Mohon tunggu...
Marcello Dinesh Asyela
Marcello Dinesh Asyela Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kekerasan Pada Anak: Kutukan atau Warisan?

11 November 2024   18:30 Diperbarui: 11 November 2024   18:46 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di berbagai belahan dunia, kasus kekerasan terhadap anak terus menjadi permasalahan yang belum teratasi. Baik kekerasan fisik, pelecehan seksual, maupun kekerasan psikologis masih sering terlihat di sekolah, rumah, dan ruang publik. 

Di Indonesia, kekerasan bahkan bisa ditemukan di pada komunitas masyarakat, sekolah, dan  dalam ranah terkecil yaitu rumah tangga. Lingkungan anak seharusnya aman justru menjadi tempat yang penuh ancaman. 

Anak-anak yang mengalami kekerasan memiliki potensi untuk tumbuh dengan luka emosional yang dalam dan berisiko mengulangi pola kekerasan ini ketika mereka dewasa. Fenomena ini adalah siklus yang menyedihkan. Namun, kita bisa menghentikannya bersama untuk kesejahteraan generasi mendatang. 

Beberapa negara telah berhasil mencapai kemajuan yang signifikan dalam melindungi anak-anak dari kekerasan dengan menerapkan hukum yang melarang kekerasan fisik serta melalui kampanye-kampanye sosial yang digaung-gaungkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak buruk dari kekerasan terhadap anak ini.

Di Swedia, contohnya, hukum yang melarang penggunaan hukuman fisik kepada anak telah berhasil menurunkan insiden pelecehan anak secara signifikan sejak diimplementasikan pada tahun 1979. 

Sambil begitu, kebanyakan negara yang kurang tegas dalam hukumnya dan kurang menjalankan program kesadaran yang luas sering mengalami peningkatan kasus kekerasan terhadap anak. Perbandingan ini menunjukkan bahwa hukum yang kuat dan pendidikan masyarakat berperan besar dalam menurunkan kasus kekerasan.

Bayangkanlah seorang anak yang pulang dari sekolah dengan lukanya, disiksa oleh gurunya. Alih-alih memberikan dukungan, orang tuanya malah menganggap hukuman itu sebagai hal yang sah sebagai bentuk disiplin. 

Anak ini tinggal di lingkungan yang sarat dengan tekanan dan kekerasan; ia kemudian mengembangkan keyakinan bahwa kekerasan adalah cara yang lazim untuk mengatasi masalah. 

Pengalaman ini menciptakan luka batin yang dalam, akibatnya, ketika dewasa kelak, ia mungkin mengulang pola yang sama dalam mendidik anak-anaknya. Ilustrasi ini mencerminkan bagaimana siklus kekerasan dapat berlanjut tanpa intervensi yang benar.

Contoh nyata dari aksi yang dapat dilakukan adalah bagaimana upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dilakukan dapat ditemukan dari kampanye global "HeForShe" yang diperkenalkan oleh UN Women pada tahun 2014. Kampanye ini telah sukses dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender dan mengurangi tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia.

Seperti yang kita ketahui juga pada India, program "Childline" memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak anak dan menyediakan layanan untuk melaporkan kekerasan. 

Di Amerika Serikat, program "Nurse-Family Partnership" memberikan dukungan kepada ibu hamil dari keluarga berpenghasilan rendah untuk mengurangi kekerasan terhadap anak. Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa kekerasan adalah sifat alami manusia, sesuatu yang tidak dapat dihindari sepenuhnya. Namun, saya yakin bahwa kekerasan terhadap anak dapat dihentikan dengan kerjasama yang baik.

Masyarakat sudah terbukti mampu mencapai perubahan yang lebih baik, contohnya dengan dihapusnya praktik perbudakan dan larangan mempekerjakan anak di berbagai negara. Dengan kerja sama dan komitmen yang kuat, kita mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.

Kekerasan terhadap anak ibarat bara api yang dilemparkan pada kita dan  harus kita genggam terus menerus. Rasanya semakin lama akan semakin menyakitkan dan memberikan dampak yang buruk pada tangan kita. Terkadang kita memilih untuk melemparkannya pada orang lain agar orang lain merasakan yang juga kita rasakan, kemudian berlanjut dari satu ke yang lain. Akan tetapi kita juga memiliki pilihan untuk melemparkan bara itu ke arah lain agar orang lain tidak merasakan panasnya. Begitu pun dengan kekerasan anak, semuanya tergantung kita untuk menghentikan siklus terkutuk itu.

Namun, dengan usaha pencegahan yang tepat, seperti memiliki alat pemadam api di rumah, kita dapat mengawal dan menghentikan kekerasan sebelum bertambah luas serta merusak generasi berikutnya. Kekerasan terhadap anak seringkali berdampak mendalam pada kesehatan mental dan fisik mereka. 

Anak-anak yang mengalami kekerasan seringkali menunjukkan tanda-tanda trauma seperti ketakutan berlebihan, kesulitan belajar, dan gangguan emosional. Luka fisik mungkin akan sembuh, tetapi dampak psikologisnya dapat bertahan seumur hidup. Mereka menjalani hidup dalam kegelapan rasa takut dan cemas, selalu terjaga terhadap potensi ancaman yang dapat muncul dari orang-orang yang dekat dengan mereka.

Ketakutan ini menghalangi perkembangan sosial dan emosional mereka, sehingga membuat sulit bagi mereka untuk membangun rasa percaya diri dan berinteraksi secara sehat di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun