Pendahuluan
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan masyarakat di setiap sektor pembangunan, termasuk perempuan dan anak, akan selalu berkembang. Perkembangan kebutuhan ini tentunya harus diiringi dengan pelayanan publik yang prima oleh seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan non-ASN di dalam suatu pemerintahan. Saat ini, tentu sudah ada banyak peraturan dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan standar dan kualitas pelayanan publik. Kendati demikian, keberadaan kebijakan dan peraturan tidak lah cukup tanpa adanya implementasi yang nyata. Pelayanan publik hingga kini masih belum optimal (dibuktikan dengan masih adanya permasalahan dan keluhan dari masyarakat). Salah satu penyebab belum optimalnya pelayanan publik adalah korupsi. Di sisi lain, Rothstein (2016) berpendapat bahwa meningkatnya kesetaraan gender justru menjadi faktor penting dalam pengendalian korupsi. Maka, pencegahan korupsi yang efektif di Kementerian PPPA sebagai penggerak utama pengarusutamaan gender akan berpotensi memberikan efek domino bagi pencegahan korupsi secara nasional melalui menurunnya ketimpangan gender.
Korupsi dapat terjadi melalui berbagai macam bentuk (suap, mencuri, gratifikasi, dan lain-lain) dan banyak kasus korupsi tersebut tidak dilakukan secara perseorangan, tetapi dilakukan secara berkelompok dan saling bekerja sama. Kasus korupsi yang dilakukan secara terkoordinir dan berkelompok ini umumnya dipengaruhi oleh suatu norma sosial di lingkungannya. Sebagai sebuah aturan atau pedoman yang mengatur perilaku suatu kelompok, norma sosial dapat mempengaruhi batasan-batasan anti korupsi. Secara singkat, pergeseran norma sosial akan berpengaruh pada upaya anti-korupsi. Ketika orang-orang dapat terlibat dalam suatu praktik tertentu karena mereka percaya (benar atau salah) bahwa itu adalah hal yang umum: bahwa itu adalah apa yang dilakukan oleh orang lain di komunitas, organisasi, atau jaringan mereka, hal ini disebut sebagai norma deskriptif (Bicchieri, 2016). Sedangkan, norma injunktif mengacu pada persepsi keterpilihan suatu perilaku tertentu: apakah itu dianggap benar atau salah, suatu tindakan yang secara sosial tepat atau tidak (Bicchieri dan Mercier, 2014).
Oleh karena itu, intervensi anti-korupsi dengan pendekatan social norms and behaviour change melalui Anti-Corruption Community perlu diterapkan untuk menggeser norma-norma sosial yang koruptif. Pergeseran norma dapat terjadi dengan membentuk suatu pola yang bertumbuh menjadi sebuah rutinitas dan budaya. Konsep ini layaknya memperjuangkan kesetaraan gender perlindungan perempuan dan anak yang masih penuh dengan stigma dan diskriminasi di lingkungan masyarakat.
Â
Tekanan Horizontal
Anti-Corruption Community (ACC) adalah sebuah konsep pencegahan dan pengawasan korupsi yang berbasis komunitas. Komunitas ini diharapkan dapat menghasilkan tekanan horizontal kepada sesama pegawai untuk menghindari perilaku koruptif. Ketika tekanan vertikal telah diberlakukan selama ini, seperti arahan/kebijakan Presiden, Menteri, hingga tingkat pejabat pimpinan tinggi pratama, masih banyak perilaku korupsi yang dibenarkan karena norma sosial di lingkungan kerja memperbolehkan hal tersebut, contohnya rekan kerja mungkin menganggap menerima "hadiah" dari penerima manfaat adalah hal yang wajar, sehingga menciptakan tekanan dari sesama pegawai di unit kerja. Anders (2008) berpendapat bahwa tidak mudah untuk keluar dari "kode etik" semacam itu, karena perlawanan terhadap normal sosial dapat mengakibatkan isolasi sosial, berkurangnya peluang karir, atau terbatasnya akses kepada posisi/penugasan tertentu. Ashorth dan Anand (2003) juga menunjukkan melalui penelitian psikologi organisasi, bahwa tekanan horizintal, terutama dari rekan kerja sepantaran, dapat menyebabkan normalisasi korupsi.
ImplementasiÂ
Setiap satuan kerja akan membentuk Komunitas ACC yang beranggotakan minimal 25% pegawai dengan pergantian anggota setiap empat bulan/kuartal. Setiap kuartal, anggota Komunitas akan digantikan oleh pegawai lain yang belum pernah tergabung selama tahun berjalan. Perubahan setiap kuartal dilakukan supaya Komunitas memiliki waktu yang cukup untuk memberikan dampak namun tidak terlalu lama untuk adanya perbaikan implementasi. Perubahan anggota dan kuota 25% sendiri diterapkan agar seluruh pegawai memperoleh kesempatan untuk berkontribusi dan juga tidak terlalu besar agar memiliki sense of belonging terhadap komunitas.
Komunitas ini akan menjalankan tiga aktivitas: temu komunitas, survei, dan pengawasan gratifikasi. Penjelasan ketiga aktivitas tersebut adalah sebagai berikut:
a) Temu Komunitas (Awareness)
Aktivitas ini akan mempertemukan para pegawai lintas satuan kerja dengan berbagai kegiatan yang mengaitkan topik anti-korupsi dengan tugas dan fungsi satuan kerja. Aktivitas ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman atas perilaku koruptif dan menyamakan perspektif untuk menghindari segala perilaku tersebut. Temu Komunitas diharapkan dapat menggeser norma sosial yang koruptif melalui beragam diskusi dan pertukaran pandangan. Beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah:
- Focus Group Discussion: Komunitas dapat membahas dampak korupsi terhadap upaya mewujudkan KG/PHP/PA, atau membahas praktik baik anti-korupsi di satuan kerja. Selain itu, komunitas juga dapat membahas kasus korupsi yang pernah terjadi sebagai studi kasus, atau bahkan membahas potensi korupsi di satuan kerjanya saat ini untuk diskusi terkait saran pencegahan/penanganannya.
- Seni: Komunitas dapat mengadakan kegiatan baca puisi atau pameran seni yang tentunya terkait tema korupsi dan KG/PHP/PA. Sebagai contoh: Komunitas dari PHA mengadakan pameran seni lukisan dari anak-anak FAN (Forum Anak Nasional) mengenai anti-korupsi,.
- Permainan, diskusi buku, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mempertemukan pegawai lintas satuan kerja.
Setiap kegiatan temu komunitas harus mengaitkan topik anti-korupsi dan KG/PHP/PA. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pegawai atas dampak-dampak sikap koruptif terhadap terhambatnya capaian kinerja mereka untuk mewujudkan tujuan organisasi. Untuk mengaitkan isu KG/PHP/PA terhadap sikap anti-korupsi, maka setiap Komunitas satuan kerja diberikan kesempatan untuk melaksanakan satu kali temu komunitas setiap empat bulan, sehingga total setiap komunitas satuan kerja akan mengadakan tiga kali temu komunitas dalam setahun. Dengan adanya temu komunitas setiap bulan yang diadakan oleh Komunitas satuan kerja secara bergantian, maka diharapkan angka partisipasi temu komunitas adalah setidaknya sepuluh persen dari total jumlah pegawai setiap satuan kerja. Pegawai yang telah menghadiri temu komunitas pada bulan sebelumnya, sebaiknya digantikan oleh pegawai yang belum pernah mengikuti temu komunitas sehingga terpenuhi seluruhnya pada akhir tahun (akumulasi). Dalam hal kebutuhan ruangan, diharapkan Biro SDM dan Umum dapat memfasilitasi karena hanya diadakan satu kali setiap bulan, dan apabila tidak memungkinkan, kegiatan dapat dilakukan secara hibrid.