Mari kita mulai tulisan ini dengan satu pertanyaan: siapa yang ingin menjadi tidak berdaya akan ketidakadilan?Â
Siapa yang ingin dibatasi ruang gerak kehidupannya untuk sekadar berekspresi dengan panci, wajan, dan sebuah mesin vacuum cleaner?Â
Siapa yang ingin dipertanyakan setiap keputusan dalam hidupnya hanya karena sebuah perbedaan alat reproduksi?
Tidak ada.
Sayangnya, ini adalah pil pahit yang harus ditelan paksa oleh setiap Perempuan yang dengan penuh kesabaran menerima pengalaman-pengalaman menyakitkan tersebut, sejak lahir dan mungkin hingga seumur hidupnya.Â
Ya, saya katakan setiap Perempuan karena nyatanya kesetaraan gender di berbagai bidang memang belum ada yang terwujud, kesenjangan antara laki-laki dan Perempuan masih terjadi. Silakan membuktikan sendiri hal ini melalui statistik apapun yang tersedia di internet.Â
Sehingga, akan menjadi sangat naif rasanya ketika seseorang atau suatu kelompok mengatakan bahwa Perempuan sudah memperoleh hak yang setara (atau lebih buruknya lagi, hak yang sesuai) hanya karena adanya 'peningkatan' perlindungan hak dan pemberdayaan Perempuan dari masa ke masa.Â
Terlebih lagi, justru laki-laki lah yang seringkali menjelma sebagai subjek untuk menjadi juri, hakim, dan wasit atas 'peningkatan' dan 'kesetaraan' tersebut.
Ketika berada di tengah masyarakat, bukan lah sebuah hal yang tabu ketika menjadikan Perempuan sebagai sebuah objek untuk dieksploitasi dan dikapitalisasi, menjadi bukti bahwa tubuh Perempuan tidak pernah dimiliki oleh dirinya sendiri, di ruang privat atau di ruang publik atau bahkan di dalam kepalanya sendiri.
Melalui sejarah, kita telah melihat berbagai macam bentuk ketidakadilan kepada Perempuan dengan berbagai pembenarannya.
Mulai dari perjodohan Dyah Pitaloka, kisah Roro Jonggrang, hingga R.A Kartini, semua menunjukkan bahwa Perempuan hanya pelengkap, kelompok masyarakat level dua, dan sebuah objek untuk meningkatkan nilai sang subjek---laki-laki.Â