancangan aturan ini juga dapat menghambat akses para korban atas keadilan.