Saya baru saja membaca tulisan salah satu kompasioner yang menceritakan kebingungan sahabatnya. Disitu dituliskan bahwa sahabatnya dibingungkan dengan sudah diterapkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 (UU No. 22/2009). Kebingungannya difokuskan pada Pasal 287 (2) yang menurut penjabarannya adalah mulai sekarang belok kiri boleh langsung (red. belkibolang) tidak diperbolehkan lagi untuk dilakukan.
Sebagai penulis saya ingin mencoba meredam kemarahan penggemar belkibolang yang terlanjur dibakar emosinya oleh hal ini. Bagaimana tidak? Bisa kita bayangkan panjangnya kemacetan yang bertambah di setiap per-empatan maupun per-tigaan padat yang terdapat di Jabodetabek, kemacetan yang biasanya bisa dikurangi oleh tindakan penggemar belkibolang menjadi diharamkan.
Karenanya, mari kita lihat dan telaah pasal tersebut:
UU No. 22/2009 Pasal 287 (2):
Jenis pelanggaran: pengemudi kendaraan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang
dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas (belok ke kiri langsung)
Sanksi : Pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp.250.000.
Kalau kita lihat baik-baik peraturan itu, yang dilarang bukan belkibolangnya, tetapi belkibolang yang melanggar aturan perintah atau larangan. Jadi para penggemar belkibolang masih bisa berlega hati, karena peraturan yang melarang kegemaran mereka itu tidaklah se-menakutkan seperti yang mereka bayangkan. Hanya saja mulai sekarang disaat belok ke kiri mereka harus benar-benar melihat rambu-rambu lalu lintas yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H