Rasa tak percaya masih menyelimutiku. Aku perhatikan huruf demi huruf tulisan Mario kepadaku. Aku tetap melihat huruf yang sama, tulisan yang sama, dan aku tetap membaca hal yang sama.
"Cinta?? Jatuh cinta dengan siapa?"
"Dengan kamu!"
begitulah penggalan percakapan kami yang terakhir. Aku bingung. Merasa disergap secara tiba-tiba. Aku tahu bahwa ini yang kuharapkan. Tapi apa betul bisa secepat ini Mario jatuh hati padaku? Aku harus tetap tenang, pikirku. Aku harus tetap terlihat terkontrol.
"Aah! Hehehee ngomong gitu aja kok lama banget sih," balasku pada Mario.
"Jadi, bagaimana?" tanya Mario.
"Yaahh kita lihat saja perkembangannya...," tulisku untuk Mario.
Belum sempat aku kirim balasanku itu, tiba-tiba hpku bunyi, ada panggilan masuk. Ku lihat siapa yang meneleponku, ternyata adik perempuanku. Ku angkat telepon itu.
"Iya Wi, ada apa?" sapaku padanya.
"Mama, kak, Mama...!" ucapnya panik.
"Iya, ada apa dengan Mama??" tanyaku juga panik.
"Mama mendadak sakit keras. Kakak cepat pulang," katanya lagi padaku.
"Iya sudah, besok pagi Kakak pulang ya. Jagain dulu Mama. Ini tanggung, sudah jam 11 malam. Ga ada kendaraan yang menuju rumah. Sabar dulu ya," kataku pada adikku, percakapanpun selesai.
Tulisan yang tadinya sudah kusiapkan untuk membalas Mario, kuhapus, ku ganti dengan yang lain.
"Mario, Mamaku sakit. Barusan adikku telpon aku, katanya kali ini Mama sakit keras. Dia panik," informasi itu aku kirim ke Mario.
Mario tidak membalas tulisanku. Beberapa menit kemudia, hpku mendapat panggilan masuk lagi. Mario meneleponku. Aku angkat. Dengan panik aku bilang dengan dia bahwa aku kuatir akan Mamaku.
"Mamaku, Mario. Mama sakit keras. Dan jam segini gak mungkin aku pergi ke rumah Mama. Kami beda kota. Jam segini gak ada kendaraan menuju rumah Mama. Aku harus gimana??" ucapku pada Mario lewat telepon.
"Tenang, Lea. Mamamu akan baik-baik saja. Mending kamu tenang. Mending kamu berdoa dulu sekarang, supaya Mama gak apa-apa," kata Mario menenangkanku.
Itulah kali pertama aku mendengar suara Mario lewat telepon. Tapi karena kepanikanku akan kondisi ibuku, tak terlalu ku besar-besarkan dulu perasaan senangku atas perhatian Mario yang meneleponku.
Malam itu tak bisa ku beristirahat dengan tenang. Pikiranku terus menerus tertuju pada kondisi ibuku. Ah daripada aku terus menerus berbaring tapi tidak juga bisa tidur, akhirnya aku bangun dan membereskan beberapa helai pakaian untuk ku bawa pulang nanti pagi.
Pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah ibuku. Ibu, bapak, dan adik-adikku tinggal terpisah denganku. Kami tinggal di kota yang berbeda. Jaraknya sekitar satu jam perjalanan menggunakan bis. Pekerjaanku dan kegiatan-kegiatanku yang mengharuskan aku berpisah tempat tinggal dengan mereka. Terlalu jauh kalau aku harus pulang pergi tiap hari dari rumah orangtuaku ke tempatku beraktifitas setiap hari.
Sebelum berangkat, aku telepon adikku.
"Wi, kakak pulang sekarang. Gimana kondisi Mama?" tanyaku pada adikku.
"Masih seperti semalam Kak..," suara adikku menjawab.
"Ya sudah, ini kakak sudah mau berangkat," ucapku padanya, lalu ku tutup telepon itu.
"Aku berangkat dulu, Mario. Doakan biar aku selamat sampai rumah orangtuaku. Dan mohon doanya juga untuk Mamaku, biar gak ada apa-apa.," smsku pada Mario pagi itu.
"Tenang saja Lea, Mamamu pasti sembuh seperti semula," balas Mario.
Akupun mengunci pintu rumah kontrakanku, dan melangkah pergi.
Sepanjang perjalanan aku dan mario terus saling mengirim pesan. Dia sungguh membangkitkan semangatku. Dia memberiku kata-kata penenang supaya aku tidak panik. Dia terus menemaniku sampai aku tiba di rumah orangtuaku.
Sesampainya di sana, aku melihat ibuku terbaring lemah. Terlihat adik-adikku menemani disampingnya.
"Ade gak sekolah?" tanyaku pada adik bungsuku yang masih kecil.
"Gak, Kak. Gak ada yang antar. Ade belum berani pergi sendirian. Jauh," jawab Ade, adik bungsuku.
Aku maklumi, dia masih kelas satu Sekolah Dasar. Sedangkan sekolahnya itu lumayan jauh dari rumah. Biasanya ibuku lah yang mengantar, menungguinya sampai usai jam pelajaran. Karena mama sakit, tak mungkin hal itu dilakukan.
"Wiwi gak kerja kah?" tanyaku pada adik perempuan yang semalam meneleponku.
"Gak,Kak. Siapa yang nungguin Mama kalau aku kerja," kata adikku itu.
"Bapak dan Ardi kemana?" aku menanyakan Bapak dan adik laki-lakiku.
"Mereka ke sekolah. Ini kan Hari Jumat, mereka kan sebentar saja di sekolah," urainya.
Aku memakluminya juga. Bapakku adalah seorang guru yang tak mungkin bolos sekolah ketika di sekolahnya sedang musim ulangan muris-muridnya. Ardi, adik laki-lakiku adalah salah satu siswa juga di sekolah itu.
Letak sekolahnya tak jauh dari rumah, jadi mereka bisa cepat sampai rumah ketika saatnya jam pulang.
Sekitar jam sebelas mereka pulang, kami semua berkumpul di ruang tengah, melihat Mama terbaring.
Kami semua serentak melihat ke arah Mama ketika mendengar suara napas Mama tersengal. Kami semua panik. Aku menyuruh Ardi untuk pergi mencari kendaraan untuk membawa Mama ke Rumah Sakit. Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil datang, dan kamipun langsung memboyong Mama ke Rumah Sakit.
Hal terburuk sudah terbayangkan olehku. Tapi ku tepis itu. Aku ingin semua baik-baik saja. Sepanjang jalan ku peluk Mama. Perjalanan terasa sangat panjang. Aku menyuruh sopir untuk mengemudikan mobilnya lebih cepat lagi.
Sekitar setengah jam lebih kami baru sampai di Rumah Sakit, langsung menuju UGD. Dokter dan perawat langsung mendatangi kami, dan membawa Ibu ke dalam.
Tak lama, dokter keluar lagi.
"Maaf, Bapak, Adik-adik, kami tak sempat menyelamatkannya," kata dokter kepada kami.
Sontak kami semua histeris. Kami menangis. Kami terpukul. Tak percaya Mama sudah pergi. Tak bisa ku bayangkan kami semua tanpa kehadiran Mama lagi di tengah kami.
^#########^
**masih bersambung.........
cerita sebelumnya di :http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/07/12/cinta-cinta-dengan-siapa-576245.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H