Mohon tunggu...
Marcelina Deva yanti
Marcelina Deva yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

artikel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

perlindungan hukum terhadap anak dalam kasus perceraian orang tua

29 Januari 2025   21:38 Diperbarui: 29 Januari 2025   21:40 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indahnya ikatan suci pernikahan yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan yang
beda watak, tabiat, rasa dan bahkan mungkin ras dan status sosial adakalanya langgeng
sampai dengan ajal menjemput dan tidak jarang kita temukan berakhir dengan perceraian.
Bahkan tidak jarang juga kita temukan pasangan yang telah menikah tersebut berakhir
dengan tragis seperti saling membunuh satu sama lain.
Perceraian walaupun merupakan hal yang dibenci dalam hukum islam, karena
berdasarkan kesimpulan para ulama hukumnya adalah makruh. Namun, perceraian masih saja
terjadi di kalangan umat islam disebabkan karena biduk rumah tangga sudah tidak lagi
memiliki kesatuan pemahaman. Sehingga jalan satu-satunya yang bisa ditempuh adalah
bercerai untuk bisa meminimalisir mudharat yang akan ditimbulkan bila terus bersama dalam
pertengkaran yang mungkin berakibat fatal pada kedua pasangan dan anak-anaknya.
Dan dapat dipastikan perceraian yang terjadi memiliki dampak yang sangat luas
terutama bagi keluarga kedua belah pihak, terutama bagi keberlangsungan dan masa depan
anak-anak yang mereka miliki selama masa pernikahan. Dampak ini tidak banyak dipikirkan
oleh para orang tua ketika mereka memutuskan untuk bercerai.
Berdasarkan hipotesis awal penulis dampak yang mungkin ditimbulkan pasca perceraian
orang tua adalah dampak psikologis, dampak keberlangsungan kebutuhan dasar (makanan,
pakaian dan tempat tinggalnya) dan pendidikannya.
Lalu bagaimana aturan hukum yang berlaku untuk memecahkan masalah tersebut di
atas. Dalam hukum positif paling tidak ada beberapa aturan yang mendasar yang mengatur
masalah tersebut yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Konvensi Hak-Hak Anak
didalam Perserikatan Bangsa Bangsa, UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, UU Nomor
4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU
Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, SEMA Nomor 7 tahun 2012 Tentang Hasil Rumusan Kamar Mahkamah Agung RI Sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam

Perceraian
Secara harfiah, definisi perceraian adalah pemutusan terhadap ikatan pernikahan secara
Agama dan hukum. Namun di dalam Islam, arti perceraian tidaklah semudah pernikahan.
Banyak tahap yang harus dilalui ketika perceraian benar-benar dilakukan. Dalam Al-Qur’an
Surat Ath-Thalaq, yang dipergunakan sebagai Undang-Undang perkawinan, bahwa perceraian
hanya akan terjadi katika ada saksi dan melalui tiga tahap, yaitu talak 1, talak 2, dan
kemudian talak.13
Perceraian yang merupakan bagian dari kajian hukum keluarga tidak terlepas dari
pembaruan yang terjadi di berbagai negara.6 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bahwa perkara perceraian cenderung menganut prinsip “harus adanya
persaksian dan mempersukar terjadinya perceraian”. Prinsip ini telah menghilangkan hak
mutlak suami atas perceraian. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan yang berwenang”.
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang tata cara perceraian,
menyatakan bahwa suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang
akan menceraikan istrinya, harus mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggal
istrinya, yang berisi pemberitahuan bahwa dia bermaksud menceraikan istrinya disertai
dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan
itu.
Menurut Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selanjutnya KHI melalui Pasal 130 kembali
menegaskan bahwa Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan
tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi.

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Setelah Bercerai
Bentuk tanggung jawab orang tua kepada anaknya tidak terhenti pada suatu akibat
perceraian. Orang tua masih berkewajiban untuk melaksankan tanggung jawabnya seperti
menanggung biaya hidup bagi anaknya, memberikan tempat tinggal yang layak, serta
memberikan kiswah bagi anak-anaknya sehingga anak dapat berkembang dan tumbuh
sebagaimana mestinya, tidak terhalangi oleh akibat suatu perceraian yang terjadi terhadap
kedua orang tua mereka. Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 bahwa akibat suatu perceraian kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepantingan anak.

Pembahasan mengenai tanggung jawab orang tua setelah perceraian juga disebutkan
dalam Pasal 149 Huruf d Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa: “Bilamana perkawinan
putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya
yang belum mencapai umur 21 tahun”. Pengertian hadhanah menurut Pasal 1 Huruf g
Kompilasi Hukum Islam adalah: “Pemeliharaan anak, yaitu kegiatan mengasuh, memelihara
dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri”.
Hak lain yang melekat pada anak, termasuk kewajiban orang tua bagi anak juga
termuat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 4
menyebutkan bahwa: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Mengenai tanggung jawab orang tua juga disebutkan dalam Pasal 9 Undang-Undang No.
4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa “Orang tua adalah yang
pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani,
jasmani maupun sosial”.
Dalam kompilasi Hukum Islam Pasal 105 Huruf c yang menyatakan bahwa “Dalam hal
terjadinya perceraian biaya pemeliharaan ditanggung oleh bapaknya”. Berdasar hal tersebut
ayah wajib memberikan biaya nafkah kepada anaknya setiap bulan, dan demi kepentingan si
anak maka kedua orang tua wajib memberikan asuhan sebaik-baiknya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Pada Pasal 2 ayat 1,2 dan 3 menyebutkan bahwa (1) Usaha kesejahteraan anak pertama-tama
dan terutama menjadi tanggung jawab orang tua. (2) Pemerintah dan/atau masyarakat
melaksanakan usaha kesejahteraan anak dengan tujuan membantu mewujudkan kesejahteraan
anak. (3) Pemerintah mendorong, membimbing, membina masyarakat untuk berperan serta
melaksanakan usaha kesejahteraan anak

Hak asuh anak setelah perceraian ini tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak ada kata yang spesifik dalam ketentuan tersebut yang
mengatakan hak asuh anak. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatakan pada pasal 45 yang menyatakan bahwa “Orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak mereka sebaikbaiknya. kewajiban itu berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri meskipun orang tua sudah bercerai.
Jadi, hak asuh terhadap anak setelah perceraian tetaplah tanggung jawab kedua orang
tua apapun yang terjadi. sepatutnya kedua orang tua diberikan hak di dalam mengasuh. Yang
menjadikan mereka kehilangan hak asuhnya jika mereka dicabut dari kekuasaan orang
tuanya. Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
mengatakan bahwa anak dibawah usia 18 tahun berada ibawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Oleh karena itu sepanjang orang tua tidak
dicabut kekuasaannya, mereka mempunyai hak yang sama di muka pengadilan untuk
mengasuh dan mendidik anaknya tanpa dipisah-pisahkan hak asuhnya.24
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang perlindungan anak juga mengatakan
bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk anaknya. kewajiban ini
dijabarkan dengan mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Jadi masing-
masing orang tua pada prinsipnya memang berhak sepanjang kekuasaan mereka tidak dicabut.
Tetapi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebelumnya telah menutup
kekuasaan orang tua sebagaimana dimaksud pada pasal 47 ayat (1) dengan pasal 41 ayat (1).
pasal tersebut mengatakan bahwa bila terjadi perselisihan di dalam penguasaan anak-anak,
maka pengadilan yang memutuskan. Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disebut KHI mengatur
tentang hak asuh anak pasca perceraian. Pengaturan tersebut juga memiliki batasan yang
jelas, yaitu berlaku bagi anak yang masih dibawah 12 tahun (belum mummayiz).25
Pasal 105 KHI menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, pemeliharaan anak yang sudah dewasa
diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya, dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya sebagaimana yang
dikatakan Maswandi, 2017.26
Menurut pasal 229 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengadilan menentukan wali
anak dibawah umur. Apabila pihak yang diserahkan sebagai wali kurang mampu membiayai
pemeliharaan dan pendidikan anak, maka menurut Pasal 230 b Kitab Hukum Undang-Undang
Hukum Perdata hakim dapat menentukan sejumlah uang yang harus dibayar pihak yang lain
untuk membayar sejumlah uang untuk membiayai anak dibawah umur. Dalam menyelesaikan
suatu perkara, seorang hakim tidak boleh berdalih, dengan alasan tidak ada hukum yang
mengatur tentang hal itu. Oleh karena itulah seorang hakim harus menemukan dan
menentukan hukumnya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun