Kita hidup di bawah matahari yang sama dan berjalan di bawah bulan yang sama, tetapi mengapa kita tidak bisa hidup dalam persatuan?
~Klaus Meine
Toleransi. Suatu kata yang selalu digaung-gaungkan pada negara multikultural. Berbagai kampanye dilakukan berbagai aktivis telah turun kejalan. Tetapi, bukankah semakin sering hal tersebut dilakukan berarti menandakan kurangnya rasa toleransi di rumah kita ini? Ibaratnya orang yang pelupa harus lebih sering diingatkan akan sesuatu karena ia mudah melupakannya. Sedangkan, orang yang tidak pelupa tidak memerlukannya.Â
Menanggapi hal tersebut Kolese Kanisius mengadakan kegiatan rutin yang bertajuk Ekskursi. Kegiatan ini memfasilitasi siswa Kanisius untuk mengunjungi salah satu institusi keagamaan yaitu Pondok Pesantren. Kegiatan yang berusaha "diselipkan" di tengah kesibukan jenjang akhir dan krusial dalam masa SMA, kelas 12, maka kegiatan ini berarti sangat penting (kan?).Â
Seperti kegiatan pada umumnya, sebelum dilaksanakannya ekskursi ini diadakan sebuah talkshow yang mengundang narasumber dari berbagai tokoh. Ketiga tokoh yang merepresentasikan 3 agama yang diakui di Indonesia, yaitu Banthe Kamsai (Buddha), Inayah Wahid (Islam), dan Matteo (Kristen). Talkshow ini diadakan untuk mendoktrin para siswa Kanisius agar sebelum diterjunkan pada lapangan, para siswa memiliki pandangan seragam yang positif akan perbedaan dari keterangan ketiga narasumber tersebut. Sehingga para siswa memiliki rasa antusiasme dalam menjalani kegiatan di pondok pesantren masing-masing.Â
Kenyataan Tak Selalu Sempurna
Walau sebelum berangkat mayoritas telah memiliki harapan yang positif terhadap kegiatan ekskursi ini, tetapi ternyata pemikiran positif para siswa kembali diuji dalam konon katanya "penjara suci" ini. Sambutan hangat nan meriah dan fasilitas ruang pertemuan di awal rupanya telah menjadi kedok yang cukup membantu mempertahankan pemikiran positif tadi selama kurang lebih 2 jam.Â
Ujian yang sesungguhnya muncul di saat para siswa diperlihatkan tempat tinggal para santri. Disuguhkan dengan aroma yang tidak biasa, menyapa penciuman bertemu seakan berkenalan dengan orang baru. Perasaan asing dan tidak nyaman sudah sewajarnya muncul, rasa ragu dan waspada sudah selayaknya muncul, lagipula itu memang bagian dari insting bertahan hidup manusia.Â
Begitu pun dengan salah satu dari kebutuhan pokok manusia yaitu pangan. Sebuah kombinasi yang baru, rasa, dan tampilan cukup unik yang disajikan menjadi makanan sehari-hari para santri. Ukuran fisik tampaknya tidak membohongi. Nampaknya beberapa siswa dari Kanisius mengalami kesulitan beradaptasi dengan santapan yang "baru" tersebut dan sebagian memilih menghiraukan rasa lapar. Sungguh hebat kekuatan pikiran manusia yang dapat menghilangkan sifat naluriah makhluk hidup.
Bagaimana pun juga 3 hari bukan waktu yang lama, ucap seorang teman yang masih berusaha mempertahankan pemikiran positifnya. Meski bagi yang lain berbeda, waktu merupakan hal yang relatif. Penilaian manusia terhadap waktu berbeda tergantung apa yang mereka lakukan dalam dimensi kurun waktu tertentu. Akankah 3 hari dalam pesantren ini menjadi 3 hari terlama yang dialami para siswa?
Bintang dalam Kabut
Dibalik rasa ironi yang menggebu-gebu nampaknya masih banyak hal yang menciptakan tawa dan kenangan. Kesengsaraan yang dialami bersama ternyata memang memperkuat ikatan persaudaraan antara para santri. Kami sendiri jujur kagum dengan eratnya persaudaraan yang mereka miliki. Wajah tersenyum dan gertakan tawa ria telah menjadi suatu hal mewah yang saya temukan disana. Cukup terkagum bagaimana mereka masih bisa merasakan kebahagiaan terlebih setelah mendengar cerita dari mereka yang mengatakan 80% dari mereka masuk pesantren sebab paksaan dari orang tua.Â
"Ya bagaimana tidak, dengan bermodalkan 800 ribu anda tidak perlu pusing memikirkan pendidikan, makan, dan kebutuhan tersier anak anda", sungguh tawaran yang menggiurkan bukan? Tetapi itu hanyalah pemikiran julid yang sebaiknya tidak pernah terlintas. Tentunya para orang tua menitipkan anak mereka ke pesantren dengan harapan anak mereka menjadi pribadi yang soleha dan taqwa kepada Allah.Â
Saling berbagi cerita dan keluh kesah dalam dua dunia yang berbeda nampaknya menjadi hal yang sangat menyenangkan bagi para santri dan siswa kanisius. Bercerita tentang berbagai hal mulai dari pendidikan, hiburan sebagai anak muda, kegiatan keagamaan, bahkan sampai kenakalan masing-masing. Mengenyangkan rasa penasaran masing-masing tanpa adanya rasa waspada. Dari sinilah toleransi yang digaung-gaungkan itu bisa berawal. Sebab dibanding hanya memberikan kata-kata indah tentang toleransi, hidup berdampingan secara akrab dirasa lebih efektif.Â
"Orang yang minim toleransi pasti sering hidup dalam lingkungan yang homogen sehingga gagap pluralisme."
~ Pandji Pragiwaksono
RefleksiÂ
Manusia memanglah makhluk yang sulit menerima perbedaan. Tetapi hal itu memang alami, setiap makhluk hidup pasti sulit menerima perbedaan. Perasaan asing yang tidak biasa sudah selayaknya muncul. Bahkan semut merah dan semut hitam pun bisa berperang untuk melakukan dominasi. Tetapi kita memiliki akal budi, kita mampu melawan sifat naluriah kita, hal itu yang membedakan manusia dari makhluk yang lain.Â
Maka toleransi ini sendiri merupakan tanda kemajuan berpikir. Maka dari itu orang-orang yang intoleran adalah manusia yang belum bisa lepas dari sifat naluriah mereka. Atau bisa jadi bisa saja mereka memiliki pengalaman yang buruk yang tidak dapat dilupakan dengan mudah dan ada hubungannya dengan ras atau agama tertentu. Bagaimanapun juga kita sudah seharusnya mentoleransi saudara kita yang seperti itu, dari situ lah kita dapat disebut sebagai makhluk yang toleran.
Kegiatan ekskursi ini telah membuka pandangan para siswa Kanisius bahwa setiap agama dengan caranya masing-masing pasti membawa manusia menuju kedekatan rohani dengan  Tuhan. Yang menciptakan perselisihan bukanlah agama tertentu, tetapi sifat naluriah manusia.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H