Beberapa hari setelah kami berteman di dunia maya, ada kejadian menggembirakanku. Mario berkomentar pada salah satu tulisanku. Tak ku sia-siakan kesempatan itu. Disitu kami berbalas komentar. Hampir pada semua tulisanku, dia berkomentar, kami berdiskusi. Menyenangkan! Ini yang membuat aku bersemangat menulis. Komentar Mario. Setidaknya dia memperhatikanku, maksudku memperhatikan tulisanku.
Setelah beberapa waktu, akhirnya aku memberanikan diri menyapa Mario secara pribadi, aku mencoba membuka percakapan dengannya.
"Banyak cewe ngamuk tuh di-wall-mu," tulisku pada Mario.
Ah bodohnya aku. Kenapa juga kata-kata itu yang pertama ku kirim. Aku tak enak hati sebetulnya, itu terlalu pribadi. Dan juga, terlalu memperlihatkan perhatianku padanya. Hal itu membuatku salah tingkah. Takut akan jawaban yang akan ku terima dari Mario.
"Hahahaha, biarkan saja. Mereka tuh perempuan-perempuan aneh," balasnya.
Sejenak aku berpikir, mungkin dia sudah terbiasa dengan gadis-gadis yang mengamuk. Yaaah konsekuensi atas tindakannya sendiri. Begitulah, bila sering bermain api, jangan pernah takut terbakar.
Luar biasa permainan Mario ini dengan gadis-gadis itu, sampai-sam pai dia tak takut untuk terbuka. Hebat! Begitulah kesimpulan awalku tentangnya.
Tapi entah kenapa, walaupun seperti itu, aku tetap nekat mendekatinya, seolah menawarkan diri untuk menjadi korbannya. Tak bisa ku pungkiri hatiku, aku menyukainya. Walau aku tak mengenalnya, aku terjerat. Terjerat cinta bias!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI