"Mama mendadak sakit keras. Kakak cepat pulang," katanya lagi padaku.
"Iya sudah, besok pagi Kakak pulang ya. Jagain dulu Mama. Ini tanggung, sudah jam 11 malam. Ga ada kendaraan yang menuju rumah. Sabar dulu ya," kataku pada adikku, percakapanpun selesai.
Tulisan yang tadinya sudah kusiapkan untuk membalas Mario, kuhapus, ku ganti dengan yang lain.
"Mario, Mamaku sakit. Barusan adikku telpon aku, katanya kali ini Mama sakit keras. Dia panik," informasi itu aku kirim ke Mario.
Mario tidak membalas tulisanku. Beberapa menit kemudia, hpku mendapat panggilan masuk lagi. Mario meneleponku. Aku angkat. Dengan panik aku bilang dengan dia bahwa aku kuatir akan Mamaku.
"Mamaku, Mario. Mama sakit keras. Dan jam segini gak mungkin aku pergi ke rumah Mama. Kami beda kota. Jam segini gak ada kendaraan menuju rumah Mama. Aku harus gimana??" ucapku pada Mario lewat telepon.
"Tenang, Lea. Mamamu akan baik-baik saja. Mending kamu tenang. Mending kamu berdoa dulu sekarang, supaya Mama gak apa-apa," kata Mario menenangkanku.
Itulah kali pertama aku mendengar suara Mario lewat telepon. Tapi karena kepanikanku akan kondisi ibuku, tak terlalu ku besar-besarkan dulu perasaan senangku atas perhatian Mario yang meneleponku.
Malam itu tak bisa ku beristirahat dengan tenang. Pikiranku terus menerus tertuju pada kondisi ibuku. Ah daripada aku terus menerus berbaring tapi tidak juga bisa tidur, akhirnya aku bangun dan membereskan beberapa helai pakaian untuk ku bawa pulang nanti pagi.
Pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke rumah ibuku. Ibu, bapak, dan adik-adikku tinggal terpisah denganku. Kami tinggal di kota yang berbeda. Jaraknya sekitar satu jam perjalanan menggunakan bis. Pekerjaanku dan kegiatan-kegiatanku yang mengharuskan aku berpisah tempat tinggal dengan mereka. Terlalu jauh kalau aku harus pulang pergi tiap hari dari rumah orangtuaku ke tempatku beraktifitas setiap hari.
Sebelum berangkat, aku telepon adikku.