Mohon tunggu...
Bernardus Marcello Agieus
Bernardus Marcello Agieus Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Ingin menyampaikan isi kepala saya dalam bentuk tulisan agar dapat menjadi bahan diskusi bersama manusia lainnya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Intervensi Anti Korupsi dengan Pendekatan Social Norms and Behaviour Change

14 Desember 2024   17:07 Diperbarui: 14 Desember 2024   17:07 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pendahuluan

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan masyarakat di setiap sektor pembangunan, termasuk perempuan dan anak, akan selalu berkembang. Perkembangan kebutuhan ini tentunya harus diiringi dengan pelayanan publik yang prima oleh seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan non-ASN di dalam suatu pemerintahan. Saat ini, tentu sudah ada banyak peraturan dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan standar dan kualitas pelayanan publik. Kendati demikian, keberadaan kebijakan dan peraturan tidak lah cukup tanpa adanya implementasi yang nyata. Pelayanan publik hingga kini masih belum optimal (dibuktikan dengan masih adanya permasalahan dan keluhan dari masyarakat). Salah satu penyebab belum optimalnya pelayanan publik adalah korupsi. Di sisi lain, Rothstein (2016) berpendapat bahwa meningkatnya kesetaraan gender justru menjadi faktor penting dalam pengendalian korupsi. Maka, pencegahan korupsi yang efektif di Kementerian PPPA sebagai penggerak utama pengarusutamaan gender akan berpotensi memberikan efek domino bagi pencegahan korupsi secara nasional melalui menurunnya ketimpangan gender.

Korupsi dapat terjadi melalui berbagai macam bentuk (suap, mencuri, gratifikasi, dan lain-lain) dan banyak kasus korupsi tersebut tidak dilakukan secara perseorangan, tetapi dilakukan secara berkelompok dan saling bekerja sama. Kasus korupsi yang dilakukan secara terkoordinir dan berkelompok ini umumnya dipengaruhi oleh suatu norma sosial di lingkungannya. Sebagai sebuah aturan atau pedoman yang mengatur perilaku suatu kelompok, norma sosial dapat mempengaruhi batasan-batasan anti korupsi. Secara singkat, pergeseran norma sosial akan berpengaruh pada upaya anti-korupsi. Ketika orang-orang dapat terlibat dalam suatu praktik tertentu karena mereka percaya (benar atau salah) bahwa itu adalah hal yang umum: bahwa itu adalah apa yang dilakukan oleh orang lain di komunitas, organisasi, atau jaringan mereka, hal ini disebut sebagai norma deskriptif (Bicchieri, 2016). Sedangkan, norma injunktif mengacu pada persepsi keterpilihan suatu perilaku tertentu: apakah itu dianggap benar atau salah, suatu tindakan yang secara sosial tepat atau tidak (Bicchieri dan Mercier, 2014).

Oleh karena itu, intervensi anti-korupsi dengan pendekatan social norms and behaviour change melalui Anti-Corruption Community perlu diterapkan untuk menggeser norma-norma sosial yang koruptif. Pergeseran norma dapat terjadi dengan membentuk suatu pola yang bertumbuh menjadi sebuah rutinitas dan budaya. Konsep ini layaknya memperjuangkan kesetaraan gender perlindungan perempuan dan anak yang masih penuh dengan stigma dan diskriminasi di lingkungan masyarakat.

 

Tekanan Horizontal

Anti-Corruption Community (ACC) adalah sebuah konsep pencegahan dan pengawasan korupsi yang berbasis komunitas. Komunitas ini diharapkan dapat menghasilkan tekanan horizontal kepada sesama pegawai untuk menghindari perilaku koruptif. Ketika tekanan vertikal telah diberlakukan selama ini, seperti arahan/kebijakan Presiden, Menteri, hingga tingkat pejabat pimpinan tinggi pratama, masih banyak perilaku korupsi yang dibenarkan karena norma sosial di lingkungan kerja memperbolehkan hal tersebut, contohnya rekan kerja mungkin menganggap menerima "hadiah" dari penerima manfaat adalah hal yang wajar, sehingga menciptakan tekanan dari sesama pegawai di unit kerja. Anders (2008) berpendapat bahwa tidak mudah untuk keluar dari "kode etik" semacam itu, karena perlawanan terhadap normal sosial dapat mengakibatkan isolasi sosial, berkurangnya peluang karir, atau terbatasnya akses kepada posisi/penugasan tertentu. Ashorth dan Anand (2003) juga menunjukkan melalui penelitian psikologi organisasi, bahwa tekanan horizintal, terutama dari rekan kerja sepantaran, dapat menyebabkan normalisasi korupsi.

Implementasi 

Setiap satuan kerja akan membentuk Komunitas ACC yang beranggotakan minimal 25% pegawai dengan pergantian anggota setiap empat bulan/kuartal. Setiap kuartal, anggota Komunitas akan digantikan oleh pegawai lain yang belum pernah tergabung selama tahun berjalan. Perubahan setiap kuartal dilakukan supaya Komunitas memiliki waktu yang cukup untuk memberikan dampak namun tidak terlalu lama untuk adanya perbaikan implementasi. Perubahan anggota dan kuota 25% sendiri diterapkan agar seluruh pegawai memperoleh kesempatan untuk berkontribusi dan juga tidak terlalu besar agar memiliki sense of belonging terhadap komunitas.

Komunitas ini akan menjalankan tiga aktivitas: temu komunitas, survei, dan pengawasan gratifikasi. Penjelasan ketiga aktivitas tersebut adalah sebagai berikut:

a) Temu Komunitas (Awareness)

Aktivitas ini akan mempertemukan para pegawai lintas satuan kerja dengan berbagai kegiatan yang mengaitkan topik anti-korupsi dengan tugas dan fungsi satuan kerja. Aktivitas ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman atas perilaku koruptif dan menyamakan perspektif untuk menghindari segala perilaku tersebut. Temu Komunitas diharapkan dapat menggeser norma sosial yang koruptif melalui beragam diskusi dan pertukaran pandangan. Beberapa contoh kegiatan yang dapat dilakukan adalah:

  • Focus Group Discussion: Komunitas dapat membahas dampak korupsi terhadap upaya mewujudkan KG/PHP/PA, atau membahas praktik baik anti-korupsi di satuan kerja. Selain itu, komunitas juga dapat membahas kasus korupsi yang pernah terjadi sebagai studi kasus, atau bahkan membahas potensi korupsi di satuan kerjanya saat ini untuk diskusi terkait saran pencegahan/penanganannya.
  • Seni: Komunitas dapat mengadakan kegiatan baca puisi atau pameran seni yang tentunya terkait tema korupsi dan KG/PHP/PA. Sebagai contoh: Komunitas dari PHA mengadakan pameran seni lukisan dari anak-anak FAN (Forum Anak Nasional) mengenai anti-korupsi,.
  • Permainan, diskusi buku, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mempertemukan pegawai lintas satuan kerja.

Setiap kegiatan temu komunitas harus mengaitkan topik anti-korupsi dan KG/PHP/PA. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pegawai atas dampak-dampak sikap koruptif terhadap terhambatnya capaian kinerja mereka untuk mewujudkan tujuan organisasi. Untuk mengaitkan isu KG/PHP/PA terhadap sikap anti-korupsi, maka setiap Komunitas satuan kerja diberikan kesempatan untuk melaksanakan satu kali temu komunitas setiap empat bulan, sehingga total setiap komunitas satuan kerja akan mengadakan tiga kali temu komunitas dalam setahun. Dengan adanya temu komunitas setiap bulan yang diadakan oleh Komunitas satuan kerja secara bergantian, maka diharapkan angka partisipasi temu komunitas adalah setidaknya sepuluh persen dari total jumlah pegawai setiap satuan kerja. Pegawai yang telah menghadiri temu komunitas pada bulan sebelumnya, sebaiknya digantikan oleh pegawai yang belum pernah mengikuti temu komunitas sehingga terpenuhi seluruhnya pada akhir tahun (akumulasi). Dalam hal kebutuhan ruangan, diharapkan Biro SDM dan Umum dapat memfasilitasi karena hanya diadakan satu kali setiap bulan, dan apabila tidak memungkinkan, kegiatan dapat dilakukan secara hibrid.

b) Survei Norma Sosial Anti Korupsi (Check)

Seluruh komunitas satuan kerja akan melaksanakan survei dengan metode vignette mengenai persepsi anti-korupsi di masing-masing satuan kerja sebanyak dua kali dalam setahun, di awal dan pertengahan tahun. Hasil survei ini akan menjadi bahan penelitian kualitatif untuk menganalisis kebutuhan yang diperlukan dalam menggeser norma sosial koruptif. Survei ini juga dapat menjadi bahan evaluasi pelaksanaan ACC. Survey mengutamakan anonimitas.

c) Pengawasan Internal atas Gratifikasi (Control)

Seluruh komunitas memiliki fungsi pengawasan internal atas gratifikasi. Gratifikasi dipilih sebagai bentuk korupsi yang diawasi karena sangat erat dengan pelayanan publik. Dalam menjalankan fungsi ini, komunitas akan terhubung dengan resepsionis/satpam Kementerian PPPA untuk mengetahui daftar tamu yang akan/telah berkunjung. Setiap kunjungan tamu perlu untuk dilakukan pemantauan terkait indikasi pemberian gratifikasi. Apabila ditemukan adanya indikasi gratifikasi kepada pegawai, maka komunitas wajib berkoordinasi dengan Unit Pengendali Gratifikasi di lingkungan Kementerian PPPA dan segera melaporkan kepada Inspektorat untuk tindak lanjut penanganan gratifikasi. Pengawasan ini diharapkan dapat mengubah budaya menerima 'oleh-oleh' yang seringkali dalam norma sosial dianggap wajar sebagai budaya ketimuran dan rasa sungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun